Perintah Baru

1736 Words
Edwin langsung melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya dengan kasar. Ia menatap dalam ke arah ayahku. Ayah hanya tersenyum simpul dan merentangkan tangannya dengan lebar. Ia sekarang hendak memeluk Edwin, Edwin yang paham dengan kode dari ayah langsung mendekat dan memeluknya dengan erat. "Ayah selalu jaga kesehatan ya. Apapun yang terjadi, berapa pun biaya yang akan di keluarkan jangan pernah di pikirkan. Karena Edwin dan Raihan akan membayarnya. Kami akan membuat kalian selalu merasa nyaman dan aman ketika bersama kami. Jangan pernah memikirkan hal-hal yang di luar kendali. Pikirkan selalu tentang kebahagiaan yang akan kita bangun ke depannya. Kami akan selalu menunggu senyuman manis dari kalian berdua." Ibu hanya tersenyum kecil melihat tingkah Edwin yang sangat gembira. Edwin langsung melepaskan pelukannya dan menghampiriku yang sedang duduk di bangku tunggu dekat ibu. "Anak nakal, lo gak mau kasih pelukan sama gue?" tanya Edwin. Aku langsung memeluknya dengan erat dan menepuk pundaknya dengan sangat pelan. Aku sangat excited ketika mendengar apa yang baru ibu ucapkan saat ini. "Selamat datang di keluargaku Hyung!" seruku sambil memeluknya dengan sangat senang. "Ternyata kau sangat senang dengan semuanya ya. Aku menjadi sangat bahagia ketika melihatmu tersenyum lebar saat ini," ucap Edwin membalas pelukanku tak kalah erat. "Ternyata gue gak sia-sia ngajak lo ke Indonesia ya. Kita akan serumah!" seruku dengan sangat excited. "Kau sangat begitu senang Raihan? Apakah kau sangat ingin memiliki saudara?" tanya Ibu. "Ya! Aku sangat bosan hidup sendirian. Aku ingin memiliki keluarga yang ramai. Aku bosan kegelapan, aku bosan dengan darah, aku bosan dengan kekejaman. Aku hanya ingin keceriaan saat ini," ucapku dengan sangat senang. Aku langsung melepaskan pelukanku dan kembali duduk di bangku tunggu. "Duduklah di sofa sana, makan-makananmu dengan sangat nikmat Hyung," ucapku. "Nih makanlah. Ibu tak tega melihatmu kelaparan. Makan bersmaa dengan Edwin ya, jangan lupa kalian saling berbagi dan saling mengingatkan untuk makan." Aku mengambil makanan yang ada di tangan ibu, dan berjalan mendahului Edwin ke arah sofa depan. "Dasar anak manja. Selalu tak berubah!" seru ayah. "Aku tidak akan berubah. Karena aku memang anak bungsu!" seruku sambil membuka makanan yang ada di hadapanku. "Makanlah dengan pelan, jangan terlalu terburu-buru. Kami tidak akan mengganggu makan kalian," pesan ibu dan di balas anggukan pelan oleh kami berdua. Aku memakan makananku dengan sangat nikmat dan hikmat. Tidak ada di antara kami berdua yang bersuara pas makan. Tak lama kemudian kami akhirnya selesai makan dan membuang bekas makanan itu ke kotak sampah. Aku langsung melihat ke brangkar ibu dan ayah. Ternyata mereka sudah terlelap di alam mimpi. "Ternyata kita makan sangat lama ya Hyung," ucapku kepada Edwin. "Iya, ternyata pengaruh obat bisa membuat mereka langsung tertidur seperti itu. Sudahlah langsung keluar saja. Tidak usah mengganggu mereka yang sedang enak tidur seperti itu," ucapku sambil mendahului Edwin keluar dari ruangan itu. Kami berdua akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan dan berkumpul di depan kursi tunggu ruangan itu. Aku menatap lurus ke depan dan mengingat apa yang akan aku lakukan saat ini. "Oh iya, tolong hubungi seorang notaris dan pengacara ya. Aku akan membuat surat pernyataan untuk bisa mengambil kalian ke dalam kartu keluargaku," ucapku dengan sangat tegas. "Maksudnya?" tanya Edwin bingung. "Aku akan mengangkat kau dan Bi Asih sebagai keluargaku. Kau sebagai kakakku dan Bi Asih sebagai orang tua asuhku," ucapku dengan sangat tegas. "Apakah kau yakin dengan semua itu? Kami hanya seorang yang sangat menyusahkan bagimu. Kami tidak memiliki keluarga atau uang yang sama seperti mu," tolak Edwin dengan halus. "Tidak semuanya di dunia ini tentang uang. Uang tidak bisa menjadi