2

1335 Words
Kesedihan seorang wanita yang ditinggal menikah gebetan, selain menatap nanar pada gebetan dan sang pasangan di pelaminan ialah saat gebetan itu memamerkan foto bayinya. Gemintang ingin melenyapkan dirinya dari kubikel saat Setyo melintas bersama satu kado jumbo. Tidak perlu otak jenius untuk tahu isi dalamnya. Jelas hadiah untuk momongan baru Setyo. Bayi perempuan yang―tidak butuh waktu sembilan bulan sejak pernikahan Setyo dan istri―telah lahir ke dunia. Masa-masa Gemintang jatuh hati pada Setyo masih sering berputar. Betapa baiknya Setyo menyapa Gemintang yang jauh dari standar cantik wanita ibukota. Lalu tumpangan pulang ke kos oleh Setyo padahal arah rumahnya berlawanan. Ditambah lagi waktu mereka wisata kuliner ke berbagai tempat makan, dari kaki lima hingga resto i********:-able yang rasanya payah. Lima tahun waktu susah dan senang bersama, Setyo tak pernah sekalipun menyadari pesan-pesan cinta yang dilempar Gemintang. Semuanya luluh lantak bertepatan Setyo mengenalkannya pada Viona, admin baru divisi pajak yang cantik. Disusul undangan pernikahan bertuliskan nama Setyo dan Viona. Gemintang hancur bertemankan tisu rol dan sekotak buah plum. Dalam bayangannya, orang patah hati akan turun berat badan beberapa kilo. Ditunjang iklan buah plum di segala sosmed, Gemintang makin getol menguruskan badan. Biar Setyo menyesal. Namun tak ada perubahan. Gemintang tetap si Gajah departemen HR-GA. Kesedihannya makin sukar surut dengan fakta Setyo bahagia bersama Viona dan bayi mereka yang dikatakan orang-orang calon selebgram. “Hai, Gemintang,” sapa Setyo. Senyum tiga jari yang dulu dielu-elukan Gemintang tidak sanggup menjebol benteng anti-Setyo. “Hai,” balas Gemintang cuek. “Sehat?” Dari jutaan kata yang tercatat di KBBI haruskah pertanyaan itu yang dilontarkan Setyo? Gemintang TIDAK SEHAT, jika itu yang ingin dia tahu. Separuh hatinya hancur. Pria yang didambakannya, yang masuk dalam doa agar jadi pendampingnya kelak ternyata TIDAK PERNAH menyadari perasaannya. “Kayak yang lo lihat.” Kali ini Gemintang coba pasang aksi nothing to lose. Dia berani menghadapi Setyo. “Karena size lo masih bulat gemesin gini, gue yakin lo sehat,” candaan Setyo menyulut api emosi dalam kepala Gemintang. Orang lain boleh mengejeknya beruang, bedug masjid, gentong air, truk kontainer, dan segala benda berukuran jumbo. Tapi ini Setyo, yang selama lima tahun belum pernah mencetuskan kalimat menghina postur badannya. Gemintang menggeleng, siapa sangka lima tahun tidak menjamin seseorang kita kenal luar-dalam. Setyo contohnya. “Size gue memang kayak kasur sejak bayi, kalau itu yang mau lo tahu,” balas Gemintang berusaha tampak santai. “Sorry.” Setyo mengernyit, merasa telah salah bicara. “Jangan kaku gitu. Ada urusan penting?” Gemintang memilih mengesampingkan ejekan Setyo. Meski hatinya sangat terluka. “Oh, gue mau ajak lo datang ke slametan anak gue.” “Kapan?” “Jumat ini. Malam acaranya. Anak-anak lain nyusul setelah pulang kerja.” “Lihat nanti, ya. Gue usahakan.” Gemintang yang dulu mungkin akan mati-matian menyisakan waktu demi menemani Setyo, termasuk menemaninya belanja barang yang baru diketahui Gemintang belakangan ini adalah hadiah untuk Viona. Setyo terperangah pada tanggapan Gemintang. Belum lagi sikap Gemintang yang seolah menghindarinya. “Lo baik-baik aja?” tanya Setyo agak ragu. “Gue baik-baik aja,” jawab Gemintang sambil mengambil ponsel dan tab. “Gue harus ketemu Bu Yurike. Udah nggak ada lagi yang mau diomongin kan?” Setyo mengangguk kecil dan membiarkan Gemintang memasuki sebuah ruangan yang tersekat kaca buram. Dia menghela napas letih sebelum meninggalkan kubikel Gemintang yang kosong. ・・・ Dean, pria berkulit seputih salju itu, duduk lesu pada tepian ranjang. Kepalanya pening disusul bahu yang melorot, jauh dari kesan perkasa yang tergambar dari lekuk badannya yang atletis. Di balik punggungnya, seorang perempuan menyibak selimut dengan kesal lalu berjalan memunguti pakaian yang berserakan di lantai, sama sekali tidak menunjukkan malu berbugil ria hilir-mudik. “Ada apa dengan kamu?” tanya perempuan itu serak. Kedua tangannya memeluk helai-helai pakaian yang dipungut tanpa usaha menutupi kondisi telanjangnya. Dean diam. Matanya bertahan menatap lantai marmer. Dia tahu perempuan itu berjalan mendekatinya, berdiri gelisah di sebelah. Namun dia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan perempuan itu. “Terus saja diam,” sengit perempuan itu yang kemudian mengenakan pakaiannya di tempat. Dean melirik aktivitas perempuan itu lalu membuang pandangannya pada ratusan kerlip lampu gedung-gedung pencakar langit yang tampak melalui jendela besar. Perempuan itu mengambil tasnya yang teronggok di dekat sofa. Sebelum memutar kenop pintu, dia menyempatkan diri menoleh pada Dean. Pancaran matanya masih berharap pria itu akan mencegahnya pergi. Seperti yang selalu Dean lakukan, mencekal lengannya, memeluknya, membisikan kata maaf, dan mereka berbaikan. Biasanya semudah itu. Tidak kali ini. Satu menit berlalu dan Dean bertahan dalam diam. Perempuan itu mendesah. Hubungan mereka tidak lagi sama. Dean berubah, dirinya berubah, dan mereka berubah. Mungkin malam ini satu perubahan baru lagi terjadi. Entah bagaimana lagi perubahan terus terjadi di antara mereka. Perempuan itu letih dan tak sanggup berpikir. Pergi, hanya itu yang terpikir. Jika bukan malam ini mereka memperbaiki perubahan ini, mungkin esok atau lusa. Yang jelas, perempuan itu bertekad tidak akan membiarkan situasi mereka gamang selamanya. Ketika suara benturan pintu dan kusen terdengar yang menandakan perempuan itu telah pergi, barulah Dean bisa menghela napas. Dia membanting badan ke belakang, melepaskan segala penat ke atas ranjang yang gagal dipanaskan. Perempuan itu, Laura, pasti marah padanya. Jika bisa jujur, Dean pun ingin marah pada dirinya sendiri. Mengapa mereka selalu gagal dalam berhubungan, seolah dirinya kehilangan makna keperkasaan. Sial! Dean mengangkat sebelah lengannya menutupi mata, membiarkan dirinya terlelap dalam situasi setengah telanjang. Tidak ada tenaga setitik pun demi menarik selimut dan menghalau sengatan pendingin ruangan. Dean letih dan muak. Hal yang dibutuhkannya kini ialah tidur. ・・・ “What’s up?” Lucas datang bersama dua kopi dalam gelas kertas. Satu disodorkan pada Dean yang selama dua jam melamun di depan laptop. “Nggak ada,” jawab Dean sembari menerima gelas dari Lucas. Dia butuh kopi, minuman yang bisa menormalkan sedikit saraf otaknya. “Nggak usah bohong. I knew you, dude. Kasih tau gue, ada masalah apa?” Lucas bukan tipikal orang yang akan melepaskan keingintahuannya begitu saja. Mereka yang melabeli semua pria sebagai manusia paling tidak peka sedunia harus mengoreksi ulang pernyataan tersebut. Lucas contoh pengecualian itu, dia sangat sensitif pada lingkungan. Dan dia hapal gelagat Dean―sahabat sekaligus partner mendirikan startup company―tiap mengalami masalah. “Laura,” gumam Dean, agak enggan mengungkapkan kehidupan asmaranya pada si bule Scotland paling kepo. “Oh, Laura.” Lucas mengangkat kedua alisnya disusul menyesap frappe hangat. Topik Laura berada di urutan nomor tiga paling dibenci Lucas. Yang pertama, isu nilai tukar rupiahーyang akan memengaruhi bisnis mereka. Yang kedua, isu agama. Dan ketiga, Laura si serigala pemakan domba. Ya, Laura memang sama mengerikannya dengan serigala dan Dean terlalu baik bagai domba yang rela dikurban. Menjijikan mengingat bagaimana Laura bisa berselingkuh dari sosok Dean yang tanpa celah. Perselingkuhan merupakan tindakan fatal yang tidak akan pernah dimaafkan Lucas. Dia berjanji tidak membunuh perempuan itu hanya demi menghormati Dean. “If you wanna talk, just talk. If you don’t, just go through it,” kata Lucas yang mana dia berusaha secara implisit meminta Dean memikirkan ulang tentang memaafkan penghianatan Laura. Dean menyeringai lemah. Kepalanya bersandar pada kursi kerja sambil menyisir ruangan kantor tidak lebih dari delapan puluh meter persegi. Kubikel para karyawan kosong pada jam makan siang di awal bulan, tanda semua pegawainya tengah menikmati gaji mereka dengan makan di luar. Ini yang diharapkan Dean, terus mengembangkan usaha agar seluruh karyawan hidup sejahtera. Meski keinginannya perlahan terwujud, kehidupannya sendiri yang malah makin menjauhi kebahagiaan. “Apa lo pernah gagal memuaskan pasangan?” desis Dean yang masih tertangkap indera pendengaran Lucas. “s**t,” umpat Lucas yang tersedak minuman. Dia membersit hidung yang mengeluarkan cairan kehitaman. Setelah ini dia akan mencoret frappe dan Dean dalam radius seratus meter. Rasanya nyaris mati ketika cairan itu naik ke hidung. “Did you ask me about s*x?” tanya Lucas meragu. Dean terkekeh. “Otak lo emang nggak jauh dari pangkal paha,” kata Dean. Dia menepuk bahu Lucas lalu meninggalkan pria itu sendirian bersama setumpuk pertanyaan dalam benak. “Hey, man. Wait, lemme know more,” seru Lucas sambil mengejar Dean.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD