Aspirasi

1772 Words
Negara sejuta kenangan, negara damai, negara yang hebat, negara yang indah, dan negara yang sangat di segani oleh yang lainnya. Di negara inilah perasaanku selalu nyaman dan damai. Karena salah satu satelit kehidupanku ada di sini. Kehidupan memanglah sebuah misteri. Tidak ada yang bisa menebaknya meskipun ia mampu melihatnya. Semua akan berjalan berbanding terbalik dengan apa yang kita impikan. Maka, syukuri apa yang kalian punya saat ini juga. -Michel Adnan Raihan. Setiap manusia hanya berharap satu hal ko. Dia hanya ingin di hargai sebagai manusia biasa, dia juga ingin sebuah Aspirasi tidak di anggap kriminalitas, dan sebuah perbedaan pendapat tidak harus berujung pada jeruji besi yang sangat dingin. Aku membuka ponselku dan melihat kabar berita kali ini di Indonesia. Aku tersenyum dengan sinis ketika melihat berita tersebut. Varo menatapku dengan tatapan yang bingung. "Kenapa?" tanya Varo. "Tidak," ucapku sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Palingan juga liat berita gak enak. Mangkanya dia diem kayak gitu," ucap Edwin. "Lo baca berita?" tanya Varo. "Iya," cicitku. "Kenapa?" tanya Varo. "Engga, gue sekarang miris dengan orang-orang yang menatap seseorang dengan sebelah mata. Jujur gue ini manusia biasa, gue gak da apa-apanya di bandingkan mereka semua. Miris banget gue liatnya, mereka itu orang baik yang masuk ke dalam lingkungan dingin karena sebuah perbedaan pendapat." "Sudah biasa terjadi di sini, banyak anak muda yang di cek karena perbedaan pendapat. Itu adalah hal yang lumrah terjadi," jelas Vendri. "Tapi, apakah harus seperti itu? Yang saya dengar bukannya kalian sudah menjadi Lebih baik ya? Kenapa sekarang seperti ini?" tanyaku dengan lembut. "Perbedaan pendapat sudah biasa di antara kedua belah pihak. Tapi, yang benar adalah bagaimana cara kita menyikapi perbedaan tersebut. Jika apa-apa langsung melakukan hal yang instan tanpa mau mendengarkan ya susah juga," ucap Varo. "Gue gak pernah sesedih ini sih baca berita. Tapi, itu masih seumuran kita loh. Gue gak abis pikir sama yang melaporkan, selagi bisa di selesaikan secara baik kenapa harus ke sesuatu yang dingin?" tanyaku. "Sudahlah, mereka adalah orang-orang baik. Orang-orang yang selalu menegakkan keadilan akan selalu menang," jelas Varo. "Sama halnya dengan konsep kehidupan Galaxy. Jika kau berani maka kau akan terus maju. Tidak peduli dengan apapun yang ada di depanmu saat itu." "Sepertinya sekarang terbalik. Justru seseorang yang menegakkan keadilan malahan di tahan di buih yang dingin," jelas Edwin. "Ha?" kaget Varo. "Lo bahkan terlalu sering bersama Galaxy hingga lupa kalau di luar Galaxy itu kejam. Besok kau akan melihat semuanya, semua orang yang mengemukakan pendapat kebenaran akan selalu di tutup dengan rapat. Ketidak adilan untuk berbicara sekarang di tegakkan. Kau bisa melihatnya esok ketika seseorang yang berkuasa bisa melakukan segalanya dengan menggunakan uang." "Uang bisa mengubah segalanya?" tanya Varo "Bukan uang yang bisa mengubah segalanya. Tapi, uanglah untuk segalanya. Banyak orang hidup untuk selalu mencari-cari uang daripada mencari kehidupan di akhiratnya. Banyak orang yang lebih mementingkan duniawi di bandingkan Tuhannya. Kenapa? Karena di dunia ini uang adalah segalanya." "Kenapa lo bisa berbicara seperti itu?" tanya Varo. "Karena banyak orang bawah yang tidak merasakan kenyamanan di saat mereka makan. Orang bawah mereka selalu berpikir bagaimana cara mereka untuk makan esok hari." "Banyak sekali lapangan pekerjaan yang di tutup dan bahkan banyak orang yang di PHK karena hal itu. Seluruh dunia sedang menata semuanya. Menata negaranya untuk kembali ke awal." "Hidup di dunia baru bukanlah sebuah perkara yang mudah. Justru hidup di dunia yang baru ini sangat menyiksa banyak orang. Dunia baru mengajarkan kita bagaimana caranya untuk berdiri. Bagaimana caranya untuk bangun dari tidur, dan dunia baru mengajarkan kita untuk membuka mata." "Dari dunia baru kita dapat memilih siapa yang selalu ada dan siapa yang ada pada saat butuhnya saja. I know dan gue paham bagaimana rasanya jadi mereka. Jadi, buka mata lo untuk banyak orang ya. Semua orang butuh orang semacam lo." Varo terdiam dan mencerna kata demi kata yang aku ungkapkan. Varo membuang mukanya ke arah jalan dan mencerna apa yang baru saja kami jelaskan. "Mungkin kalian baru merasakan hal ini. Tapi, bagi kami ini adalah hal yang biasa. Ketika ada orang yang mengungkapkan kebenaran di tolak itu sudah biasa, mengemukakan pendapat yang benar di salahkan juga sudah biasa." "Tapi, balik lagi ke kita. Bagaimana cara kita menghadapi semuanya? Apakah kita akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan? Atau kita akan terus diam untuk selalu di tindas?" tanya Vendri. "Kalau gue, gue akan milih berjuang untuk keadilan. Ketika kita membela keadilan dengan sekuat tenaga. Mau sehebat apapun badai yang ada di depan kita akan terus di tembus. Tidak peduli dia siapa, selagi salah maka di tegur." "Gue suka seseorang yang pintar speak up di depan tapi bukan omong kosong. Karena seorang pemimpin yang baik akan bisa memimpin bawahannya dengan baik, jika ia mau turun dan bekerja bersama dengan semua bawahannya." "Seorang pemimpin sejati itu, dia bukan seseorang yang berani menyuruh saja tanpa melakukan. Jika ia hanya bisa menyuruh tanpa melakukan sesuatu hal untuk anggotanya. Maka, ia tidak bisa di sebut sebagai ketua yang baik." Aku langsung terduduk tegak dan mendengarkan setiap kata yang keluar dari Vendri. "Jika memang sebuah perusahaan di pimpin oleh pimpinan yang jujur dan ulet, maka ia akan maju sampai kapanpun." "Kenapa pemikiran lo terlalu jauh dari pada apa yang kita pikirkan?" tanya Varo. "Meskipun gue belum berpengalaman di bidang ini. Tapi, setidaknya gue tahu apa yang di maksud bisnis. Gue adalah anak Ekonomi Bisnis. Gue tau apa saja yang ada di dalam dunia bisnis. Susah, senang, sedih, hancur, keterpurukan semua orang sudah gue pahami." "Lo pernah ada di posisi itu?" tanya Varo. "Tidak, tapi keluarga gue pernah merasakan hal itu. Gue cuma bisa senyum dan berusaha lagi ke depannya mau gimana." "Begitu beratnya beban lo selama ini berarti? Karena setahu gue seorang anak yang orang tuanya berada akan merasa sangat berat bebannya. Semakin tinggi pangkat orang tua, itulah yang akan menjadi tolak ukur seorang anak untuk menggapai kesuksesannya." "Mungkin banyak yang belum sadar dengan apa yang mereka miliki, begitu pula gue saat ini. Gue sama sekali gak pernah berpikiran untuk menjadi seperti ayah. Gue juga gak pernah berpikir untuk menjadi seseorang yang sepeti mereka. Gue lebih suka menjadi diri gue sendiri dan gue lebih suka di kenal dengan nama besar gue bukan karena nama orang tua gue," jelas Vendri. "Dih, sama saja seperti Raihan. Gengsi terlalu besar," cibir Edwin. Aku langsung melototkan mataku dan memutar bola mata dengan kesal. "Maksud lo apa?" tanyaku dengan tak suka. "Dari ucapan Vendri itu gue berkaca pada masa lalu seseorang yang ada di dekat gue. Dia sama sekali tidak pernah memakai nama besar kedua orang tuanya. Ia membuka banyak lapangan pekerjaan tanpa nama keluarganya. Banyak hal yang dia selalu tolak dari orang-orang di sekitarnya." "Iri? Bilang bos," ucapku sambil membuang muka ke arah jalanan. Edwin yang merasa dirinya tersudutkan hanya tertawa singkat dan menatapku dengan dalam. "Sudahlah gue cuma bercanda. Jangan terlalu di bawa hati apa yang gue ungkapin," jelas Edwin. "Hmmm," balasku hanya berdehem dengan singkat. Matahari sudah mulai menampakkan wajahnya, Fajar pun bangkit membangunkan banyak ayam jantan tetangga bangun dari tidurnya. Kami berempat yang ada di dalam mobil hanya bisa mengagumi keindahan sunrise yang ada di hadapan kami saat ini. "Fajar sudah menunjukkan wajahnya, wajah bahagia dan ceria menyapa semua orang pagi ini." "Kau benar, sudah lama rasanya tidak melihat sunrise dan sunset di Indonesia. Banyak hal yang sudah gue tinggalkan di sini," jelasku. Edwin hanya tersenyum singkat dan fokus ke handphone yang ada di depannya. Edwin langsung menegakkan badannya dan melototkan matanya melihat kabar yang ada di handphonenya. Aku menatapnya dengan aneh, merasa janggal dengan situasi ini Varo langsung menyenggol tanganku dengan pelan dan mengkodeku ke arah Edwin. "Dasar biadab, kau tidak pernah merasakan kesedihan yang orang lain rasakan. Kau selalu senang menindas orang-orang yang tidak bersalah," gumam Edwin. "Apakah ada masalah?" tanyaku dengan pelan. "Tidak," jawab Edwin dengan santai. "Jika tidak, kenapa lo muka lo serem gitu. Apakah ada masalah?" tanya ulang Varo. Edwin mengepalkan tangannya dengan erat dan membuka room chatnya dengan cepat. Ia mengetikkan sebuah pesan dengan cepat tanpa menghiraukan pertanyaan kami berdua. Varo yang sebal dengan sikap Edwin, ia langsung mengambil ponsel itu dengan cepat. "Varo!" seru Edwin dengan kesal. Varo mengabaikan seruan itu dan membaca room chat Edwin yang sangat mengganjal. Varo mengernyitkan dahinya dengan bingung melihat room chat itu dan mencoba menelaahnya dengan pelan. "Ada masalah?" tanyaku dengan pelan. "Sepertinya iya. Karena di sini hanya ada sebuah teka-teki tanpa meninggalkan jejak. Banyak hal yang di bahas menggantung tanpa mengungkapkan. Ada apa sebenarnya Edwin?" tanya Varo dengan dingin. "p*********n melalui IT akan di mulai di minggu depan. Banyak sekali terotis yang akan mengubah koding yang ada di dunia IT. Hanya gue dan anak-anak yang bisa menghandlenya saat ini, jangan khawatir." "Teroris? Ada apa? Bukannya mereka semua tidak tahu kalau kita ada di Indonesia? Kenapa bisa semuanya bocor?" tanyaku. "Tidak ada yang tau tentang kita di sini. Kau tenang saja, mereka akan menyerang di bagian IT saat ini, karena jika ia menyerang melalui dunia secara terang-terangan mereka seua akan kalah dalam satu waktu di dalam tangan kita." "Iya, senjata kita lebih ampuh dan mumpuni di bandingkan senjata mereka. Pistol rakitan dari Raihan saja belum kita pakai, dan ada beberapa juga lainnya yang belum kita keluarkan dan kita gunakan." "Biarkan mereka bersenang-senang dahulu saat ini. Ikuti apa yang mereka inginkan. Ikuti cara permainan mereka saat ini, jika memang mereka sudah lemah. Maka mereka akan dengan sendirinya akan mundur perlahan," jelasku. "Baiklah, gue paham apa yang akan lo lakukan saat ini. Kami akan mengikuti semua perintah dari lo," jelas Varo. "Sepertinya ada maksud lain dari p*********n ini. Jika memang mereka melakukan hal yang seperti ini secara dadakan berarti sudah ada perencanaan sebelumnya. Lebih baik kita harus lebih berhati-hati lagi." "Jangan sampai ada yang tahu kita ada di mana saat ini. Jika mereka tahu keberadaan kita yang sebenarnya bisa jadi mereka akan melakukan hal yang lebih dari ini," jelasku. "Baik," jawab mereka berdua. Vendri yang mendengarkan kami berbicara seperti itu hanya terdiam dan fokus menatap ke arah jalanan. Aku kembali menatap ke arah jalanan yang kami lewati. Tak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah besar yang sangat mewah. Vendri memarkirkan mobil dan mematikan mesinnya. "Sudah sampai," jelas Vendri sambil tersenyum manis ke arah kami. Aku dan yang lainnya langsung turun dari mobil. "Ven, ikut ke ruangan gue sekarang juga." Vendri yang mendengar ucapanku hanya mengekor di belakang dan menundukkan kepalanya. "Gue duluan," ucapku dengan datar. Sedangkan di luar Varo dan Edwin sedang mengangkut barang-barang yang kami bawa di dalam mobil hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Aku dan Vendri masuk ke dalam ruangan khusus untukku. Aku duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu dan duduk di hadapan Vendri dengan tegak. "Gue tau lo akan kaget. Kenapa gue manggil lo ke sini?" tanyaku sambil terkekeh dengan pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD