50. Every Human Being Has Faults

1014 Words
Erina sama sekali tidak menyangka kalau hidupnya akan kembali dihantui oleh keluarga yang selama ini sudah menjadi mimpi buruk baginya. Entah sudah keberapa kali ketakutan itu selalu menghampiri sebelum pada akhirnya semua itu kembali terjadi. Sebenarnya, ia sama sekali tidak menyesal telah meninggalkan keluarganya sendiri. Karena ia yakin pada dirinya sendiri untuk tetap bisa bertahan hidup tanpa bantuan mereka. Tentu saja niat itu sudah bulat ketika dirinya menghapus semua identitas lamanya, dan mulai menata di kehidupan yang baru. Menjadi seorang Erina Zakiyah. "Bagaimana kabarmu?" tanya Romi mengawali pembicaraan. Kini ketiganya sudah duduk disalah satu restoran mewah bergaya klasik. Sebenarnya, bukan Erina yang memutuskan untuk berbicara tertutup seperti ini. Karena sejak tadi dirinya sudah merasa muak dengan berpura-pura diam bagaikan tidak terjadi sesuatu diantara mereka. "Tidak usah basa-basi. Cepat katakan apa yang kalian mau," sinis Erina memalingkan wajahnya ke arah lain. Khansa yang mendengar penuturan tersebut langsung tersenyum sendu. Ia mengerti perubahan sikap Erina ini karena ulah mereka sendiri. "Ke mana sopan santunmu, Erina?" tanya Romi bernada sedikit marah. Sedangkan gadis itu hanya menghela napas panjang. Memang sudah tidak ada habisnya kalau ia berdebat dalam kedladaan seperti ini. Sebab, ini adalah kali pertama mereka bertemu lagi. Khansa pun mengkode agar suaminya kembali diam, lalu menatap wajah Erina dengan sendu. Ia memang sudah menjadi seorang kakak sekaligus ibu untuk gadis yang ada di hadapannya, tanpa terkecuali. "Apa kamu masih marah pada kita berdua?" tanya Khansa tersenyum tipis. Sejenak Erina mengangkat alis kanannya tidak percaya. Ingin sekali ia mengatakan semua uneg-uneg yang ada di benaknya. Akan tetapi, ia masih memiliki sopan santun untuk menyanggah keras. "Saya tidak tahu apa mau kamu kalau diajak berbincara saja seperti ini," ucap Romi sinis, lalu menyeruput kopi miliknya dengan nikmat. "Apa mau kalian?" tanya Erina dingin. Setelah berperang dengan batinnya sendiri, Erina pun memutuskan untuk mengalah saja. Karena mau sampai kapan pun ia akan selalu berurusan dengan seluruh keluarganya, meskipun itu adalah Ulya. "Kami hanya meminta penjelasan darimu, Erina," jawab Romi tersenyum tipis, lalu menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi. "Tentang?" sahut Erina tanpa minat. "Pergantian identitasmu tanpa izin dari keluarga," balas Romi menatap seorang gadis yang pernah ia benci karena suatu alasan. "Memangnya apa hak kalian sampai melarangku seperti ini? Bukankah nasib kalian berdua sudah sesuai dengan keinginan selama ini? Menjadi satu-satunya pewaris Pingle Group," ucap Erina tanpa sadar mengepalkan tangannya kuat tepat di bawah meja. Menyembunyikan hatinya yang mulai terasa perih. "Atas dasar apa kamu mengatakan ini keinginan kami?" tanya Romi sedikit tersinggung dengan penuturan Erina. Khansa yang sejak tadi mulai merasa aura cukup menegangkan pun langsung menyela, "Tidak, Erina. Kamu salah paham terhadap kami selama ini." "Benarkah? Bukannya selama ini kalian berdua selalu berusaha menyingkirkanku," balas Erina terdengar miris. "Percayalah, sayang. Niat kami ke sini hanya untuk memastikanmu baik-baik saja," tukas Khansa mengangguk meyakinkan. Sedangkan Erina yang memiliki hati seputih kapas, sehalus sutera, dan sepolos kain itu mulai merasa terenyuh mendengar penuturan pasutri yang pernah merawat dirinya selama beberapa tahun. Sebab, dirinya bukanlah seorang pribadi tidak tahu diri yang sudah dirawat dengan baik oleh kakak kandungnya berkedok sebagai orang tua. "Bagaimana kabarmu selama ini?" tanya Khansa mulai merasa kalau Erina sudah membaik daripada tadi. "Tidak akan ada anak yang baik-baik saja hidup berjauhan dengan kedua orang tuanya," jawab Erina tersenyum miris. "Apa ... kamu ingin kembali?" tanya Romi terdengar ragu. "Tidak baik-baik saja bukan berarti ingin kembali pada kalian," jawab Erina datar. "Lantas kenapa kamu mengutarakan seperti itu?" Kedua alis Romi terangkat bingung. Namun, Erina hanya mengabaikannya begitu saja. Ia memang tidak berniat untuk mengatakan hal apa pun lebih lanjut. Karena semua pasti akan berlanjut dalam hal seperti itu. Yang tidak lain tidak bukan menyangkut masa lalu. "Cepat apa yang ingin kalian katakan," cetus Erina menatap keduanya datar. Seolah obrolan tadi hanya pembukaan saja membuat Erina tidak ingin berlama-lama dengan nostalgia masa lalu kelamnya. "Kami ingin kamu kembali. Terserah apa pun identitasnya," pinta Romi serius membuat Khansa langsung menatap Erina sendu. "Menurut kalian sendiri, bagaimana?" balas Erina dengan wajah setengah mengejek. Sebenarnya, Erina sama sekali tidak memiliki rasa apa pun lagi terhadap kedua orang yang ada di hadapannya. Ia memang sudah memutuskan untuk tidak berpihak pada siapa pun, selain dirinya sendiri. "Erina, kami sudah memberikan toleransi padamu untuk tetap bersikap sopan. Tapi, apa yang kami dapat? Kamu selalu saja menatap kami rendahan. Memangnya siapa yang merawat kamu selama ini!?" hardik Romi menatap Erina marah sekaligus kesal. "Oh, baguslah. Aku sangat berterima kasih pada kalian berdua yang telah merawatku selama ini. Tapi, untuk balasannya, bukankah sudah memiliki Pingle Group dengan sah?" Entah kenapa Erina semakin senang melihat Romi yang sudah melunturkan topeng pura-pura baiknya. Ia tentu saja tahu tujuan kedatangan mereka berdua sampai sejauh ini. "Kau-" Baru saja Romi hendak menyentak gadis itu, tetapi langsung terhenti ketika lengannya digenggam erat oleh Khansa. Wanita berparas awet muda nan cantik itu menggeleng pelan. "Erina, jangan berpikiran seperti itu. Kedatangan kami berdua benar-benar ingin bertemu denganmu," sela Khansa tersenyum sendu. "Oh ya? Buktikan padaku kalau kalian berdua benar-benar tulus menemuiku," balas Erina tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Terima kasih atas kunjungannya, tapi lebih baik kalian berdua tidak menemuiku." Selepas mengatakan hal tersebut, Erina melenggang pergi tanpa beban. Tentu saja sejak tadi ia sudah menahan semua niat itu dengan dalam-dalam agar tidak menyakiti kedua orang tua itu. Karena sikapnya tadi sudah sangat kelewat batas sehingga mampu menyentil emosi Romi dalam sekejap. Tepat ketika dirinya keluar dari restoran terlihat seorang gadis terduduk di salah satu bangku restoran yang ada di luar. Ia menikmati sebuah minuman yang ada di hadapannya sembari sesekali menatap pengunjung kafe. Seakan dirinya tengah mencari seseorang. "Lusi!" panggil Erina setengah berteriak. Mendengar namanya terpanggil membuat Lusi langsung menoleh dan melambaikan tangan sembari tersenyum lebar. "Sejak kapan kau ada di sini menungguku?" tanya Erina mendudukkan diri tepat di depan gadis itu. "Entahlah. Aku hanya bingung apa yang harus aku saat menunggumu seperti ini," jawab Lusi tersenyum paksa sembari mengaduk-aduk minumannya bosan. "Maafkan aku, tadi kau harus menyaksikan hal yang seharusnya menjadi rahasia keluargaku," sesal Erina menatap Lusi dengan wajah memohon. "Tidak apa-apa, Erina. Semua orang pasti mempunyai kesalahan. Lagi pula ini rahasiamu, kenapa harus sampai minta maaf," balas Lusi tersenyum geli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD