Chapter 3

1526 Words
Waktu terus berlalu. Ternyata kebahagiaanku memiliki ibu tiri, tidak berlangsung lama. Mama Nina pun akhirnya menyerah pada takdirnya. Dia tak kerasaan memiliki suami yang jarang ada di rumah. Ya, beliau meminta cerai dengan alasan itu. Secara terbuka dia pun menduga atau menuduh ayah mempunyai istri lagi di tempat lain. Ayah tidak menyangkal, juga tidak mengiyakan tuduhan itu. Dan anehnya Ayah pun tidak berusaha mempertahankan rumah tangga yang sudah hampir dia bisa dua tahun lamanya. Sejak ayah menikah dengan Mama Nina, aku telah merasakan sepertinya dia tidak terlalu bersungguh-sungguh menjalani rumah tangganya. Bisa jadi ayah memang tidak mencintainya. Padahal pernikahan mereka berlandaskan suka sama suka. Apakah ayah masih trauma dengan perselingkuhan istrinya yang dulu, alias Mamaku? Aku tidak bisa protes kecuali hanya bisa bersedih menyesali semua yang terjadi dan pasrah menjalani hidup seperti dulu kembali. Tinggal berdua dengan ayah tetapi lebih sering menyendiri. Walau pun sudah bercerai tetapi komunikasi dengan Mama Nina tidak terputus. Kami sudah terlanjur dekat dan saling menyayangi. Hampir setiap hari, Mama Nina mengirim pesan atau meneleponku sekedar basa-basi dan mengingatkan untuk tidak lalai menjaga dan memelihara kesehatan diri, kebersihan rumah dan semangat belajar. Di sekolah aku kurang bergaul dan tidak memiliki banyak sahabat. Namun di luar sekolah hampir tiap malam aku kumpul-kumpul dengan empat sahabat terbaikku sejak kami masih di SMP dulu. Mereka adalah Galang, Alvin. Firda dan Nania. Persahabatan yang kekal abadi hingga tak terasa kami sudah sama-sama duduk di kelas tiga SMA. Hampir setiap ada kesempatan, sepulang sekolah mereka main ke rumahku. Aku sedikit bersyukur karena tugas rumahku sedikit terbantu. Firda dan Nania kompak membersihkan dan merapikan kembali dapur dan seisi rumahku sebelum pulang. Sementara Galang selalu kebobolan karena dia selalu menjadi sang penyandang dana. Beruntung orang tuanya tajir melintir. Jadinya aku dan Alvin yang paling banyak diuntungkan. Pada malam ini, kami berempat janjian bertemu di sebuah kafe untuk merayakan penerimaan raport semester pertama kelas tiga dan tibanya hari libur. Aku datang ke kafe menumpang mobilnya Galang. Bukan berarti tidak mau mengeluarkan ongkos tetapi rumah Galang memang yang paling dekat denganku. Tiba di cafe, Alvin sudah duduk tenang di salah satu sofa pojok ruangan yang memang sudah dipesan oleh Galang dan disetting untuk kami berlima. Mata Alvin tak lepas dari menatap layar hapenya, hingga dia tak menyadari saat aku dan Galang sudah ada di belakangnya. "Heh!" Galang menepuk pundak Alvin, membuat pria tinggi kurus, wajah tirus itu terhenyak kaget. "Baru sendirian, Vin?" tanyaku sambil duduk di sampingnya. "Iya nih, parah! Cuma gua aja yang gak ngaret," jawab Alvin sambil meletakan hapenya di meja. "Firda sama Nania belum datang?" tanya Galang yang kemudian duduk di salah satu sofa berseberangan denganku. "Mana gua tahu? Biasa lah, cewek-cewek ngaret. Padahal rumah mereka paling deket dari sini," jawab Alvin. Di samping hape Alvin ada sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Galang segera mengambil dan melahapnya. Alvin menatap Galang sambil bersungut, tapi Galang hanya membalasnya dengan cibiran dan menaikkan alis. Aku, Galang dan Alvin melanjutkan obrolan ngalor ngidul tentang segala hal yang ringan dan simple, termasuk membahas film yang sedang ramai diputar di bioskop dan akan kami tonton malam ini. Tentu saja bahasan game-game terbaru yang sedang naik daun pun tak luput dari obrolan kami. Saat kami sedang asyik ngobrol, Firda dan Nania tiba di kafe. Firda datang dengan mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih polos. Sekilas perhatianku terhenti pada bagian buah daadanya. Walau tidak terlalu besar seperti yang diinginkan para lelaki hidung belang, namun cukup mengganggu pikiranku. Sudah sejak kelas dua SMA Firda masuk dalam radar pengintaianku. Namun aku masih tak punya nyali untuk mengungkapkan perasaanku sendiri. Mataku masih tertuju pada dua gundukan kembar di bagian depan tubuh Firda walau dengan curi-curi pandang. Tonjolan mungil yang samar-samar terlihat dari balik kaosnya benar-benat menggemaskan dan membuatku makin penasaran dengan sesuatu yang terkandung di dalamnya. Entahlah aku sendiri tidak terlalu mengeti, bisanya aku begitu terobsesi dengan bagian depan dan belakang wanita yang besar mengghairahkan, tetapi kali ini aku justru terobsesi dengan dua buah kembar di bagian depan dan bemper belakangnya yang berukuran sangat biasa bahkan cenderung kecil bila dibanding Nania. Milik Firda tampak tidak terlalu menonjol dan ukurannya sangat normal. Bahkan saat memakai celana jeans ketat seperti saat ini, bongkahan bagian belakangnya cenderung terlihat datar. Postur tubuh Firda memang kurus, tapi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Wajahnya jangan ditanya lagi, manis semanis senyumnya. Wajah khas cewek-cewek Solo. "Gaes, sorry ya bikin lu lu orang nunggu kelamaan.  Sorriii banget. Tadi gue ada urusan sebentar," ujar Firda sambil merapikan rambutnya yang lurus panjang sebahu. "Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama banget," tambah Nania. Nania memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut. Tapi dia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada Firda. "Ya udah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton," ujar Galang. Dan setelah itu Nania duduk di sebelah Galang, sementara Firda duduk tepat di sebelahku. Sebenarnya sudah tiga bulan ini aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku untuk Firda. Terasa ada gelora yang luar biasa yang sulit diungkapkan setiap kali berdekatan dengannya. Aku tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini rasa itu ada, padahal kami sudah berteman akrab sejak kelas dua SMP. Firda meletakkan tas kecil di atas pangkuannya sambil menyikut lenganku, lalu dia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang teramat biasa dia lakukan namun akhir-akhir ini, malah selalu membuat jantungku berdetak semakin kencang. "Rapi banget, Pras! Lu mau nonton, apa kondangan?" sindir Firda sambil memegang lengan kemeja formal yang aku kenakan. Lalu dia tertawa yang ditimpali Nania. Sebenarnya aku memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih belum kering dan entah mengapa aku merasa ingin selalu tampil baik di depan Firda. "Pras, liburan rencana kemana?" tanya Nania. "Gak tahu. Belum ada tujuan yang pasti. Kalau Sukabumi udah pasti, udah kangen sama ade and nyokap gua. Rencananya sih sepulang dari Sukabumi pengen ke Karawang, nemuin mantan nyokap tiri gua," jawabku sedikit panjang. Biasanya janrang sekali bicara melebihi lima suku kata. "Wih asyik nih kalau kita bisa liburan di Sukabumi atau Karawang bareng-bareng. Sayangnya lusa gue harus kondangan ke saudara gue di Solo," balas Firda sambil menatapku. Andai saja saat itu aku punya keberanian, ingin rasanya menawarkan diri untuk ikut kondangan dengan Firda ke Solo. Aku bahkan bisa menjadi sopirnya atau setidaknya bergantian dengan siapapun mobil yang disewa keluarga Firda. "Kalau gua jaga kabupaten aja, hahaha." Alvin menimpali dengan candaan garing. Dia memang tidak punya kampung halaman untuk mudik. Seluruh keluarga besarnya termasuk kakek dan neneknya dari kedua belah pihak, sama-sama asli orang sini. "Kalau lu, Lang?" tanya Alvin dengan mata yang kembali fokus pada hapenya. "Galang sih mau liburan ke bulan juga bisa. Gak usah ditanya liburan mau kemana. Ya palingan kalau gak ke Singapore ya Selandia Baru. Cucu Sultan gitu loh, hehehe." Nania membantu menjawabnya. "Kayaknya libur kali ini gua mau nonton film ama main game aja di rumah." Galang membalas santai. "Iyes!" Alvin tiba-tiba berseru seraya mengacungkan tangan mengajak toast pada Galang. Alvin sudah pasti senang kalau Galang liburan tidak kemana-mana karena dia bisa dengan leluasa  menghabiskan waktu di rumah Galang untuk nonton, internetan dan main game. "Kalau lu, Nan?" tanyaku kemudian. "Betawi lah, kampung halaman gue kan Jekarte, hehehehe," balas Nania dengan logat betawinya. Kami melanjutkan obrolan menunggu waktu tayang film sambil menikmati kopi dan kue-kue ringan yang tersedia di cafe. Aku dan Alvin sudah merokok jadi ketiga sahabat yang lain hanya kebagian asapnya dari mulut kami. Setelah itu kami pun segera beranjak menuju bioskop yang lokasinya masih satu gedung dengan kace. Tiket sudah dibeli secara online oleh Galang, sehingga kami tak perlu khawatir kehabisan tempat duduk atau tidak perlu ngantri. Kami pun langsung masuk ke studio tanpa harus lama-lama menunggu. Entah kenapa, mungkin ini memang sudah takdir atau hanya kebetulan saja. Aku kembali duduk bersebelahan dengan Firda. Aku berada paling pojok setelah itu Firda, Nania, Alvin dan Galang. "Anjrit, iklannya lama banget! Tahu gini tadi mending gue beli popcorn dulu!" ujar Firda kesal. "Lah, bukannya tadi kita bawa kcang atom?" balas Nania sambil membuka retstleting tasnya. "O iya, lupa gue!" Firda semringah karena menemukan sebungkus besar kcang atom dari tas Nania. Dia langsung membuka bungkusnya, meraup isinya segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulutnya. "Pras mau?" tanya Firda dengan mulut yang penuh dengan mengunyah kcang. Uuuh! saat itu tiba-tiba pikiranku berubah. Firda jadi cewek tidak ada anggun-anggunnya. Masa makan secuek itu depan cowok. Ah mengapa aku harus perhatian? Bukankah seperti itu sudah sangat biasa? "Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai," balasku sedikit kesal. Entah mengapa aku jadi merasa kesal melihat Firda bersikap tidak anggun seperti tadi. Rasanya tak rela cewek yang sedang aku taksir bersikap seperti itu. Didikan ayah dan keluarga dari Jogja ternyata sudah melekat dalam jiwaku. "Ya udah, ntar kalau mau, bilang aja, ya!" ucap Firda masih dengan gaya cueknya. Hmmm ternyata Firda gadis Solo yang sudah tidak Nyolo. Mungkin karena lahir dan dibesarkan di kota ini. Beberapa saat kemudian Firda menawarkan kcang pada Alvin dan Galang. Dan hampi berbarengan dengan itu, lampu bioskop mati dan film pun dimulai.   Film yang kami tonron bergenre horor Hollywood namun aku sudah lupa lagi judulnya. Yang bukan ‘Ketagihan’ karena sampai detik ini cerita karya Ndra Irawan itu belum diadaptasi ke dalam bentuk film, bahkan buku cetak pun belum. ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD