Penawaran

1608 Words
Arum pikir, apa yang terjadi semalam adalah mimpi. Tapi faktanya, itu adalah kenyataan. Dia tidur dengan duda anak dua yang menjadi incarannya, memberikan tubuhnya dan melewati satu malam menyenangkan bersama. Satu ekpektasi lagi yang tidak terealisasikan. Arum pikir, Jean akan meminta maaf padanya, kemudian mengatakan kalimat, “Saya akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi semalam.” Seperti yang pria-pria katakan dalam film. Nyatanya, Arum malah mendapatkan kalimat, “Saya punya bukti kuat, CCTV menunjukan kalau kamu yang datang dan mengganggu saya. Apa yang terjadi semalam juga bukan tindak pidana kekerasan seksual. Jika kamu mau membawa hal ini ke pengadilan, saya tidak takut untuk membuktikan diri saya tidak bersalah.” Bajingan memang, kenapa dia malah mengatakan hal itu pada perempuan yang baru saja kehilangan keper*wanannya? Betapa teganya. Namun Arum sadar, jika melawan maka dirinya akan kalah. Jean adalah lulusan S3 Hukum. Dia menguasai keadaan ditambah lagi dia adalah seorang advokat. Berdebat dengannya sama saja denngan bunuh diri. “Kamu dengar saya gak?” “Mas gak berfikir kalau kita ini jodoh, Mas? kita dipertemukan dengan keadaan yang sama sama sudah patah hati. Mas yang ditinggal meninggal, dan saya yang ditinggal selingkuh. Terus lihat sekarang, dari sekian banyak tempat berlibur, kita berakhir di Capadoccia. Di atas ranjang yang sama pula, saling bertukar keringat pula. Ini tanda dari Tuhan loh, Mas. kalau kita bisa melengkapi satu sama lain.” Pria itu mengerutkan keningnya. “Saya gak ada niatan untuk menikah lagi, apalagi sama kamu.” “Emangnya aku kenapa? kan aku melengkapi Mas, sifat kita yang bertolak belakang itu yang jadi penyatu.” “Kalau gak ada yang mau kamu omongin lagi, silahkan pulang. kamar kamu di sebelah kan? Saya ada kerjaan.” “Mas ih, semalam aku nyerahin keperawanan sama Mas loh.” “Lalu?” Lalu? Apa? Arum juga bingung harus menggertak Jean dengan cara apa. “Kalau aku hamil gimana?” “Gak mungkin. Kamu type perempuan penyuka junkfood, pasti gak subur.” “Ya Tuhan!” arum mengusap dadanya menahan kesal. “Mas saya serius, kalau saya hamil gimana? Mau digugurin? Mas jahat banget.” “Hal itu belum kejadian. Kenapa saya harus membuang waktu dengan berfikir?” “Kan kalau misalnya.” “Gak akan kejadian.” Jean menarik tangan Arum dan membawanya keluar dari kamar. “Keluar, dan jangan ganggu saya lagi.” “Mas, tunggu, Mas. kita belum selesai ngomong loh. Mas!” BRAK! Tapi pintu lebih dulu ditutup. Arum mengerucutkan bibirnya, kenapa bisa ada pria sejenis itu di dunia ini? “Mas…. kalau aku hamil gimana?” tapi nyatanya diabaikan. Arum kembali ke kamar yang seharusnya sambil menghentak kaki. Melihat keadaannya di pantulan kaca, terlihat kacau dan kisssmark dimana mana. Mana mau calon suaminya nanti bersamanya jika dia sudah di unboxing. “Gimana caranya supaya si Mas Jean tanggung jawab sama gue?” Sebenarnya, pertimbangan terbesar Arum adalah kesempatan. Dia sudah sedekat ini dengan Jean. “Tubuh gue sama si Mas udah nyatu. Masa iya gak bisa dapetin duda anak dua itu.” Dalam lamunannya, tiba tiba sekelebat ingatan muncul. Dimana Arum menyentuh perut kotak kotak Jean, kemudian mereka mendesah bersama, bertukar keringat dan saling mengerangi tubuh satu sama lain. “Anjir merinding.” Memeluk tubuhnya sendiri. “Gue pastiin lu bakalan nikahin gue, Mas. kita udah kadung keringetan bareng, Tuhan udah ngasih gue jalan soalnya.” **** Nyatanya, tidak semudah itu mendapatkan Jean. Tiba tiba saja pria itu sudah pergi dari kamar hotel, meninggalkan Arum sendiri di Capadoccia. Namun, Arum tidak akan berhenti, dia akan mengejar pria itu. Pulang ke Jakarta dengan keadaan yang masih galau, Arum tidak langsung pulang ke apartemen, dia membeli bahan makanan dulu di mini market. Saat itulah Arum melihat sosok yang tidak asing sedang berbelanja juga. “Hallo, Bu,” sapa Arum. Hatinya berucap, “Tuhan, kalau emang jodoh, tolong permudah.” “Iya?” Tapi sepertinya sosok ini tidak mengenalinya. “Mari saya bantu, Bu.” “Aduh terima kasih loh, keranjangnya ini gak cukup,” ucap wanita tua itu melangkah ke kasir diikuti oleh Arum. “Kamu kayaknya gak asing ya? temennya Raisa bukan?” “Iya, Bu. Kita pernah ketemu di rumah sakit,” ucap Arum bahagia. Ini calon mertuanya juga, kalau dia jadi menikah dengan Jean. Hehe. “Ibu gimaana kabarnya?” “Baik. Kamu Arum ‘kan? Kamu berubah ya, Ibu sampe gak kenal sama kamu. jadi…. Kok kayak gelandangan gitu pas tadi kamu ngajak ngomong.” Senyuman Arum pudar seketika, untung saja ini adalah calon mertuanya. “Habis pulang dari liburan, Bu. Makannya tampilannya gini. Ibu di Jakarta lagi nginep di rumah Raisa?” “Enggak, Ibu ke sini mau bantuin Jean pindah ke rumah barunya.” “Loh, Mas Jean pindah ke Jakarta, Bu?” “Iya, dia kan sekarang aktifin lagi firma hukumnya. Jadi pengacara independent, aktif di P2TP2A juga, di pendampingan hukum. Hehe.” Tuhkan, sudah Arum duga kalau dirinya dan Jean akan berjodoh dengan diberikan jalan seperti ini. “Kamu mau gak bantuin saya gak? Kamu sibuk gak?” “Enggak, Bu!” arum berucap dengan antusias. Sampai sampai membuat calon Ibu mertuanya mundur perlahan. “Hehehe, yaudah ayok. Pakai mobil kamu ya, supir saya lagi ke bengkel.” “Pantes aja pengen dianter, gak ada sopirnya. Tapi gak papa, demi nikah sama Mas Jean.” Dengan ini, Arum jadi tau dimana rumah Jean dan dua anaknya. Di salah satu perumahan elite, di sana juga ada satu pembantu dan satu pengasuh yang membantu. Jean tidak ada di rumah, katanya sedang ada pekerjaan. Sementara dua anaknya berada di rumah adik Jean: pria yang namanya Juan, dimana dia menikah dengan Raisa. Ingin menjadi calon menantu yang baik, Arum membantu Ibu Putri. “Nanti Mas Jean ngurus anaknya sendirian dong, Bu?” “Enggak, kan ada pengasuh.” “Maksudnya… gak nikah lagi? Kasihan anak anak masih kecil, ditambah lagi kan dia masih muda.” “Dia mana mau nikah lagi. Dulu sama median istrinya aja dijodohin, dipaksa paksa. Gak akan mungkin mau kalau dipaksa juga. Dia emang gitu, nyaman sendiri.” Arum jadi kehilangan semangatnya. Sepertinya mustahil dia akan menikah dengan Jean. “Kecuali kalau nanti tiba-tiba ada perempuan yang ngaku hamil anaknya, Ibu sama suami bakalan paksa dia tanggung jawab. Tapi semoga aja enggak, dulu aja capek banget maksa dia nikah.” Senyuman Arum mengembang, yang dia perlukan hanyalah hamil bukan? Apalagi malam di Capadoccia, Arum menerima semua benih itu di rahimnya. Ibu Putri niatnya hendak menanyakan ketertarikan Arum pada Jean, tapi saat menoleh malah mendapati Arum yang tersenyum seorang diri dengan mata menatap ke atas. Menakutkan dan terlihat aneh. “Gak normal, gak akan masuk kalau sama Jean,” ucapnya dalam hati. Sampai terdengar suara mobil memasuki pekaranan, Jean pulang! “Loh, anak-anak gak dijemput, Jean?” “Enggak, Bu. Mau nginep di rumah Tantenya katanya. Jean ada banyak kerjaan, jadi gak papa.” sampai Jean mendapati Arum yang menampakan diri setelah sebelumnya terhalang tubuh gemuk ibu putri. “Ini temannya adik ipar kamu, Ibu ajak ke sini karena dia bantu,” ucap Ibu Putri menjelaskan. “Oh iya, katanya kamu butuh cathering buat acara di firma hukum kamu' kan? Arum punya café, pesen sama dia aja.” Senyuman Arum membesar di belakang sana, jalannya berdekatan dengan Juan semakin mulus. Dia memiliki alasan untuk bertemu pria ini terus. *** Arum mengenyampingkan dulu skripsi, dia focus pada bisnis café dan juga misi mengejar Jean. Meskipun sulit sekali di dekati. Beberapa kali Arum menghubungi, tapi tidak dibalas meskipun perihal cathering. Saat Arum datang ke kantor Jean, dia diabaikan. Tidak sempat juga bicara lama karena Jean langsung pergi, atau ada orang lain yang mengganggu. Sekarang, ketiga kalinya Arum datang ke kantor Jean. Beberapa orang di kantornya sudah mengetahui siapa Arum dan mempersilahkannya masuk. Jika di hadapan orang lain, Arum akan bersikap manis dan sopan. Namun begitu masuk ke ruangan Jean, dia langsung berubah menjadi ganas. “Aku datang Mas Jean,” ucapnya menutup pintu. “Loh, kemana dia?” tidak ada di ruangan, padahal pekerjanya bilang kalau Jean ada di dalam. “Mas Jean, aku mau fiksasi nih. Sebelum dibikin terus dianter besok sore. Ke hotel yang Palapa itu kan?” Arum berfikir kalau Jean bersembunyi, sampai dia mendengar suara desahan dari dalam kamar mandi. Mendekat, dan membukanya perlahan. s**t! arum tau kalau Jean laki-laki normal yang memerlukan pelepasan juga, tapi melihatnya secara langsung membuat Arum merinding. Dia langsung mengingat bagaimana malam panas mereka. apalagi melihat pria itu mendapatkan pelepasannya. Arum berbalik seketika, tapi dia tidak sengaja menyenggol vas bunga. “Siapa di sana?” Jean keluar setelah menutup lagi miliknya. “Kamu?” “Heheheh, hallo, Mas. tadi diizinin masuk ke sini sama pegawainya.” “Saya udah bilang berulang kali, kalau mau ke sini harus bikin janji dulu.” “Kan aku mau konfimasi perihal makanannya, Mas.” “Kemarin udah fiks. Ngapain ke sini lagi? Keluar, saya punya banyak kerjaan.” “Jangan malu gitu, Mas. normal kok kalau cowok butuh pelepasan.” Kalimat itu membuat Jean menatap tajam Arum. “Kamu liat apa barusan?” “Liat sesuatu, hehehe.” Arum melepaskan cengkraman tangan Jean kemudian duduk di sofa dengan anggun. “Mas, kalau sendiri terus nanti gak sehat loh.” Arum ingat jelas kalau Jean itu tidak mau menikah lagi, kecuali dipaksa oleh Ibunya dengan keadaan si wanita yang hamil. Sialnya Arum tidak hamil! Padahal mereka melakukannya berulang kali malam itu! “Gimana kalau kita buat kesepakatan? Kita jadi partner…. Itu?” alisnya naik turun. “Aku juga lagi dalam kondisi gak punya hubungan sama siapapun. Mau ambil keuntungan satu sama lain gak?” Jean menyilangkan tangannya. “Apa yang mau kamu omongin?” “Partner…. tidur bareng?” Arum menaikan alisnya menggoda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD