2. Masih Ospek

1803 Words
Suara gelak tawa peserta ospek masih terdengar jelas. “Diam! Diam! Siapa yang mengizinkan kalian tertawa?” Teriakan Medusa membuat seisi lapangan kembali hening. “Buseeettt dah... Cantik-cantik galak amat!” Gerutu salah seorang peserta ospek yang berbaris di sebelah Bambang. Plak!!! “Eh... Ayam, Ayam, Ayam.” Suara pemuda itu latah karena terkejut. “Apa Lu bilang?” Lagi-lagi Medusa memukul bahu peserta ospek dengan kipasnya. Giliran Bambang menahan tawa melihat sikap latah pemuda yang berdiri di sebelahnya. “Giliran kamu!” Medusa menatap pemuda yang berada di sebelah Bambang. “Sebutkan nomor mahasiswa, nama panjang, dan nama panggilan kamu!” Medusa berbicara di samping telinga pemuda itu. Pemuda itu hanya bisa menatap dan menelan salivanya, karena rasa gugup dan takut pada kakak tingkat. “Iye, Mpok!” Medusa langsung menoleh ke arah pemuda tadi. “Eh ... iye, Kak!” Pemuda tadi langsung meralat perkataannya setelah Medusa melirik dan berbalik menatap pemuda itu. Pemuda itu menghirup udara dan memulai untuk menyebutkan nomor mahasiswanya. “I... Te... Nol... Dua... Nol... Nol... Satu... Tiga.” “Nama saya... Abdul Kodir Jaelani... Biasa dipanggil....” “Mamat... Keramat!” Lagi-lagi Medusa kembali menyela kalimat pemuda itu. Padahal pemuda itu belum sempat menyelesaikan ucapannya. “Waduh... Gile bener ni senior, aye dipanggil keramat... Emang muke aye aura malam satu suro? Ape gara-gara angka keramat ye? Tiga belas nomor belakang aye?” Jae menggerutu lagi. Sontak seluruh peserta ikut tertawa mendengar perkataan Medusa. “Diam!” Seketika suasana lapangan menjadi hening. “Siapa yang nyuruh kalian tertawa? Hah?” Medusa membentak seluruh peserta ospek. Medusa kembali berjalan dan menepuk pundak salah seorang peserta ospek yang bersebelahan dengan Bambang. “Perkenalkan diri kamu!” Medusa kembali berjalan mengitari peserta ospek setelah menepuk pundak lelaki itu. “Iya, Kak!” “Nomor mahasiswa saya....” “I... Te... Nol... Dua... Nol... Nol... Satu... Tujuh!” Dengan lantang pemuda itu menyebutkan nomor mahasiswanya. “Ulangi!” Medusa berteriak sambil berjalan mondar-mandir. “Aduh... Macamana pula ini?” Pemuda itu menggerutu dan terlihat sangat tegang. “I... Te... Nol....” “Kelamaan! Dua nomor di belakang, jika digabung menjadi apa?” Sela Medusa pada pemuda itu. “Sambung menyambung menjadi... Satu... Kan ada dilagu itu, Kak!” Jawab pemuda tadi dengan logat khas batak. “Bukaaan ituuuu! Jangan bergurau! Angka berapa?” Medusa kembali menatap pemuda itu. “Angka... tujuh belas, Kak?” Raut wajah pemuda tadi tampak bingung. “Dalam bahasa inggris? Ulangi nomor mahasiswa kamu dan dua nomor belakang tujuh belas dalam bahasa inggris! Cepat! Yang lantang!” teriak Medusa pada pemuda itu. “Aduh... Eh... Iya, Kak!” “I... Te... Nol... Dua... Nol... Nol... Seventeen!” “Nama saya Samosir Ambarita... Biasa dipanggil dengan nama....” “Entin!” Sela Medusa pada ucapan Sam. “Waduh... Cemana pula ganteng begini dipanggil Entin?” Sam menggerutu sambil melirik Medusa. “ Ingat! Selama ospek kalian akan dipanggil berdasarkan nama yang baru saja Gue kasih! Mengerti?” “Mengerti, Kak!” Suara seluruh peserta ospek bergemuruh di lapangan pagi itu. Lagi-lagi nama panggilan yang diberikan oleh komisi disiplin selama ospek, harus mereka ingat dan ditulis pada kartu identitas yang menggantung di d**a mereka. “Ada-ada aja! Lucu... Orang tinggi gede begitu dipanggil Entin, dikira kembang desa kali ya!” Celetuk Bambang, ia tertawa geli dalam hatinya. Celetukan Bambang sontak membuat peserta ospek lainnya tertawa. Kegiatan Ospek di lapangan sudah selesai. Seluruh peserta diperintahkan untuk masuk ke dalam aula kampus. Di sana mereka dibariskan sesuai dengan kelompok masing-masing. Bambang, Jae, dan Sam merupakan anggota satu kelompok. Mereka dipertemukan dalam kegiatan ospek ini. Petualangan mereka akan segera dimulai. Mereka diminta untuk duduk rapi karena panitia seksi konsumsi akan membagikan sarapan untuk mereka berupa nasi bungkus dengan lauk telur balado, oseng tempe, dan sayur capcai. Sebelum sarapan dimulai, mereka harus mempersiapkan persyaratan yang diminta oleh panitia, yaitu air mineral cap s**u dan sendok makan. Bambang dan Jae melirik ke arah Sam. “Psssttt... Pssstttt... Sam!” Bambang memberi kode pada Samosir dan memanggilnya dengan berbisik. Namun Sam tidak mendengarnya dan tatapan matanya masih lurus ke depan. Bambang dan Jae saling menatap. “Sam!” Suara bisikan Jae dan Bambang tidak terdengar di telinga Sam. Sehingga Jae menginjak kaki Sam. “Aw.” teriak Sam terdengar lantang. Ia langsung mengerem suaranya karena takut Medusa akan menyadari hal itu. “ Ada apa kau?” Sam menoleh karena sangat terkejut dengan tingkah Jae yang menginjak kakinya. “Air mineral Lu!” Jae memberi kode. “Apa? Tak dengar aku!” Sam melongo dan tidak mendengar ucapan Jae. Bisik-bisik itu terdengar ke telinga Medusa yang sedari tadi ada di belakang mereka. “Entin!” “Mamat!” Suara Medusa terdengar melengking di antara barisan para peserta di belakang mereka. “Aduh... Mampuslah aku!” Samosir terlihat pucat ketika ia teringat nama panggilannya saat Ospek, diucapkan Medusa. “Entin! Ngapain Lu bisik-bisik sama Mamat?” Medusa berjalan mendekat pada Samosir. “I.. itu.. Kak... Aku tak paham, Kak!” Samosir sudah pasrah. Bambang dan Jae juga merasa deg-degan. Perasaan gugup, keringat bercucuran, dan sesekali mata mereka melirik, mencuri pandang pada Medusa yang sangar. “Aduh... Bisa mati gaya kiye aku! Mbak Medusa nyamperin kita!” Bambang berbicara dalam hatinya sembari melirik ke arah Medusa yang sudah berada di sebelah Sam. “Lu juga! Ngapain bisik-bisik?” Medusa menatap Jae dengan sangar. “Iye, Kak... Maap dah ye... Tadi Aye Cuma mau ngingetin... Kalo yang kudu dibawa air mineral cap susu... Bukan air s**u sebotol begitu, Kak!” Suara Jae sedikit bergetar. Medusa melihat botol s**u lengkap dengan dotnya, yang berisi penuh s**u putih. Lalu tatapan Medusa kembali menelisik sorot mata Sam. “Oh... Aku tak bisa kalau cuma minum air mineral, Kak! Maklum biasa minum s**u aku, Kak!” Sam membuat alasan. “Dasar bayi besar! Awas saja kalu sampai tidak kamu habiskan!” Medusa kembali berjalan meninggalkan peserta bersama panitia komisi disiplin lainnya. “Sam... Untung aja, enggak dihukum sama Mbak Medusa!” Bambang berbicara pada Sam. “Tapi... Aku galau ini guys! Aku tak biasa minum s**u! Aku memang tak baca persyaratan ospek dengan baik! Cemana ini?” Sam terlihat galau. “Ya elah... Lu ngape kagak bilang! Terus begimane ini? Kite minum barengan aje gimane, Bang?” Jae melihat Bambang. “Tapi enggak pakai dot juga kali Mas Jae! Bisa hilang ini pesona Bambang! Sang idola!” Bambang berbisik pada Jae dan Sam. “Ya elah... tampang kite sekarang udeh kayak orang sableng tahu enggak Lu? Kagak useh tebar pesona dulu deh! Ketampanan aye aje kagak muncul ini! Gelap suram!” Jae sangat menggebu-gebu. “Wajah tampan aku pun tak tampak, malah aneh begini! Sudahlah... Kalian bantu aku! Menghabiskan s**u ini!” Sam sangat galau dengan nasibnya. “Iya Sam... nanti kita bantuin ya Jae?” Bambang melirik Jae. “Iye... Udah sikat aje!” Jae bersemangat. Suara lantang Medusa memberi kode agar semua peserta ospek makan dengan baik tanpa ada sisa makanan. Mereka diberi waktu 15 menit untuk menghabiskan nasi bungkus yang telah panitia bagikan. Para peserta ospek menyantapnya dengan lahap, termasuk Bambang, Sam, dan Jae. Walau Bambang dan Jae sempat merasa enek saat meminum s**u dikala perut merasa kenyang. Kegiatan ospek pagi ini berjalan dengan lancar. Kelompok ospek berdasarkan jurusannya. Sehingga memudahkan dosen pembimbing akademik berkenalan dengan mahasiswa baru dalam satu ruangan. Setelah acara selesai dan peserta ospek menjalani ibadah Salat zuhur, mereka kembali dikumpulkan dalam aula. Seperti biasa Medusa dan beberapa anggota komisi disiplin membariskan mereka. “Semuanya baris dengan rapi sesuai dengan kelompok kalian masing-masing?” Suara ketua komisi disiplin terdengar lantang. “Sekarang keluarkan semua persyaratan yang saya sebutkan! Kaca mata hitam! Puisi cinta! Lirik lagu! Kue raja dangdut! Roti sundel bolong, dan pisang satu sisir!” suara Medusa terdengar lantang. Hal itu membuat semua peserta ospek bergidik setiap kali Medusa mulai berjalan menyusuri setiap barisan mereka. Semua peserta mengeluarkan semua persyaratan. Namun Bambang dan Sam menyadari ada yang tidak beres dengan isi tas Jae. Benar saja setelah mereka mengeluarkan isi dalam tas mereka, giliran Jae yang melanggar peraturan. “Waduh... tadi kamu, Sam! Sekarang Mamat keramat! Lihat, Sam!” Bambang berbisik pada Sam. “Alamak... Kacau kali hari ini, alamat kena hukuman ini, Bang!” Raut wajah Sam dan Bambang terbengong melirik ke arah Jae. Tak lama kemudian Jae menyadari hal itu. “Heh... Elu pade kenapa melirik aye begitu amat!” Jae pun merasa ada yang tidak beres. “Diam! Kalian ini biang keributan, ya! Apa lagi sih? Mencurigakan!” Suara Medusa mengagetkan mereka. Entah datang dari mana tiba-tiba Medusa sudah berada di hadapan mereka. Medusa menatap Jae, Bambang, dan Sam. Kemudian matanya menatap ke bawah. “Aduh... tamatlah kita!” Sam berbisik pada Bambang. “Ngalamat, dihukum lagi, Sam!” Bambang membalas bisikan. Medusa melihat semua persyaratan ospek yang tadi dia sebutkan. “Kalian tahu? Maksud dari pisang satu sisir?” Medusa melihat sekelilingnya. Lalu menatap Bambang. “Jawab!” Medusa berbicara lirih pada Bambang. “Satu buah pisang, satu buah sisir, Kak!” Bambang menjawab dengan lantang walau tubuhnya bergetar memikirkan hukuman dari panitia. “Terus... teman satu kelompok kalian bawa apa?” Tatapan Medusa mengarah pada pisang Ambon yang Jae bawa. “Satu sisir pisang, Kak!” Sam menjawab pertanyaan Medusa. “Sekarang Gue enggak mau tahu! Kalian habiskan semua makanan yang kalian bawa! Mengerti?” Medusa mulai memerintah. “Mengerti, Kak!” suara seluruh peserta ospek terdengar kompak. Bambang, Jae, dan Sam saling menatap, mereka hanya mampu memakan dua buah pisang Ambon. “Jae... bisa-bisanya kamu bawa pisang segambreng begini?” Raut wajah Bambang terlihat kekenyangan. “Lha mana aye ngarti maksudnye... ye udeh aye bawa aje kemari.” Jae pun terlihat kekenyangan. “Alamak... kenyang kali perutku ini?” Samosir menatap Bambang dan Jae. Panitia seksi konsumsi dan komisi disiplin, mau mengerti betapa kenyangnya perut mereka, sehingga pisang tadi diberikan pada panitia. Namun sebagai hukuman atas kesalahan persyaratan, kelompok Bambang harus menerima hukuman. “Sore ini, sebelum kalian pulang... Komisi disiplin akan memberikan hukuman pada kelompok yang paling banyak melanggar.” Ketua ospek memberi arahan. “Sam... Sam... ngerasa enggak sih? Kayaknya kita lho yang kena hukuman!” Wajah Bambang mendadak ciut. “Astaga... kek mana lagi ini, kenapa pula aku harus satu kelompok dengan kalian!” Sam menggerutu. “Udeh... biar berkesan! Nikmati aje!” Jae berbisik pada mereka. “Gara-gara kamu Jae! Kita udah kayak nyemot makan pisang sebanyak itu!” Bambang keceplosan dengan suaranya. “Wiro!” Medusa kembali menatap Bambang. “Waduh aku keceplosan.” Bambang gugup dan menunduk. Dia menyadari kalau baru saja keceplosan bersuara saat berbicara pada Jae. “Sore ini, sebelum pulang, kamu baca puisi cinta!” Medusa memutuskan Bambang yang membacanya. Lantaran kelompok Bambang yang memang akan kena hukuman. Pukul 17.00 seluruh peserta ospek sudah berbaris di lapangan. Anggota komisi disiplin sudah membariskan Bambang di depan barisan peserta lainnya, karena dia akan membacakan puisi cinta yang dia buat sendiri. “Wiro! Cepat baca puisi cintamu!” Medusa kembali memerintah Bambang. “Iya, Kak!” Bambang pun bersiap untuk membacakan puisi cintanya. “Duh... bakal ribet ini! Tapi... ah ... Sudahlah!” Bambang berbicara dalam hatinya sembari menatap teman-temannya. “Mulai sekarang, Kak!” Bambang menoleh pada Medusa. “Enggak... Tahun depan!” Medusa melirik Bambang. “Ya sekaranglah!” Medusa masih melirik sinis pada Bambang. “Eh... iya... iya, Kak! “Pakai tanya segala? Ya jelas sekarang, Wiro!” Medusa sangat kesal dengan sikap Bambang. “i... iya, Kak!” “ Puisi ini, saya buat untuk seorang teman.” Bambang segera memulai membacakan puisinya. Untuk senja yang begitu indah Waktu begitu cepat berlalu Bagai desir angin yang menerbangkan debu Secepat pertemuan kita kala itu Sorot mata yang begitu indah, masih tersimpan rapi dalam hatiku Senyum yang begitu memesona, selalu memberi semangat dalam hidupku Sesuatu yang sulit aku raih, akan tetap aku perjuangkan Begitu pula dengan dirimu... Sejauh ini aku melangkah menembus kota Hanya untuk dirimu...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD