10. Xingku La

1071 Words
“Sekarang jelasin sama kita, semuanya.” Jenia menatap Alvaro dan Erina secara bergantian dengan wajah serius. Erina mengembuskan napasnya pelan dan menegakkan tubuhnya. Karena ia tahu, pasti semua yang mengenalnya akan bingung tiba-tiba mengubah nama sekaligus kewarganegaraan. “Dari aku, Kak. Jadi, setelah Kak Alva lulus dan memutuskan untuk terbang ke China, aku langsung mutusin untuk ikut jejaknya. Karena motivasi aku cuma dia, ”jeda Erina menatap Alvaro tanpa ekspresi. “Namun, saat aku menginjak kelas 12 dan disaat yang bersamaan pula Kakek Hasbi meninggal. Aku jauh lebih terpuruk waktu Kak Alva pergi. Di situ aku mulai merasa udah enggak ada siapa-siapa lagi yang aku pertahanin. ” “Setelah lulus, aku langsung mutusin kuliah lewat jalur beasiswa di sini, dan senangnya aku lulus dalam program sarjana. Aku dapat uang saku sekaligus pembayaran kuliah selama delapan semester berturut-turut. Asalkan aku bisa dapat IPK di atas 4. ” “Dan setelah lulus aku langsung ke KBRI untuk mengatur pergantian namaku sekaligus kewarganegaraan. Bahkan aku udah memperbarui visaku menjadi seorang penetap. ” Erina menyudahi penjelasannnya yang cukup gamang dengan senyuman tipis. “Maksudnya kamu pindah tanpa bilang sama orang tua?” tanya Jenia sedikit tidak mengerti akan penjelasan Erina. Erina tersenyum getir. "Iya, Kak." Setelah itu, keadaan pun menjadi semakin meningkat sewaktu-waktu. Karena masing-masing dari mereka tengah bergelut dengan pikiran, termasuk Cherry yang sejak tadi sibuk Berbicara dengan Dzaky pun mendadak diam sembari terus menatap Erina. Namun, tatapan itu mampu mengusik Erina sehingga gadis itu langsung menoleh pada Cherry yang tersenyum kecil. “Hai, Cherry!” sapa Erina sembari mengusap pipi gembil milik Cherry. “Kakak mau?” tanya Cherry menawarkan biskuit yang ada di. Enggak buat Cherry aja. Oh ya, Kakak punya makanan di tas, sebentar, ya. ” Setelah itu, Erina pun melesat cepat ke belakang untuk mengambil ransel berat yang berisikan laptop kerjanya. “Ini buat kamu,” ucap Erina sembari menyerahkan kue bulan yang ada di tangan. Melihat itu Cherry pun langsung berbinar ceria dan mengambil kue yang ada di tangan Erina, lalu memamerkannya pada Dzaky. “Papah, aku punya dong,” ejek Cherry tertawa pelan membuat Dzaky gemas dan mencium pipi gembil anaknya yang semakin besar. “Kamu tahu enggak, Na. Kalau Cherry bilang begitu pasti besoknya minta lagi dan maunya dari kamu doang, ”sindir Alvaro membuat Cherry langsung menatap omnya kesal. Sedangkan Dzaky hanya menggeleng takjub melihat kedekatan Cherry dengan Erina yang sehari saja. Padahal untuk ukuran gadis kecil seperti Cherry, butuh waktu lama untuk menjalin hubungan. Akan tetapi, itu semua seakan tidak tersedia untuk Erina. “Don't begitu, Kak,” bela Erina membuat Cherry langsung menghampirinya dan mengatur leher Erina kuat. “Wo ai ni, Cici.” Sontak yang ada di sana tertawa melihat tingkah menggemaskan Cherry. Bahkan Erina yang terkejut mendapat pelukan itu pun hanya tertawa dan mengusap lembut punggung mungil milik Cherry. “Udah, udah, malam ini kita mau ngajak kalian makan, tapi berhubungan kalian berdua udah makan malam. Kita kayaknya datang kurang tepat, ”ucap Jenia menjelaskan maksud dari kedatangannya. “Daripada makan di luar mendingan kita cobain masakan Erina. Gimana? ” Dzaky terlihat jelas membuat istri dan anaknya sumringah. Betul juga. Makanan tadi masih ada, Al? ” Jenia Bersiap bangkit dari tempat duduknya sembari memakaikan kaki mungil Cherry dengan sepatu khas gadis kecil yang berbunyi serta kerlap-kerlip lampu. “Masih, Kak. Tapi, kalau mau yang masih panas kita bisa minta sama Chef Erina untuk memasaknya,” jawab Alvaro sembari melenggang pergi ke arah dapur. Sementara Erina yang melihat keantusiasan mereka hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus peduli apa lagi. Sebab, ia benar-benar canggung setelah tidak bertemu beberapa tahun. Bahkan sudah banyak yang berubah selama kepergiannya itu. Tidak ada yang menduga memang, terlebih dahulu menikah dengan Zulfan secara tiba-tiba. Sedangkan Erina yang menetap di sini pun hanya mendengar kabar lewat skype kedua sahabat lelakinya yang menyatakan bahwa Ulya melangsungkan pernikahan di Jakarta. Kabar bahagia itu memang sedikit mengejutkan, karena selama ini Erina hanya melihat bahwa sepupunya itu dekat dengan Zulfan, tetapi sama sekali tidak menduga bahwa akan berakhir di pelaminan seperti ini. Ia hanya berharap semoga sepupunya itu bahagia dengan pilihannya. Kini Erina memang benar-benar lepas dari kehidupannya yang dulu. Sekarang semua serba baru. Apa yang diperkirakan ini jauh dari perkiraannya dulu. Mungkin aneh, tetapi inilah Erina yang sebenernya. Ia mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain lagi. “Jadi, setelah lulus kamu kemana, Na?” tanya Jenia penasaran. Kini keempat orang itu tengah menyantap hidangan yang Erina sajikan. Tidak butuh waktu lama, karena bahan-bahan yang kebetulan banyak dan hanya ia panaskan saja. Bahkan Cherry saja sudah menambah beberapa piring dari porsi biasanya. “Aku coba-coba ngelamar di beberapa perusahaan sih, Kak. Tapi ya gitu, jauh dari skill aku yang hanya lulusan Sastra Mandarin, ”jawab Erina tersenyum kecut mengingat perjuangannya dulu mencari pekerjaan yang sangat sulit. “Terus kamu belum kerja sekarang?” “Udah. Aku kerja di salah satu novel percetakan. ” “Wah, dimana itu?” "Distrik Tatung. " Jenia mendelik terkejut mendengar jawaban Erina yang kelewat santai. Astaga, jauh sekali. Kamu naik apa ke sana? ” Erina tertawa pelan. “Biasanya aku naik bus, tapi kalau busnya terlambat aku sudah naik MRT ke sana.” “Memangnya kamu tinggal dimana, Na?” Kali ini yang bertanya adalah Dzaky. Sedangkan Alvaro hanya diam sembari menyimak perkataan kedua kakaknya yang masih sibuk menginterogasi Erina. “Aku masih pakai asrama kampus, belum bisa nyari tempat tinggal yang pas sama pekerjaan aku. Lagi pula aku udah bilang kalau aku akan menetap di sana selama penuh, dan kalau aku sudah mempunyai uang yang cukup untuk menyewa rumah. ” “Kamu lulusan mana? He kita tidak pernah bertemu, padahal Kakak sering menjadi pembicaraan dari kampus ke kampus, ”tanya Jenia penasaran, sedangkan Cherry masih asyik melahap nasi goreng spesial buatan Erina. "Universitas Maritim Shanghai." “Zhen de ma !?” Jenia mendelik tidak mendengar jawaban Erina. (Benarkah !?) “Sebenarnya, aku juga bukan kampus aktivis, jadi wajar saja kalau Kakak enggak tahu. Bahkan kerjaanku di kampus hanya belajar, lalu menjadi seorang barista kopi di kafe. Untuk hadir di acara-acara yang tidak menguntungkan itu aku harus berpikir panjang, Kak. Karena aku ke sini tanpa uang sepeser pun. ” "Xingku ni," sahut Jenia tersenyum lebar. “Kalau begitu, kenapa kamu enggak nyoba ngelamar kerjaan di kantor Bang Dzaky? Kebetulan di situasi sekretaris di sana lagi kosong. Kalau kamu mau aku bisa membantunya. ” Mendengar penuturan Jenia, membuat Erina tersenyum senang. Akan tetapi, ia harus matang-matang untuk terjun lagi ke dunia perkantoran. Terlebih seseorang yang sangat ia hindari berada di ruang lingkup bisnis. “Aku pikir-pikir lagi ya, Kak. Soalnya aku cinta banget sama pekerjaannku. ” “Tidak masalah. Aku tidak memaksanya kalau kamu tidak mau. ” Erina tersenyum tipis dan mengangguk pelan, lalu kembali menyendokkan makanannya ke dalam mulut sembari terus berpikir tentang tawaran Jenia yang cukup menggiurkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD