68. Menyesal atau Tidak?

1082 Words
“Kak, enggak mampir dulu?” tanya Erina saat mereka berdua telah berhenti tepat di depan pintu kamar apartemen. Alvaro tersenyum misterius mendengar pertanyaan dari seorang gadis mungil berwajah polos yang ada di sampingnya. Apakah gadis itu tidak sadar kalau memberikannya masuk, maka sudah tidak ada lagi kata keluar? Bahkan ia sendiri tidak yakin bisa bertindak sopan, sedangkan tadi saja hampir menghabisi gadis itu. “Yakin, Na? Kalau gue masuk ke dalam enggak ada lagi kata keluar,” jawab Alvaro tersenyum miring membuat Erina gugup seketika. Sejujurnya, ia tahu apa yang dipikirkan oleh lelaki itu. Sebab, sedikit banyak dirinya telah mempelajari semua kode lelaki dari novel yang telah ia sunting sendiri selama ini. Bahkan tidak sedikit ada adegan yang membuatnya tercengang tidak percaya melihat betapa seriusnya ketika dua orang manusia berbeda jenis kelamin berduaan di tempat sepi. Mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Akan tetapi, semua itu tetap kembali pada keduanya akan bersikap seperti apa. Kalau sama-sama ingin mungkin akan terjadi, tetapi kalau tidak pasti akan ada saja halangan untuk mereka berdua. “Iya, emang Kak Alva bakalan ngelakuin itu sama aku?” tanya Erina berusaha menyembunyikan perasaannya yang mulai tidak menentu. Sejenak Alvaro terdiam melihat sesosok gadis yang terlihat sangat percaya sekali pada dirinya. Padahal sejak mereka berdua sekolah di tempat yang sama, ada saja rumor tentang dirinya dengan perempuan lain melakukan hal ambang batas wajar. Erina tersenyum tipis. Ia tahu kalau Alvaro tengah bimbang dengan perasaannya sendiri. “Kak Alva mau masuk apa enggak? Di luar dingin aku enggak kuat.” Mendengar perkataan itu, seketika Alvaro pun menjadi sadar dan mengangguk pelan sebagai jawabannya. Biarlah semua berjalan dengan semestinya. Mungkin ia akan menahan semua itu dengan sekuat tenaga demi menjaga kehormatan gadis yang telah mengisi hatinya selama beberapa tahun. Kemudian, mereka berdua pun masuk ke dalam apartemen yang masih sangat bersih seperti terakhir kali ditinggalkan. Sama sekali tidak ada gantungan pakaian atau pun sampah yang berserakan seperti biasanya seakan Erina sudah siap jika sewaktu-waktu Alvaro datang. “Kak Alva, mau makan apa? Aku lapar banget mau masak. Tadi makan di kafe kurang kenyang,” tanya Erina mulai melepaskan mantel musim dinginnya yang sangat tebal pada gantungan pakaian di sudut apartemen dekat rak sepatu. “Boleh. Kayaknya mie enak,” jawab Alvaro tanpa mengalihkan perhatiannya karena ia masih sibuk membuka sepatu untuk menggantikan dengan sandal rumahan. Setelah mendengar jawaban tersebut, Erina pun melenggang pergi menuju kamar pribadinya yang terletak di lantai kedua atau lebih tepatnya lantai setengah. Karena kamar ini terdiri dari satu setengah lantai. Memang tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menampung Erina dengan segala kesederhanaannya. Erina meletakkan tas punggung di atas meja kerja, lalu melangkah ke arah lemari untuk mengganti pakaiannya menggunakan piyama tidur. Sebab, ia setelah makan memang berniat langsung tertidur. Mengingat hari sudah larut malam dan besok masih ada pekerjaan lagi yang belum terselesaikan. Sedangkan Alvaro yang merasa tidak mempunyai kerjaan pun hanya duduk diam sembari membuka ponselnya melihat banyak sekali laporan dari Meiying untuk rapat besok. Sehingga ada salah satu pesan dari seorang kepercayaannya yang masuk. Tanpa pikir panjang Alvaro langsung membuka pesan tersebut, lalu mulai meneliti satu per satu hingga ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia pun membuka ikon panggilan di ponsel dan menghubungi seseorang dengan jarak jauh di sana. Padahal hari sudah larut malam dan orang itu pasti sedang menjelajah ke alam mimpi. Akan tetapi, Alvaro sama sekali tidak memedulikan hal tersebut. Yang ia inginkan hanyalah pekerjaan beres tanpa ada keluhan. Karena semua itu akan menyangkut pada hasil dan semua bonus mungkin akan lenyap. “Apa kau bisa membantuku?” tanya Alvaro gamblang. Sementara itu, di sisi lain, Erina yang sudah meninggalkan pakaiannya pun langsung turun kembali menuju dapur untuk membuatkan makanan. Padahal tadi sudah makan malam, tetapi rasanya kurang puas kalau belum menyantap nasi putih yang hangat. Di tengah kegiatannya memasak, tiba-tiba ia merasa ada tangan yang mulai melingkari pinggangnya. Tangan besar nan kokoh itu tampak mengusap-usap perutnya yang rata dan terbaluti piyama serta kaus dalam berwarna hitam. Untung saja Erina terbiasa menggunakan pakaian banyak agar tubuhnya tetap hangat. Mungkin kalau tidak, ia bisa dengan jelas merasakan telapak tangan itu mengusap perutnya lembut. “Makanannya belum matang, Kak,” ucap Erina mencoba untuk mengusir Alvaro secara halus. Tentu saja dengan posisi ini ia bisa merasakan betapa kerasnya tubuh lelaki itu. Seakan ia terus rajin berolahraga mengolah tubuhnya agar tetap ideal. “Tahu ...,” balas Alvaro menopang dagu pada pundak mungil milik Erina, lalu menghirup aroma teh yang masih sama seperti terakhir kali dirinya memeluk gadis itu. Erina pun menyerah dan membiarkan Alvaro berbuat sesuka hati, walaupun kegiatan itu sangat mengganggu masakannya. Akan tetapi, kalau ditahan pun percuma saja. Karena Alvaro akan tetap terus gencar menggoda tubuhnya agar terus memberikan respon. Namun, tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Alvaro tengah berusaha keras agar tangannya tetap di sana tanpa menurunkan atau menaikan kembali ke tubuh Erina. Sebab, dua area itu sangatlah terlarang sekaligus pribadi. Tanpa sengaja Erina menjatuhkan bumbu mie tersebut sehingga membuatnya spontan menunduk untuk meraihnya. Akan tetapi, hal tersebut malah mengenai area terlarang Alvaro yang sudah mengeras sejak tadi. Bahkan sang pemiliknya pun langsung menahan napas agar tidak mengeluarkan suara aneh. Sedangkan Erina tetap saja masih asyik membuatkan mie si*alan tersebut tanpa memedulikan betapa padamnya wajah Alvaro menahan getaran aneh di dalam tubuhnya sendiri. Namun, lama-kelamaan hal tersebut mulai mengusik ketenangan Erina. “Kak, wajahnya merah banget. Apa kepanasan di sini?” tanya gadis itu polos membuat Alvaro langsung menyambar bibirnya cepat. Ia tidak memberikan akses sedikit pun untuk Erina protes. Bahkan dengan mudah tangan lelaki itu memutar kompornya hingga mati, lalu menggendong tubuh Erina layaknya anak kecil menuju sofa panjang yang ada di sana. Kemudian, merebahkan tubuh gadis itu sembari terus menatapnya dalam-dalam. Erina tahu ini salah, tetapi ia juga tidak bisa menolaknya. Entah kenapa gejolakan itu mendadak berulah ketika dirinya dalam posisi seperti ini. Seakan ada sesuatu yang belum ia tuntaskan selama ini. “Apa lo enggak nyesel kita ngelakuin ini nanti, Na?” tanya Alvaro mengusap kepala gadis itu lembut sembari terus menatap matanya dalam-dalam. “Enggak, Kak,” jawab Erina mulai menarik tekuk lelaki itu terlebih dahulu. Ia sudah tidak peduli lagi masa depannya akan suram atau tidak. Karena sejak dulu dirinya memang sudah tidak mempunyai masa depan sehingga melakukan apa pun tidak menjadi masalah kelak. Ciuman lembut yang dipimpin Erina pun mulai berulah. Sebab, Alvaro dengan segala keganasannya mengambil alih ciuman tersebut. Ia menekan bibir Erina sekaligus dengan tubuhnya yang sedikit keras. Menghimpit merasakan area benda kenyal yang mungkin sudah sedikit mengeras akibat ulah liar Alvaro.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD