Kebaikan

1826 Words
"Anda sudah makan?" tanyaku dengan sangat dingin. "Sudah Tuan. Saya sudah makan tadi sebelum ke sini," jawab Refa dengan sangat lembut. "Tuan maaf sebelumnya apakah saya boleh izin pulang duluan hari ini? Karena hari ini saya akan menunggu ayah saya di rumah sakit bergantian dengan ibu saya. Ia pasti sudah menunggu saya di sana," pamit Refa dengan santun. "Silakan bereskan barang anda dan pergilah ke rumah sakit. Jaga ayah anda dengan baik." Aku langsung mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet. "Ini pakai untuk beli makanan untuk ibumu. Kasian jika ia belum makan dari tadi. Ucapkan salam salam saya padanya. Bilang jaga kesehatan dan jaga diri baik-baik," jelasku dengan sangat dingin. "Maaf Tuan, tidak usah. Saya masih memiliki uang untuk makan. Anda tidak perlu mengkhawatirkannya," tolak Refa dengan sangat lembut. "Pakai saja," ucapku dengan dingin. "Ti------" Varo langsung mengambil uang itu dan langsung menggenggam kan uang itu ke dalam tangannya. "Pergi beli makanan untuk ibumu. Bukan untuk kamu, ingat itu untuk ibumu. Jangan salah artikan kebaikan Tuan muda. Kalau ia memberikan sesuatu maka langsung di terima, karena ia sangat jarang melakukan hal itu kepada semua orang. Bersyukurlah anda memiliki bos yang sangat pengertian dan baik hati seperti dia," jelas Varo dengan sangat santai. "Pergilah dari sini," ucapku dengan sangat datar. "Jaga kesehatan anda, jangan lupa makan, dan berdoa pada Tuhan untuk keselamatan ayah anda. Saya tahu bagaimana rasanya jadi anda karena saya pernah ada di posisi itu. Kuatkan ibu anda karena dia butuh sebuah pundak untuk bersandar saat ini. Jika anda tidak kuat untuk menahan beban ini sendirian anda bisa berbaginya dengan teman anda." "Tidak ada yang mau berteman dengan saya. Semua orang selalu menjauh dari saya selama ini. Saya hanya memiliki keluarga, saya tidak memiliki teman yang real selama ini Tuan. Di jauhkan, di caci, di maki, itulah yang selalu saya rasakan selama ini. Ayah saya lah yang selalu pundak bagi saya, maka dari itu saya tidak mau kehilangannya." "Anda harus tetap kuat, meskipun begitu Tuhan selalu ada untuk anda. Jangan pernah merasa sendiri karena banyak orang yang sayang sama anda tanpa anda ketahui. Selalu mencoba tersenyum di hadapan semua orang meskipun itu sakit." "Saya tahu apa yang anda rasakan. Jangan pernah takut untuk bilang tolong sama saya. Selagi saya bisa menolong anda saya akan tolong dengan semampu dan sebisa saya. Meskipun anda selalu melihat saya dengan tatapan yang negatif itu gak masalah. Karena saya lebih senangi di pandang negatif dari pada di pandang selalu menjadi seseorang yang positif." "Selama anda di tatap dengan tatapan positif maka anda akan selalu jauh dari Tuhan, anda akan selalu menepuk d**a anda di hadapan ramai orang. Berbeda dengan orang yang selalu di kira negatif oleh semua orang. Ketika ia di pikir selalu negatif ia memiliki sesuatu yang baik di dalam dirinya." "Kita gak tau apa yang ada di setiap hati manusia. Kita gak pernah tau apa yang ada di dalam pikiran manusia, bisa saja yang positif itu bisa menjadi negatif begitupun sebaliknya. Saya tau ini tidak akan mudah untuk di lewati, saya ingin mengucapkan selalu tersenyum apapun yang terjadi di dalam diri anda." "Dari ribuan manusia di dunia ini yang memiliki sesuatu yang selalu indah di dunia itu sampai kapanpun tidak ada. Karena setiap kehidupan manusia memiliki banyak kerikil besar dan bebatuan yang menerjang kehidupan itu sendiri." Refa hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan dan tersenyum kecil kepada kami berdua. "Anda tidak perlu membayar uang yang ada pinjam, tapi dengan satu syarat anda tidak boleh bilang sama siapapun tentang ini semua. Saya tidak mau ada ucapan saya pilih kasih dengan anda berdasarkan perasaan di dalamnya. Awas saja jika ada ucapan seperti itu. Anda adalah orang pertama yang akan saya incar mulai hari ini." "Terima kasih Tuan, anda adalah penyelamat keluarga saya. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah melupakan semua kebaikan anda, saya akan menjaga rahasia ini baik-baik sekali lagi terima kasih Tuan. Saya permisi," ucap Refa sambil keluar dari ruanganku. Aku langsung membuka makanan ku dan memakannya dengan pelan. "Tumben banget lo nolong orang sampe kayak gitu. Biasanya juga lo kalau nolong orang cuma separuh," ucap Varo dengan bingung. "Dia minta tolong sama gue. Gak mungkin gue gak nolongin orang-orang yang ada di sekitar gue, cukup gue yang merasakan sakit hati karena orang-orang di sekitar gue. Gue tau gimana rasanya gak punya uang, gue juga tau rasanya takut kehilangan orang yang gue cinta, maka dari itu gue gak mau orang lain juga merasakan hal yang sama kayak gue." "Gue paham apa yang lo rasakan. Lo itu orang baik sebenarnya, tapi lo gak mau menunjukkan kebaikan lo di hadapan orang banyak. Lo selalu mau berkorban untuk orang-orang yang Lo sayang. Sebenarnya banyak orang yang nyaman sama lo, banyak orang yang sangat peduli sama lo, dan banyak orang yang selalu mengagumi Lo." "Semuanya tertutup karena sikap lo yang dingin kepada semua wanita. Gue tahu lo itu laki-laki normal yang menyukai wanita tapi ya gak gini juga lah lo selalu menutup diri dari mereka. Sama aja bohong kalau begitu mah," dumel Varo dengan sangat kesal. "Gue udah menemukan seseorang yang cocok dengan gue saat ini, seorang wanita yang manis dengan senyuman yang indah, ia pemilik mata yang teduh dan pelukan yang menenangkan. Gue tahu ini akan sulit di realisasikan tapi gue sangat yakin kalau suatu saat nanti gue akan bisa bertemu dengan dia." "Maksudnya? Lo ketemu sama cewe? Di mana?" tanya Varo dengan sangat kepo. "Gue bertemu dia di dalam mimpi. Gatau itu benar atau engga yang jelas gue sangat yakin kalau dia ada di kehidupan nyata gue. Gue selalu yakin kalau dia itu ada di antara jutaan orang di dunia ini, gue akan mencarinya dengan semampu gue." "Lo ambis banget sih. Gak nyangka gue punya temen seambis lo ini. Aneh aja gitu, itukan hanya sebuah bunga tidur kenapa lo ngiranya beneran sih? Aneh banget tau. Udah deh cepetan makan abis itu kita ke rumah sakit bilang semuanya sama ibu dan ayah. Gak mungkin kita main pergi aja tanpa pamit." "Mau balik gak? Gue mau ke rumah sakit sekarang juga," tanyaku kepada Varo. "Emang udah kelar?" tanya Varo sambil melirik sekilas ke arahku. "Udah lah gak mungkin gue ngajak kalau belum selesai beberesnya. Udah ayok caw balik ke rumah sakit, gue ingin lihat perkembangan ayah sebelum pergi." Aku langsung berjalan mendahuluinya. Varo mengejar langkahku dan menutup pintu ruangan dengan cepat. Ia menyama ratakan langkah kami untuk pergi ke parkiran mobil. "Sebelum pergi ke rumah sakit gue ingin beli martabak manis dulu," ucapku dengan sangat santai. "Nyari martabak jam segini di mana? Belum ada yang buka Raihan, martabak itu malam bukanya bukan siang bolong begini." Aku langsung mendelik sebal mendengarkan jawaban dari Varo. "Lo gatau apa-apa diem aja. Gue ini tau tempatnya yang buka dari pagi itu di mana. Lagi pula gue yang nyetir kali ini, lo yang duduk di kursi penumpang." Aku langsung berjalan menuju parkiran dengan sangat cepat meninggalkan Varo yang tertinggal di belakang. "Han ih lo mah gak nungguin gue. Gue ini juga pengen lah gak di tinggalin terus. Ini mah gak lo, gak Edwin semuanya pada ninggalin gue kalau jalan. Semuanya pada jalan duluan kalau lagi sama gue. Di kira gue ini pembantu kali yak bisa seenaknya di tinggal kayak gitu?" ucap Varo tidak terima. "Lo kalau mau ngedumel tentang Edwin jangan ke gue. Bisa ngomong ke orangnya langsung. Nanti lo juga ketemu sama dia," ucapku dengan santai. "Eh, gue mau tanya. Si Edwin beneran sama si Renata?" tanya Varo ke arahku. Aku langsung mengernyitkan dahi dengan heran. "Kita bahas itu nanti di mobil. Gue gak mau ada orang lain yang dengar pembicaraan itu selain kita berdua. Jaga ucapan lo ketika ada di lingkungan kantor," ucapku dengan nada yang berbisik. Varo yang paham dengan ucapan itu langsung menghentikan ucapannya dan mengekor di belakangku. Aku dan Varo langsung masuk ke dalam lift yang ada di depan ruanganku. Kami langsung turun ke lantai dasar dan bertemu banyak orang di sana. Semua orang langsung menundukkan kepalanya memberikan hormat pada kami berdua. Aku hanya mengabaikan mereka dan berjalan dengan santai ke arah pintu keluar. Aku langsung berhenti di hadapan Rendi yang sedang menunduk di hadapanku. "Rendi kalau ada yang mencari saya bilang saja saya tidak ada di tempat. Bilang kalau saya lagi ada urusan di luar negeri. Jika mereka memang butuh bantuan atau ada perlu yang mendesak kepada saya bisa menelpon ke nomor pribadi. Jika tidak mendesak, saya minta tolong pada anda untuk menghandle semua pekerjaan saya." "Baik Tuan akan saya laksanakan," jawab Rendi sambil menundukkan kepalanya. "Oh ya satu lagi. Urus semua berkas yang saya butuhkan untuk ke Indonesia. Saya ingin besok pagi itu semua berkas yang untuk ke Indonesia sudah ada di atas meja saya. Saya tinggal ya, saya ingin ke rumah sakit lagi karena ada urusan mendadak." Aku langsung meninggalkan kantor dan berjalan menuju parkiran mobil yang tak jauh dari pintu keluar. Sesampainya di depan mobil Varo langsung membuka pintunya dan masuk duluan ke arah mobil pengemudi. Aku langsung mengetuk pintunya dengan sangat kencang dari arah luar. Tok! Tok! Tok! Varo langsung membuka kacanya dengan lebar dan menatapku dengan tatapan aneh. "Lo ngapain gak masuk ke mobil. Sini masuk jangan kayak orang nungguin taksi online," ucap Varo dengan santainya. "Heh lo turun dulu sini. Gue yang mengemudi," ucapku dengan kesal. "Gak ada ya. Gue gak mau mati muda karena tingkah lo yang bawa mobil. Suasana hati lo saat ini lagi gak enak, gak mungkin gue ngebiarin lo bawa mobil. Biasanya kalau hari gak baik nantinya ia juga akan merasa tidak baik saat mengendarai. Udah masuk ke dalam terus duduk manis," ucap Varo sambil membuka pintu mobil penumpangnya. Tanpa aba-aba aku langsung masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengaman. Varo langsung menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya dengan pelan. "Kita mau kemana?" tanya Varo dengan bingung. "Kita ke toko kue langganan ibu aja. Soalnya di sana yang jualan martabak kesukaan ibu," jawabku dengan santai. "Okay kalau gitu. Kita langsung cawa ke sana aja sekarang," jawab Varo sambil menancapkan gasnya. "Si Edwin deket sama Renata?" tanya Varo tiba-tiba sambil fokus ke arah jalan raya. "Maksudnya gimana? Suka apa udah taken nih?" tanyaku dengan bingung. "Deket katanya mah. Tapi, bukannya Renata masih ngejer-ngejer lo ya kemarin. Pas kita ketemu di tempat bermain juga tatapan matanya ke lo itu masih sama. Apa jangan-jangan si Edwin jadi bahan pelarian doang?" tanya Varo dengan khawatir. "Lo tau dari mana?" tanyaku dengan heran. "Anak-anak semuanya pada tahu lah kalau Edwin suka sama Renata. Emangnya lo baru tau sekarang apa?" tanya Varo dengan bingung. "Engga, gue udah tau dari lama. Cuma setahu gue Edwin masih berjuang buat dapetin hatinya si Renata. Lo tau lah hati cewe itu susah banget untuk di taklukin," jelasku dengan sangat santai. "Gue tau ko semuanya. Gue tau Renata suka sama lo, gue juga tau kalau Edwin suka sama Renata, lo juga gak pernah ngerespon apapun kepada Renata tentang perasaannya. Gue tau semuanya, tapi gue harap ini semua gak akan memecah belah kita semua ya. Gue gak mau suatu saat nanti kita pecah karena hal sepele kayak gitu," jelas Varo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD