Pelukan Hangat

1861 Words
"Jangan salahkan aku yang terlalu berharap, salahkan sikapmu yang membuatku berharap" *** Langit terlihat menumpahkan isinya dengan derasnya membuat sesekali petir menyambar. Azura yang tengah berjalan pada koridor kampus sontak kaget mendengar petir di atas sana. Ia memekik kaget sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dengan takut. Sesekali ia menoleh ke belakang melihat mahasiswa-mahasiswi lain hanya duduk dengan santainya tanpa memperdulikan suara menakutkan diatas sana bersamaan dengan guntur yang memekikan telinga. Cuaca akhir-akhir ini memang buruk dan membuat kening mengkerut, terkadang siang hari panas dan malamnya hujan turun dengan derasnya. Atau sebaliknya siang langit gelap gulita dan malamnya bintang bertebaran diatas sana. Entahlah, mungkin itu hanyalah faktor alam atau memang tanda-tanda kiamat. Azura mendengkus kasar mengingat kejadian kemarin di sekolah, Azzam tak mengijinkannya ikut campur masalah murid-muridnya. Malah menyuruhnya untuk pulang lebih dulu tanpa mengantar gadis itu pulang. Azura menghela kasar sembari mendudukan diri di dalam perpustakaan, ia menggerutu kecil karena Kevin belum juga datang apalagi sekarang lagi hujan mungkin pemuda itu akan absen hari ini. Mata bulatnya terlihat menyapu ruangan perpustakaan sembari melirik beberapa mahasiswa yang terlihat sedang merunduk pada buku masing-masing. Azura menegak saat tangan seseorang menepuk kepalanya membuat ia menoleh kaget. Matanya mengerjap melihat kemunculan Alvaro di hadapannya, "Kemarin lo dimana ?" Azura mengernyit sembari melirik pemuda itu yang terlihat menarik pelan kursinya dan mendudukan diri di hadapan Azura. "Di rumah," Alvaro mendesah berat, "Pulang kamping kenapa gak ada ?" Azura memutar matanya jengah, "Ketinggalan bis," balas gadis itu sekenanya, Alvaro menggigit bibir pelan. "Dan lo pulang sama cowok yang namanya Maliq, iya ?" Azura mendongak dengan mata memicing kearah pemuda itu. "Kenapa lo harus ketinggalan bis ? Bukannya kemarin lo udah sama yang lain di depan jalan ?" Ujar Alvaro lagi, Azura berdecak samar. "Gue ke danau nungguin lo," Alvaro mengerjap dengan kening mengkerut, "Nungguin gue ? buat apa ?" Azura menghela kasar sembari beranjak dari tempat duduknya membuat Alvaro mendongak kecil. "Lo yang nyuruh gue kesana dan sekarang lo sendiri yang lupa, apa hobi lo sekarang bikin gue nunggu terus dan berharap sama lo ?" Alvaro masih belum paham dengan apa yang gadis itu ucapkan, "Gue sama sekali gak pernah nyuruh lo buat ke danau," Azura mengerjap sembari menatap Alvaro tepat. "Yaudahlah gak usah dipikirin," katanya sembari melangkah pergi, Alvaro tidak tinggal diam. Pemuda itu kembali mengekori Azura membuat gadis berkerudung itu mendesah kasar. "Apalagi sih, Al ?" "Hujan udah reda, Ra." "Terus apa hubungannya ?" "Yah gue mau ajak lo jalan," Azura tersentak sembari mengerjap menatap Alvaro yang semakin hari semakin tinggi saja. "Buruan, nanti keburu hujan lagi." Katanya sembari menarik lengan gadis itu dan menuntunnya ke arah parkiran. Azura pasrah saja walau ada desiran hangat di dalam sana saat Alvaro menarik lengannya. "Mau kemana, Al ?" Pertanyaan Yena yang muncul tiba-tiba membuat keduanya menoleh pelan, Azura menghela nafas selalu saja berakhir seperti ini. "Mau keluar," ujarnya sembari mengambil motor lalu menungganginya, "Sama dia ?" Tunjuknya pada Azura yang berdiri seakan ia adalah benda tak kasat mata. "Kenapa emangnya ?" Ujar Alvaro yang masih sibuk mengeluarkan motor, Yena melirik Azura tajam, "Gue mau pergi ke toko buku sekarang, sama lo" ujarnya membuat Alvaro berdecak lirih. "Gak bisa, Na." "Kenapa gak bisa, lo tinggal batalin janji lo sama dia kan ?" Azura menghela kasar, gadis itu memilih melangkah pergi membuat Alvaro sontak turun dari tunggangannya dan menahan lengan Azura pelan. "Lo mau kemana ?" Kesalnya pada Azura, "Lo mau keluar sama dia kan ?" Ujar Azura sembari menggigit bibir kesal, "Gue mau pergi sama lo bukan orang lain," katanya sembari menarik lembut gadis itu. "Alvaro, gue telepon papa yah !" Ancamnya membuat pemuda itu meringis kecil, "Silahkan, sekalian sampein kalau gue mau keluar sama cewek gue." Katanya sembari tersenyum pada Azura yang hanya menganga kecil kearahnya. Yena mengepalkan tangannya erat sembari menatap kesal dua orang yang sudah melesat dengan kendaraan beroda dua itu. Gadis mungil itu menggigit bibir kesal dengan berusaha menahan tangisnya. Azura menipiskan bibir sembari menatap punggung Alvaro yang masih membelakanginya karena harus berkendara. Gadis itu berdehem pelan ssembari mendekat pada pundak Alvaro. "Al !" Ujarnya sembari menepuk-nepuk pelan bahu lebar Alvaro, pemuda itu berdehem sembari menepikan motor ke bahu jalan. Alvaro menoleh kecil sembari melihat Azura yang menggerak-gerakan bibirnya, "Kenapa ?" Ucapan lembut Alvaro membuat gadis itu mendongak kecil. "Maksud lo tadi bilang cewek lo itu apa ?" ujarnya dengan mencicit kecil, Alvaro tak tahan untuk tidak tersenyum sekarang. Melihat bibir mungil Azura yang mencuat-cuat kecil membuat ia gemas dengan sendirinya. "Lo gak paham atau cuma pura-pura ?" Gadis itu mendesah kasar, "Yah kalau lo cuma mau ngajak keluar mah gakpapa, tapi kalau lo bilang gue cewek lo ke Yena kayak tadi. Nanti jadinya salah paham," ujarnya membuat Alvaro menghela nafas sembari melangkah turun dari tunggangannya. Sedangkan Azura masih duduk di jok belakang, Alvaro melepas helm miliknya sembari menatap Azura lagi. "Azura," "Hm..." "Lo tahu kenapa gue balik lagi ke indonesia, setelah gue pergi menghilang ?" Azura menggeleng dengan polosnya. "Karena seseorang yang penting bagi gue ada disini," Azura mengernyit masih belum paham, "Oh, papa lo ?" Alvaro menggeleng, "Papa sekarang di Jepang," Azura mengerjap sembari berpikir. "Terus siapa ?" Alvaro mengulum senyum sembari menyentil pelan kening gadis itu. "Pikir aja sendiri," kata pemuda itu dengan senyum tertahan, melihat Azura dengan tampang sok mikir itu sangat menggemaskan di matanya. Bukan, lebih tepatnya apa-apa yang Azura lakukan semuanya menggemaskan bagi Alvaro. Karena cinta itu buta. HEHE *** Hari semakin gelap, bintang-bintang seakan mengisyaratkan kalau malam sudah begitu larut. Azura yang baru pulang dari rumah temannya setelah mengerjakan tugas kelompoknya pun terlihat berdiri di depan jalan sembari menunggu angkot ataupun transportasi lainnya. Padahal di rumah temannya tadi ada banyak teman cowoknya yang pulang sendiri tapi tidak ada yang berniat mengantar gadis itu pulang padahal malam sudah selarut ini. Azura mendesah berat sembari memicing kearah jalanan yang masih sepi dan gelap. Ia sesekali menoleh kanan kiri merasa ia berdiri seorang diri disana. Matanya mengerjap melihat dari jauh ada motor yang melaju cepat kearahnya membuat ia sontak melangkah mundur. Motor itu tidak sendiri, ada banyak motor lain yang mengikuti dari belakang membuat ia melebarkan mata. Apa ada begal atau sejenisnya ? Azura kembali menegak saat motor yang pertama berhenti tepat di hadapannya membuat ia menelan ludah kasar. Sosok pemilik motor itu terlihat membuka helm fullfacenya membuat Azura mengerjap mengenali siapa pemuda itu. "Kak Maliq !" Ujarnya dengan mengerjap. "Naik !" Titah pemuda itu seakan buru-buru, "Eh gak usah kak, nanti ngere---" Belum selesai Azura melanjutkan omongannya, Maliq sudah menarik gadis itu dan mendudukannya di jok belakang motor. Azura mengerjap cepat mendapat perlakuan seperti itu, "Pegangan !" Ujar Maliq lagi membuat Azura refleks memegang ujung jaket pemuda itu. Maliq pun melajukan motornya kuat di susul motor-motor lain yang mengejarnya, Azura sesekali melirik ke belakang dan motor-motor tadi masih saja mengikuti keduanya. Gadis itu jadi takut, kembali mencengkram kuat jaket Maliq. "Kak pelan-pelan, gue takut !" Ujarnya setengah berteriak, karena Maliq melajukan motornya diatas rata-rata membuat Azura merasa wajahnya di tampat bolak-balik oleh angin. Entah kemana pemuda itu melajukan motornya, keduanya sudah turun di depan rumah megah nan besar di hadapan mereka. Azura menoleh ke belakang takutnya motor-motor tadi mengikuti mereka sampai kesini. "Kak, ini dimana ?" Ujarnya pada pemuda berahang tajam itu, Maliq tak menjawab hanya melirik gadis itu sekilas lalu melangkah masuk tanpa beban. Azura menganga kecil melihat itu, gadis itu pun terpaksa mengekori Maliq yang sudah masuk di dalam rumah megah itu. "Kak Maliq ini dimana ?" "Maliq kamu sudah pulang ?" Ucapan dari wanita paruhbaya di sofa pun membuat Azura mengatupkan bibirnya sembari mendekat pada Maliq yang berdiri di depannya. Gadis itu terlihat mencengkram pelan jaket Maliq merasa takut begitu saja, "Dia siapa ?" Ujar wanita itu pada Maliq yang hanya diam saja. "Sa-saya Azura oma, Kak Maliq teman kam-pus." Jelasnya dengan sesekali tergagap, Maliq hanya sekilas melirik gadis itu lalu melangkah masuk ke dalam salah satu kamar. Meninggalkan Azura bersama orang asing di depannya kini, dasar tidak berperasaan. Azura berdehem sembari tersenyum canggung, "Jadi kamu temannya Maliq ?" Azura mengangguk lemah, "Ayo sini duduk, nak." Ujar wanita itu tersenyum manis sembari menarik lembut Azura untuk duduk di sebelahnya. "Kalian darimana, kenapa pulang larut begini ?" Azura hendak membuka mulut untuk menjawab, namun pukulan kuat dari pintu di luar membuat keduanya terlonjak kaget. "Siapa yang bertamu malam-malam begini," ujar wanita itu sembari beranjak, namun Maliq terlihat keluar dari kamar sembari melangkah cepat ke arah pintu. Azura hanya diam sembari tersenyum samar pada wanita paruhbaya di sebelahnya itu. "MANA GIO, CEPAT TUNJUKAN DIMANA GIO !" Teriakan keras dari pria paruhbaya diluar sana membuat Azura dan wanita tadi perlahan mendekat pada sumber suara. "Mama, mana Gio. Mama jangan coba-coba sembunyiin anak s****n itu dari saya," ujarnya sembari berjalan menerobos Maliq yang hanya diam dengan tampang dinginnya. Azura hanya menganga kecil merasa bingung dengan situasi di rumah itu. "Gio lagi tidur, jangan teriak-teriak nanti dka bangun." Ujar wanita itu lagi sembari menenangkan, tapi pria paruhbaya itu tak mendengar malah melangkah masuk di dalam salah satu kamar membuat Maliq mengeraskan rahangnya. "Papa kan sudah bilang, jangan pernah kabur dari rumah." Teriaknya sembari menyeret remaja yang masih setengah sadar itu karena kaget terbangun dari tidurnya. "Lepasin Fadil, kamu ini apa-apaan ?" Teriak wanita itu sembari menarik Gio dari tangan pria itu, Azura hanya berdiri merasa takut untuk bergerak. "Lepasin ma !" Ujarnya sembari menepis kasar tangan mamanya, membuat wanita malang itu tersungkur pada lantai. Azura sontak mendekat dan mengangkat lembut tubuh renta itu. Maliq perlahan mendekat sembari melayangkan tendangan mautnya membuat papanya terkapar pada lantai dan tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir pada kedua hidungnya. Azura menelan salivanya kasar melihat Maliq yang tampak mengeramkan sekarang. Pemuda itu terlihat menipiskan bibir sembari meninggalkan Azura yang lain. "Oma gakpapa ?" Tanya Azura sembari mengusap lembut tangan wanita renta itu, "Gakpapa, nak." Jawabnya sembari tersenyum samar. "Gio gakpapa ?" Ujar Azura sembari menarik lengan remaja itu, pemuda itu mengangguk dengan wajah yang masih shock. "Tangan lo luka dek," katanya sembari memegang lengan Gio cemas, "Gakpapa kak, kena kuku doang." Katanya sembari terkekeh. "Oma istrahat yah, udah malam. Gio juga istrahat besok sekolah, kan ?" Keduanya mengangguk, Gio pun melangkab pelan dan masuk ke dalam kamarnya. Azura terlihat memegang lengan Omanya Maliq sembari menuntunnya kearah kamarnya. Azura perlahan membaringkan tubuh renta itu dengan perlahan, "Tadi papanya Maliq," Azura mengangguk paham, "Oma istrahat dulu, " ujarnya sembari meninggalkan wanita itu di dalam kamarnya. Azura perlahan melangkah sembari mencari keberadaan Maliq, gadis itu mengerjap saat melihat pemuda itu tengah duduk di depan rumahnya sembari menatap langit malam. "Kakak gak tidur ?" Ujarnya membuat pemuda itu menoleh, Azura mendudukan diri di sebelah pemuda itu. "Kakak gakpapa ?" Maliq tak menjawab hanya menatap lurus gadis di hadapannya itu, "Anggap aja gue gak lihat apa-apa soal kejadian tadi kak, gue gak bakalan cerita sama anak-anak kok." Cerocosnya, namun Maliq masih diam dengan wajah datarnya. "Peluk ?" "HAH ?" "Boleh ?" Azura menganga merasa aneh mendengar ucapan dari pemuda dingin di hadapannya itu. Azura menegak saat pemuda itu perlahan mendekat dan langsung memeluk erat gadis itu. Maliq menghela nafas panjang merasa tenang begitu saja, saat mamanya masih hidup jika ia sedang cemas dan marah. Maka sebuah pelukan hangatlah yang akan membuat pemuda itu tenang. Pelukan dari orang-orang yang ia sayang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD