13. I Can't, Erina.

1096 Words
Dentuman musik menggema di sekeliling ruangan. Lampu remang-remang menghiasi setiap sudut ruangan yang berisikan beberapa pasang kekasih. Ada yang berciuman ada pula yang sekedar berbincang ringan. Semua yang ada di sini tampak bahagia, meskipun luka menggelayuti hati mereka.   Jika semua orang bahagia, tidak dengan Erina. Gadis itu berkali-kali menyesap whisky sembari memerhatikan teman-temannya yang sudah menari di dance floor. Padahal sedari tadi Lusi sudah mengajak dirinya, tetapi ia sama sekali tidak ingin bergabung di sana. Alasannya sederhana, Erina hanya merasa sangat risih jika didekati lelaki-lelaki nakal seperti itu.   Lihatlah, bahkan Lusi sudah tidak sadar bahwa tengah berciuman dengan seorang lelaki yang tidak dikenalinya. Sedangkan Erina yang menatapnya dari jauh hanya mengangkat bahunya acuh dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa menikmati pemandangan yang ada di hadapannya.   Di sana tampak Wang Junkai tengah berbincang ringan dengan salah satu kolega yang katanya ingin menyuntikkan dana di perusahaannya. Namun, lelaki itu terlihat familiar di wajah Erina.   “Erina, kenapa kamu tidak bergabung dengan teman-temanmu?” tanya Wang Junkai menoleh ke arah salah satu editornya yang tampak asyik menyesap tanpa berniat bergabung di sana.   “Malas,” jawab Erina singkat tanpa mengalihkan perhatiannya.   Wang Junkai tersenyum tipis dan kembali berbincang pada sesosok lelaki yang sejak tadi mulai memerhatikan Erina. Walaupun sedikit terusik, ia sama sekali tidak memerdulikan tatapan lelaki itu padanya. Karena ia sudah terbiasa mendapatlan tatapan seperti itu.   Namun, lama kelamaan Erina merasa suntuk. Karena sejak kedatangannya tadi sampai sekarang kerjaannya hanya duduk dan menyesap whisky yang sudah membuat kantung kemihnya penuh.   Sebenarnya, pikirannya tengah mengarah pada kepergian Alvaro sejak makan siang tadi. Baru satu hari masuk sudah izin, lalu untuk apa lelaki itu datang tadi?   Tanpa Erina sadari sedari tadi ada tatapan tajam bak burung elang menatapnya terus menerus. Lelaki itu adalah Alvaro, dan yang tengah berbincang dengan Wang Junkai adalah salah satu kolega sekaligus teman SMA Alvaro, Razan. Tentu saja Erina merasa sangat familier.   “Alvaro, sudah selesai?” tanya Wang Junkai tersenyum melihat kedatangan karyawan barunya yang kini terlihat lebih segar.   “Sudah, Bos. Maaf baru satu hari kerja saya sudah izin,” jawab Alvaro mendudukkan diri tepat di samping Erina.   Wang Junkai menggeleng pelan dan beranjak dari tempat duduknya. “Kalau begitu, nikmatilah pesta kalian.”   Setelah itu, bos dari percetakan tempat mereka bekerja melenggang pergi bersama sesosok lelaki yang ia sempat mengangguk samar pada Alvaro. Lalu, mulai mengikuti Wang Junkai dari belakang.   Alvaro menoleh ke arah Erina yang tampak tersenyum melihat keasyikan teman-temannya. Ia jadi bingung sendiri kenapa gadis itu sama sekali tidak berniat ke sana. Karena kalau hanya melihat saja tidak akan merasakan kesenangan dunia malam.   “Kalau suka gabung aja, Na,” celetuk Alvaro membuat Erina menoleh bingung.   “Enggak deh, nanti dipegang-pegang cowok,” balas Erina bergidik geli, kemudian menyesap whisky yang mulai tandas.   “Ya udah sama gue gimana?” tanya Alvaro tersenyum menawan.   Erina mendelik terkejut dan langsung menolak keras. Tentu saja ia tidak mau, karena jantungnya pasti akan berulah. Ia tidak mau kalau lelaki itu sampai mendengar detakan jantung miliknya.   Alvaro tertawa pelan melihat reaksi yang Erina perlihatkan, lalu menarik pergelangan tangan mungil gadis itu lembut. Membawanya ke arah dance floor yang mengundang banyak tatapan tanya, karena ini pertama kalinya untuk Erina masuk ke ruang lingkup bebas seperti ini. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak mengindahkannya dan kembali melanjuti tarian e****s mereka.   Perlahan Alvaro melingkarkan kedua lengan kekarnya di pinggang milik Erina dan menarik tubuh gadis itu agar merapat dengan tubuhnya, lalu memposisikan tangan kaku Erina pada lehernya yang tegap.   Kini jarak mereka berdua tampak sangat dekat, bahkan Erina bisa mencium parfum yang masih sama seperti terakhir kali ia hirup. Napas mint milik Alvaro menyapu wajah mulusnya yang tampak memerah akibat whisky tadi.   Rasa pening pun mulai mendera Erina, padahal biasanya ia tidak pernah seperti ini. meminum sebanyak apapun pasti tidak mabuk. Namun, lain ceritanya dengan hari ini, Erina merasakan sekelilingnya memutar, dan bayangan lelaki yang kini mendekapnya menjadi banyak.   “Lo kenapa, Na?” tanya Alvaro khawatir melihat mata Erina yang perlahan sayu.   Erina tertawa pelan dan memeluk tubuh Alvaro erat sehingga gadis itu menjadi berjinjit, kemudian berbisik, “Gue kangen sama lo, Kak.”   Setelah itu, Erina kembali menapakkan telapak kakinya, tetapi langsung terhalang dengan Alvaro yang tiba-tiba menyanggap tubuh gadis itu sehingga kini kakinya tidak menyentuh lantai.   Alvaro memberanikan menatap wajah Erina yang masih setengah sadar. “Lo mabuk ya, Na? Ayo, kita pulang!”   Erina menggeleng keras dan memegang wajah Alvaro hingga kini mereka berdua bertatapan dengan jarak dekat, bahkan hidung mereka bersentuhan.   “Jangan, Kak! Enggak asyik banget nih. Gue mau di sini dulu, tapi lo yang jagain,” ucap Erina tertawa pelan sembari menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Alvaro.   Sedangkan Alvaro yang masih bingung dengan sikap Erina pun hanya mengikutinya dan membiarkan gadis itu berbuat sesuka hati.   “Gendong gue, Kak!” protes Erina saat Alvaro perlahan menurunkan tubuhnya, dan membuat Alvaro langsung menggendong tubuh mungil gadis itu yang sama sekali tidak terasa berat.   “Iya, iya, ini gue gendong!” balas Alvaro tetap menyangga tubuh Erina agar tidak menyentuh lantai, membuat tubuh mereka saling berhimpitan.   Setelah dirasa tenang, Alvaro mulai mengusap punggung Erina lembuat, sedangkan tangannya yang lain menjaga agar tubuh gadis itu tidak merosot ke bawah.   “Kak,” panggil Erina setengah berbisik.   “Iya,” balas Alvaro sembari terus mengusap punggung Erina lembut.   “Mau cium,” pinta Erina berani, membuat Alvaro mendelik terkejut.   “Ha?”   Erina memukul kepala Alvaro kesal. “Cium, Kak! Jangan bilang lo enggak tahu ciuman itu apa.”   Alvaro mengusap kepalanya yang dipukul oleh Erina, lalu meringis pelan mendengar perkataan gadis itu yang kelewat jujur.   “Udah, Na. Kita pulang aja,” ucap Alvaro mengalihkan permintaan Erina.   Namun, gadis itu seakan tidak mau diajak kompromi dan tetap pada posisinya yang memeluk Alvaro erat bagaikan seorang ayah menjaga anaknya sendiri.   “Kakak enggak mau cium aku?” tanya Erina hendak menangis.   Alvaro yang melihat raut wajah Erina pun mulai panik dan langsung mencium bibir itu secepat kilat. Namun, tidak ada yang tahu kalau di dalam otak cantik Erina sudah tersusun rapi rencana yang ia siapkan dari tadi.   Saat Alvaro hendak menarik kembali kepalanya, ia langsung menahannya dan mulai melumat bibir berisi itu dengan gerakan lambat. Tentu saja hal itu membuat Alvaro mendelik dan tidak percaya dengan apa yang sedang dilakukan Erina.   Walaupun ia tahu gadis ini tidak sadar, tetapi tetap saja efek yang diberikan begitu besar. Terlebih Erina yang kini mencium bibirnya mulai bertindak di luar batas, yaitu semakin menghimpitkan tubuh mereka berdua, membuat Alvaro semakin dibuat tidak terkendali. Karena ia mati-matian menahan gejolakan yang ada di tubuhnya sendiri.   “Na, kita enggak bisa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD