Ruang Kerja Axel, Mansion Wolfe
Hening. Satu-satunya suara di ruangan berpanel kayu mahoni yang gelap itu hanyalah detak jarum jam dinding antik dan bunyi klik silinder revolver yang diputar pelan.
Axel Wolfe duduk di kursi kulitnya yang besar, kakinya terangkat ke atas meja, menindih tumpukan dokumen penting. Di dinding seberangnya, terpampang puluhan foto hitam-putih. Wajah-wajah gadis muda. Cantik, terpelajar, dan semuanya berasal dari keluarga kriminal terpandang yang putus asa ingin menjalin aliansi dengannya melalui pernikahan.
"Erik," panggil Axel, suaranya rendah, serak, dan tanpa emosi.
Erik, pria berwajah kaku yang berdiri di sudut bayangan, segera melangkah maju. "Ya, Tuan?"
"Mereka semua terlihat sama," gumam Axel. Dia mengangkat revolver peraknya, menutup satu mata, mata hitamnya yang pekat membidik lurus ke arah dinding foto. "Sama-sama membosankan. Sama-sama menginginkan hartaku. Sama-sama... berisik."
Erik tidak menjawab. Dia tahu bosnya sedang dalam fase 'bosan', dan fase itu adalah yang paling berbahaya.
Axel mulai berhitung dalam hati. Kebiasaannya. Ritme kematian. Satu... Jari telunjuknya menegang di pelatuk. Dua... Dia menggeser laras pistolnya secara acak, tidak benar-benar melihat wajah siapa yang dia bidik. Tiga.
DOR!
Suara tembakan menggema, memekakkan telinga di ruangan tertutup itu. Asap tipis mengepul dari ujung laras. Di dinding, sebuah foto berlubang tepat di bagian dahi. Foto itu terlepas dari paku dan melayang jatuh ke lantai, mendarat tepat di dekat sepatu Erik.
Erik membungkuk, memungut foto yang kini memiliki lubang hangus di tengahnya. Dia membalik foto itu dan membaca nama yang tertulis di belakangnya.
"Lucia Bonetti," baca Erik datar. "Putri bungsu dari Don Bonetti, Sisilia. Bisnis keluarga mereka sedang di ambang kebangkrutan karena pengkhianatan internal."
Axel menurunkan kakinya, meletakkan pistol yang masih panas ke atas meja. Dia tidak tersenyum. Wajahnya datar, dingin, seolah baru saja menepuk nyamuk, bukan memilih calon istri.
"Bonetti," ulang Axel, merasakan nama itu di lidahnya. "Bawa dia kemari. Jika dia membosankan dalam lima menit pertama..." Axel menatap Erik, tatapan mata hitamnya kosong dan mengerikan. "...kau tahu di mana harus membuang mayatnya."