sebuah satuan ukur manusia untuk bahagia dan terus tersenyum bahagia. Uang juga bukan segalanya, jadi jangan pernah kalian berpikir kalau uang bisa membuat banyak orang bahagia. Kita yang mengatur uang bukan uang yang mengatur kita," jelasku. "Aku sangat bingung dengan semua sifat mu. Kau bisa menjadi hangat dan menjadi dingin di waktu yang bersamaan," ucap Edwin. "Sudah tidak usah pedulikan sikapku. Yang jelas sekarang lo urus semua berkas yang di perlukan untuk mengangkat kalian berdua. Aku akan menyiapkan uang untuk membayar mereka berdua. Mulai besok juga kau sudah pindah ke rumahku. Kau yang akan menjaga Ibu selama aku di sini. Besok setelah selesai rongsen, aku dan ayah akan pulang ke rumah. Kita akan langsung pergi ke Indonesia lusa pagi." "Apakah tidak terlalu cepat?" tanya Edwin. "Tidak, sangat tidak cepat. Semakin kita cepat ke Indonesia, semakin cepat kita menghilangkan jejak untuk beberapa bulan sebelum menyerang mereka habis-habisan. Lakukan semua yang aku suruh, jangan ada bantahan sama sekali. Aku tidak terima penolakan ataupun bantahan. Kalau ada yang berani melakukan itu, siap-siap kalian tanggung akibatnya." Edwin langsung menjauh dariku da. menghubungi notaris dan pengacara kepercayaanku. Aku langsung menyandarkan tubuhku dan memejamkan mata dengan pelan. Aku ingin melupakan semua kenangan yang ada di masa lalu dengan cepat. Mengobati luka yang belum kering ini, mungkin tak akan seperti semula lagi ketika sebuah luka sembuh. Pasti ada yang membekas di dalam hati. Aku sangat paham dengan semuanya. Jika aku ingin egois, maka saat inilah yang tepat untuk aku membalas dendam pada mereka. Jika aku memang kejam kepada semua orang, maka saat ini juga aku tidak akan mempedulikan mereka berdua saat ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah memaafkan mereka dan mencoba membangun semuanya dari awal. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah mencoba mengobati luka lama. Dengan cara berkumpul kembali dan membangun hal-hal baru bersama-sama dengan orang-orang yang ku sayangi. Indonesia adalah sebuah negara yang tepat untuk membangun semuanya. Sebuah negara yang sangat kaya akan culture budayanya, negara yang kaya akan sopan santun, negara yang saling menghargai satu sama lain. Tak hanya itu saja, keindahan alam, flora dan faunanya pun mendukung untuk kita beristirahat dengan tenang di sana. Aku mengambil lokasi rumah yang ada di Jakarta. Aku tahu Jakarta adalah kota yang sangat padat penduduknya, tapi di sana kita bisa mendapatkan banyak hal yang tidak bisa kita dapatkan di sini. Kalau kita tinggal di Jakarta, aku sangat mudah mengatur Bisnisku dari sini. Karena Jakarta adalah ibu kota Indonesia dan bisa di jadikan sebuah ladang uang. Kebanyakan orang-orang kaya dan beruang tinggal di sini, aku ingin membantu banyak orang yang tidak mampu nantinya pas pada saat aku mulai melancarkan aksi jalan-jalanku. Aku ingin melakukan hal baru, membuat senyuman baru, melukiskan semua kenangan baru kepada banyak orang. Merubah sifat ku menjadi lebih hangat dan lebih baik lagi kedepannya. Aku tersenyum tipis ketika membayangkan banyak kejadian indah di Indonesia pada saat ini. Sebuah bayangan kebahagiaan yang luar biasa yang tak pernah ku dapatkan sebelumnya. Edwin langsung menghampiriku dan melambaikan tangannya dengan pelan ke arah mataku. Aku langsung terperanjat kaget dan mengelus dadaku dengan pelan karena kaget melihat Edwin yang tiba-tiba sudah ada di depanku. "Sejak kapan lo di sini?" tanyaku dengan kesal. "Gue udah dari tadi depan lo, cuma lo pas gue lambaikan daritadi tetep gak sadar kalau gue ada di depan lo. Udah gak usah banyak ngayal. Yang jelas sekarang kita istirahat karena udah malem juga hari ini. Gue gak mau ngurusin orang sakit untuk ketiga kalinya," ucap Edwin. Aku langsung memutar mata dengan pelan dan menatap Edwin dengan tatapan datar. "Sekarang kita istirahat dulu, hari semakin larut. Gak mungkin kita gak istirahat sekarang, besok akan menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan. Istirahat lah, gue udah ngomong sama Ka Bagas buat nempatin tempat istirahatnya dia. Jadi, lo tinggal kesana aja." Aku langsung menggelengkan kepala dengan kuat dan menolak permintaan dari Edwin. "Biarin gue di sini. Gue ingin nemenin mereka berdua. Kalau misalnya lo mau istirahat, gapapa lo aja yang istirahat." "Gue minta itu buat lo bukan buat yang lainnya. Lebih baik lo istirahat, besok harus kerja dan mempersiapkan banyak hal. Ibu besok juga pulang, gue akan ngurus ke pulangannya sisanya lo yang nunggu sini." Aku langsung menganggukkan kepala dan mencoba memejamkan mataku di tempat aku bersandar. "Kalau memang lo gamau, gue bilang sama Ka Bagas gak jadi. Yakin gak mau pake itu?" tawar Edwin dengan lembut. "Gak usah gue di sini aja. Lo bisa bilang ke Ka Bagas untuk gak jadi pinjem ruangannya. Terus balik lagi ke sini temenin gue duduk di sini," ucapku dengan sangat pelan. Edwin menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil di hadapanku saat ini. Aku langsung memejamkan mataku dan mencoba untuk terlelap dalam alam mimpi. Tapi, itu semua tidak mudah aku rasakan. Entah kenapa rasa takutku saat ini sangat mendominasi perasaan yang ada pada diriku. Rasa kehilangan yang sangat mendalam dari hatiku yang tiba-tiba datang. Aku membuka mataku dengan pelan dan melihat sekeliling ku dengan sangat pelan. Tak ada orang di depanku, Edwin sudah meninggalkan ku sendirian untuk pergi ketempat Ka Bagas. Para bodyguard pun sedang berjaga dan berkeliling tempat ini untuk menjagaku dan ibuku. Aku terdiam dan mencoba mencerna apa yang aku rasakan. Tiba-tiba rasa sakit itu semakin berasa, rasa sesak yang benar-benar menyakitkan di dalam jantungku benar-benar sangat menyakitkan. Dari dalam kamar terdengar suara rintihan sakit dari seseorang. "S---s----sakit," ucap orang itu sambil merintih kesakitan. Aku terdiam dan mencoba mendengar suara itu dengan jelas. Semakin lama suara itu semakin lirih di dengar oleh telingaku. "S---s----sakit," ucap orang itu sambil merintih kesakitan. "Ayah!" seruku takut. Aku langsung bangkit dari bangku tunggu dan masuk ke dalam ruangan. Aku berlari dan menghampiri ayah yang sedang merintih kesakitan sambil memegang kepalanya dengan kencang. Ia menjenggut kepalanya dengan sangat kasar dan terus berguling-guling ke sana kemari menahan sakitnya. Aku langsung menghampirinya dan menekan tombol merah dengan cepat. Aku sangat panik melihatnya seperti itu, "Dokter! Dokter!" teriakku dari dalam kamar. Ibu yang baru saja tertidur langsung terperanjat kaget dan menoleh ke arah sampingnya. Ia melihat aku yang sedang ketakutan melihat ayah merasakan sakitnya. "Adnan ada apa? Ayah kenapa?" tanya Ibu dengan nada paniknya. "Dokter! Suster!" teriakku dari dalam ruangan. Aku yang tak kuasa melihat ayah merasakan sakit langsung berlari ke luar kamar dan berlari ke arah ruangan dokter. Aku mengepalkan tangan dengan kuat. Dari sekian banyak orang tidak ada yang datang untuk membantu ayahku di saat kesakitan. Aku langsung berlari ke arah ruangan dokter dan suster yang ada di dekat situ. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung mendobrak pintu ruangan itu dan membuat semua orang terperanjat kaget melihat kemarahan ku. Aku semakin menjadi, amarahku tak bisa di kendalikan lagi. Mereka dengan santai berbincang-bincang pelan sambil sesekali tertawa pelan. Mereka bisa tertawa kecil di hadapanku dan membiarkan nyawa seseorang menjadi taruhannya. Aku mengepalkan tangan dengan kuat dan hendak menghajar mereka semua. Para dokter langsung berdiri dan menghampiriku dengan cepat. Para suster langsung menundukkan kepalanya takut melihatku yang sedang menatap mereka dengan datar. "Ada apa Tuan muda?" tanya salah satu dokter itu menghampiri ku dengan sangat pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD