17. Jealous

1086 Words
Sepanjang perjalanan Alvaro hanya diam dan menatap lurus ke depan sembari mengeraskan rahangnya, bahkan Erina yang melihatnya pun hanya meringis pelan. Mengapan lelaki itu jadi terlihat posesif? Padahal ia bukanlah siapa-siapa.   Alvaro menghentikan mobilnya tepat di depan lobi, lalu mengalihkan perhatiannya pada Erina yang masih setia di tempat.   “Turun, Na. Udah sampai,” celetuk Alvaro tersenyum tipis, membuat Erina langsung meraih tas selempangnya, lalu ikut turun dari mobil dan berlari kecil menghampiri Alvaro yang bersiap untuk masuk ke dalam.   Kini keduanya telah berdiri di depan pintu masuk kantor yang telihat ramai, dan ada salah satu satpam yang menghampiri Alvaro.   “Mari, Bos! Biar saya parkirkan mobilnya,” ucap satpam itu.   Alvaro meletakkan kunci mobilnya pada telapak tangan satpam itu dan menggenggam jemari Erina erat untuk membawanya masuk ke dalam.   Sesaat, Erina tampak menolak saat Alvaro menggenggamnya dalam keramaian ini, tetapi itu semua tidak diambil pusing olehnya. Malah semakin merapatkan tubuhnya pada gadis itu, membuat pandangan mata seluruh karyawannya mengarah pada mereka berdua. Tidak ada yang menggunjing.   Sesampainya di dalam evalator, Erina langsung melepaskan genggamannya kesal. Ia menatap Alvaro dengan mata berkilat-kilat marah sekaligus geram. Tentu saja ia kesal dengan lelaki itu yang seenaknya menggenggam tangan miliknya di depan umum.   “Kak, ngapain sih kayak tadi itu? Nanti kalau dia nuntut gue gimana?” sungut Erina kesal mengingat kejadian tadi di kafe.   Alvaro memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, lalu menatap Erina dengan geli. Ia tahu bahwa gadis itu tidak akan bisa berlama-lama memendam kekesalannya.   “Enggak akan. Lagi pula emangnya lo mau terus-terusan diam saat diperlakuin seperti itu?” Alvaro menatap Erina dengan alis terangkat.   “Ya enggak gitu juga, tapi setidaknya lo hargain dia sebagai klien gue, Kak. Masa cuma gara-gara itu gue jadi jauhin dia,” jawab Erina sedikit ragu.   “Na, dengerin gue. Berbisnis itu melatih kita untuk menilai seseorang. Kalau lo dapatnya klien seperti itu terus, juga akan merugikan lo. Memangnya lo nyaman diperlakuin seakan-akan lo ini jalang? Gue bersikap kayak tadi cuma mau buat dia sadar, karena enggak semua wanita akan mau diperlakuin seperti itu,” tutur Alvaro tersenyum tipis sembari menatap Erina lembut. Ia tahu gadis itu masih sangat marah akan kehadirannya yang terkesan tiba-tiba.   Baru saja Erina hendak menjawab perkataan Alvaro, tiba-tiba pintu elevator berdenting pelan. Menandakan mereka berdua telah sampai di tempat tujuan.   Tanpa pikir panjang, Alvaro langsung menggenggam jemari Erina lagi dan membawanya melangkah ke arah ruangan yang berada di paling ujung lantai. Di sini hanya berisikan beberapa karyawan saja, termasuk asisten dan sekretaris pribadinya.   Sebenarnya, Alvaro selalu datang bersama kedua orang itu, tetapi kali ini berbeda. Karena ia tidak ingin membuat Erina merasa canggung saat dekat dengan dirinya yang berstatus sebagai CEO.   Meiying yang menyadari kehadiran Alvaro pun langsung bangkit dan melepaskan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnnya dengan manis.   “Pagi, Tuan Aryasatya!” sapa Meiying sembari melirik Erina sekalias, lalu tersenyum menggoda pada Alvaro yang mendelik kesal.   Tanpa memerdulikan tatapan menggoda dari sekretarisnya, Alvaro langsung membawa Erina masuk ke dalam. Sekilas ia bisa melihat tatapan geli dari Zhou Yuan, asisten pribadinya. Keduanya memang sangat kompak dalam mengejek dirinya.   Sesampainya di dalam, Erina langsung berdecak kagum melihat interior yang dipasang di sekeliling ruangan milik Alvaro. Semua yang ada di sana serba hitam, membuat kesan maskulin dalam sekali melihat.   Alvaro membawa Erina untuk menduduki salah satu sofa kecil yang ada di sudut ruangan, lalu kembali melangkahkan kakinya ke arah meja kerja yang berisikan beberapa map. Sepertinya itu adalah laporan yang akan ia bahas hari ini.   “Na, nanti gue ada rapat. Lo di sini aja jangan kemana-mana. Nanti akan ada Kak Jenia yang datang, kemungkinan besar Cherry enggak ikut. Karena hari ini ada rapat besar,” ucap Alvaro sembari membawa beberapa map di tangannya, tanpa menatap Erina yang terkejut sekaligus bingung.   “Terus fungsinya gue di sini ngapain? Tahu gitu mendingan gue ke kantor, Kak,” balas Erina mengerucutkan bibirnya kesal.   Alvaro menghela napas pelan, kemudian menutup map yang ada di tangannya, lalu mendudukkan diri tepat di samping Erina.   “Setelah gue selesai rapat kita akan ke percetakan, dan hari ini gue udah izin sama Tuan Wang.”   Erina mengangkat alisnya tidak percaya saat Alvaro mengatakan itu, kapan lelaki itu izin?   “Kalau lo enggak percaya bisa lihat ponsel gue sendiri,” ucap Alvaro lagi, kali ini ia memberikan ponsel keramat yang tidak pernah disentuh siapapun.   Tanpa pikir panjang Erina langsung merebut dan melihat apa yang dikatakan Alvaro adalah kebenaran. Akan tetapi, pergerakannya tiba-tiba terhenti melihat lock screen yang ada di ponsel lelaki itu adalah foto candid dirinya. Astaga, dapat dari mana dia?   Lalu, dengan cepat Erina langsung menggeser layar kunci yang teryata tidak dikunci. Dan dugaannya benar, lagi-lagi foto candid dirinya menjadi wallpaper ponsel lelaki itu. Oh tidak, rasa penasaran Erina pun mulai berkecamuk.   Erina pun menatap Alvaro yang masih asyik membaca laporan di tangannya. Sejenak ia terpaku pada wajah tampan lelaki itu yang bertambah berkali-kali lipat ketika sedang serius. Apalagi bibir tipis nan berisi yang terkantup sempurna, menghiasi hidung mancung bak paruh burung. Dahi lebar nan mulus itu terpampang sempurna seiring dengan jambulnya tersisir rapi. Tiba-tiba pintu ruangan terketuk pelan, membuat Erina langsung mengalihkan perhatiannya. Tentu saja ia tidak ingin tertangkap basah tengah memerhatikan lelaki itu.   Terlihat wanita cantik nan anggun masuk ke dalam, Erina yang melihatnya pun merasa tidak asing. Namun, mulutnya tidak berbicara apa-apa, selain tatapannya yang menelisik memerhatikan penampilan wanita itu dari atas sampai bawah yang terlihat sangat sopan.   “Permisi, Tuan Alva. Rapat sebentar lagi dimulai, tapi saya ingin memberikan laporan yang belum sempat diberikan oleh Pemantau Keuangan Perusahaan. Di sini sudah terperinci dengan jelas tentang keluar-masuk kas perusahaan,” ucap Meiying memberikan setumpukkan map yang cukup banyak, lalu meletakkannya tepat di hadapan Alvaro yang memijat pelipisnya pelan.   “Meiying, apa kamu tidak tahu saya sedang membaca? Apakah tidak bisa pekerjaan ini diberikan pada Pak Dzaky? Rasanya kepala saya ingin pecah membaca uang yang tidak ada habisnya,” balas Alvaro frustasi.   Sedangkan Erina yang melihat kedekatan mereka berdua hanya menggeram pelan. Entah kenapa hatinya merasa tidak rela melihat Alvaro yang begitu santai berbicara dengan sekretarisnya. Ada perasaan tidak suka sekaligus marah, bahkan ia ingin sekali mencakar wajah tampan yang kini mengerucutkan bibirnya.   Meiying tertawa pelan, lalu menoleh ke arah Erina yang terlihat tidak suka. Sebenarnya, ia tahu siapa gadis itu, karena dulu Alvaro selalu bercerita tentang gadis yang pernah mengisi hatinya selama SMA. Sayangnya, lelaki itu belum pernah dipertemukan lagi, dan kini ia cukup terkejut melihat Alvaro yang menemukan kekasih hatinya lagi.   “Erina, ya? Tahu enggak, dulu Alvaro selalu membicarakan kamu sama saya,” ucap Meiying ringan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD