2. Meet Again

954 Words
Berdiri bak patung pancoran membuat Akira sedikit kesal, lalu menatap Ken. Laki-laki itu nampak asik dengan gelembungan balon yang diciptakan dari permen karet. Matanya sibuk memandangi sekeliling terlihat banyak siswi yang melintas. Namun, ada pula yang tidak tahu malu menyapa Ken dan hanya dibalas gumaman tidak jelas oleh lelaki itu. Sementara Devin terlihat asik dengan ponselnya. Laki-laki itu di mana pun dan kapan pun pasti akan bermain game online. Padahal jelas sekali Akira menghela napas kasar, namun tidak membuat laki-laki bertubuh menjulang tinggi itu mengalihkan perhatiannya. Ken menoleh sekilas pada Akira. “Tadi jadi nganterin anak baru?” Akira menatap Ken sambil mengangguk. Lalu, matanya menatap salah satu kerumunan laki-laki, di sana terlihat Alvaro yang terdiam memandangi sekeliling dengan pandangan datar. Namun, perempuan mungil itu tidak memerdulikannya. “Dia anak kelas atas,” jawab Akira sambil menendang pelan batu-batu kerikil di bawahnya. “Oh. Kelas 12,” sahut Devin memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menatap Akira sambil menaikkan satu kakinya yang bertumpu pada kaki kiri dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Bagaikan kekasih, Akira diampit oleh dua laki-laki yang sama gagahnya. Namun, lama kelamaan Akira merasa lapar. Karena sejak bel istirahat mereka bertiga tidak mampir ke kantin. Hanya duduk di taman sambil memakan permen karet milik Ken, tetapi Akira yang memang tidak menyukainya hanya diam. Cyra yang sejak tadi sudah melenggang ke kantin membuat Akira sedikit bersyukur. Kalau tidak pasti teman sebangkunya itu akan merengek pada dirinya untuk mengantarkan ke kantin. Tentu saja Cyra merupakan perempuan yang sangat manja. Kepala Akira bersandar pada pundak Devin. “Kalian enggak mau ke kantin?” Kompak Devin dan Ken menatap Akira sambil menggeleng pelan, lalu meluruskan kaki panjangnya. Kaki Akira terlihat sangat mungil dan paling pendek. Hal tersebut membuat Akira menekuk kembali kakinya sambil menegakkan tubuh, menatap sekeliling yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan sepi. Tanpa sengaja mata Akira bertabrakan dengan Alvaro. Entah sejak kapan laki-laki itu berada tidak jauh dari Akira. Padahal tadi ia melihat Alvaro tidak ada di sana. Namun, ia mulai merasa tidak nyaman saat Alvaro menatapnya dengan begitu intens. Ken melihat gerak-gerik aneh dari Akira pun bertanya, “Lo kenapa? Kalau lapar, ayo ke kantin.” “Ayo!” balas Akira cepat dan bangkit dari bangkunya. “Vin, ayo!” Ken menepuk pelan pundak Devin. Mau tak mau Devin bangkit dan berjalan malas mengikuti kedua sahabatnya yang bergelayut manja seperti sepasang kekasih. Untung saja ia dan Ken tidak mempunyai pacar dan belum memiliki gebetan. Bisa mati jika ia terus-terusan bersama dengan Akira. Satu-satunya sahabat perempuan yang sangat manja. Tanpa Akira sadari, Alvaro sama sekali tidak melepaskan pandangannya. Ia terus menatap Akira yang bergelayut manja dengan Ken. Namun, yang membuat dirinya tidak percaya adalah bagaimana bisa Akira mempunyai dua pacar sekaligus. “Gila itu cewek,” gumam Alvaro tersenyum samar. Ia merasa tergelitik melihat tingkah laku Akira yang sangat berbeda dengan tadi. Tears Of Death “Ra, beneran enggak mau kita antar aja?” Suara Devin yang lagi-lagi membuat Akira kesal. Entah sudah berapa kali ia mendengar pertanyaan itu. “Enggak, Vin. Gue bisa pulang sendiri kok. Lo lupa kalau gue karate?” ejek Akira tertawa kecil. Ketiganya melangkah bersama ke arah pagar sekolah. Sepanjang koridor banyak yang menatap Akira dengan sorotan geli, namun tidak dapat dipungkiri ada pula yang menatap dirinya kesal. Sebab, Ken adalah ketos dan Devin ketua eskul basket, sedangkan dirinya hanya sebuah keberuntungan bisa bersahabat dengan laki-laki tampan tanpa celah tersebut. “Latihan lagi kapan, Ra?” Kali ini Ken mengalihkan pertanyaan Devin. Sebenarnya ia juga muak mendengar pertanyaan yang sejak keluar kelas tadi sudah dipertanyakan. Akira terlihat menimang sesuatu. “Gue belum mutusin, sih. Takut dojo enggak ada yang jaga. Kalau gue latihan.” “Gue bantuin, Ra!” Suara Devin terdengar semangat. Sementara Akira menatap Devin dari atas sampai bawah dengan pandangan sedikit tidak percaya. “Enggak! Dojo gue jadi apa kalau lo yang ngelatih,” tolak Akira mentah-mentah. Ia tidak yakin jika Devin yang memegangnya. Bisa kabur semua para murid manisnya itu. “Mampus!” ejek Ken tertawa geli. Akira menghentikan langkahnya. “Udah sana lo! Gue mau tunggu bus di sini.” Seketika Ken menatap Akira dengan garang. Sama halnya dengan Devin yang menatap Akira seperti ingin memakan hidup-hidup. Keduanya sekilas nampak seperti pacar cemburuan Akira. “Apa lo lihat-lihat!” tanya Akira galak, membuat kedua laki-laki itu spontan mengendurkan wajahnya dan tersenyum lebar. “Beneran, Ra. Lo enggak mau diantar kita?” Wajah Ken terlihat sangat bersungguh-sungguh membuat Akira tertawa geli. “Iya, sayang.” Akira menepuk pelan lengan Ken dan Devin secara bergantian, lalu tersenyum manis. Kedua sahabat laki-laki ini nampak sekali ingin mengantarkan dirinya, padahal jarak rumah Akira dan rumah kedua laki-laki sangatlah terpaut jauh dan tidak searah, membuat ia harus berpikir matang-matang hanya untuk merepotkannya. Setelah kepergian kedua sahabatnya, Akira berdiri di pinggiran trotoar sambil memperhatikan anak-anak yang berlalu mengedarai motor mereka. Dalam hati, Akira ingin sekali mengendarai kendaraan roda dua itu, tetapi dirinya tidak berani meminta kepada kedua orang tuanya. Tanpa sadar Akira melewati bus yang seharusnya ia naiki. Karena terus melamun, ia sampai tidak ingat bahwa hanya satu bus yang akan melintas ketika sore hari seperti ini. Itu artinya ia harus berjalan sampai rumah. Karena kecerobohannya inilah membuat Akira sedikit kesal dan menyusuri pinggiran trotoar yang dipenuhi pejalan kaki, tetapi tidak semua dari mereka berjalan ke arah yang sama seperti Akira. Kebanyakan dari mereka berbelok ke arah gang-gang kecil dan Akira berakhir dengan kesendirian. Berkali-kali ia menghela napas pelan sambil menyeka peluh yang ada di dahinya. Kini bandana hitam itu bertransformasi menjadi ikat rambut. Karena sejak tadi ia berkeringat dan rambut-rambutnya sedikit lepek. Hal yang sangat Akira benci. Tanpa disadari perut Akira sangat perih. Ia belum makan sejak istirahat tadi, hanya minum dan memutuskan untuk tidur di kelas. Kebiasaan Akira ketika sedang malas. Karena di rumah dapat ia pastikan tidak ada waktu tidur. Suara klakson mengejutkan Akira. Kedua kaki mungilnya pun memerintahkan ia untuk menepi dan berbalik menatap seseorang yang ada di belakangnya. Alis tebal dan hampir bertaut itu menukik bingung melihat seseorang yang sama persis dengan orang yang hampir saja menabrak dirinya. Kali ini Akira memasang wajah segarang mungkin. Sementara laki-laki itu menyandarkan motornya dan melepaskan tautan helm. Seketika mata Akira membulat. Itu adalah Alvaro.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD