Ungkapan Hati Edwin

1711 Words
Aku langsung terdiam dan memijit pelipis dengan lembut sambil menyandarkan diri ke arah tembok. Rasa sakit kepala menyerang ku saat ini, mataku menjadi buram dan ada kabut putih di depan mataku. Rasa sakit yang benar-benar tak bisa ku tahan hingga aku hanya bisa diam dan duduk di hadapan banyak orang. Edwin langsung menghampiriku dan berjongkok dengan pelan. “Lo kenapa? Apa ada masalah? Lo sakit?” tanya Edwin dengan sangat panik. Ibu langsung menoleh ke arahku dan menghampiriku menggunakan kursi rodanya. “Kamu kenapa, Nak? Ada yang sakit? Atau kamu lelah dan kecapean? Sekarang istirahat ya, inu gak mau kamu kenapa-napa?” ucap ibu dengan sangat lembut. Ia mengelus puncak kepalaku dengan sangat lembut. “Edwin!” panggil ibu dengan sangat lembut. “Iya Bu?” tanya Edwin dengan cepat. “Tolong bantu ibu duduk di kursi panjang itu ya. Itu kursinya kosong dan ibu cape duduk di kursi roda ini. Ibu ingin duduk dengan bebas,” ucap ibu dengan sangat lembut. “Baik Bu,” jawab Edwin dengan santun. Edwin langsung menggendongnya dengan ala bridal style dan ibu dengan sigap mengalungkan tangannya di leher Edwin. Edwin dengan pelan menurunkan ibu di kursi panjang itu dan mengalasi kakinya agar tidak dingin. “Michel, kemari nak!” panggil ibu dengan lembut. Aku yang mendengar panggilan dari ibu langsung menghampiri ibu dengan cepat dan duduk di sampingnya. Ibu menarik kelaku dengan lembut dan menaruhnya di atas kakinya, ia membiarkan aku tiduran dengan nyaman di atas kursi itu. “Renata tolong belikan air mibum untuk Raihan ya, beli saja beberapa botol dan berikan mereka semua yang ada di sini air mineral. Ini uangnya,” ucap ibu sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Renata. “Baik bu kalau seperti itu. Saya pamit keluar dulu ya, permisi.” Renata langsung berlalu meninggalkan kami semua dengan sangat cepat. “Bu?” panggil Edwin dengan sangat pelan. “Iya? Ada apa sayang?” tanya ibu dengan sangat lembut. “Jangan sering menangis ya. Edwin hanya memiliki ibu dan ayah saat ini. Ibu tau kalau Edwin sudah tak memiliki siapapun lagi di dunia ini, hanya kalianlah yang mau menerima Edwin dengan lapang d**a. Terima kasih sudah menganggap Edwin sebagai anak kalian. Edwin akan selalu menjaga keluarga kita supaya akan selalu utuh lagi. Ibu dan ayah tak usah memikirkan perusaahan, bisnis, dan uang lagi. Karena sekarang anak-anak kalian ini sudah mampu menghidupi kalian semua.” “Edwin berjanji akan selalu menjadi anak yang baik dan kakak yang baik untuk Raihan. Kalau ayah sembuh kita akan kliling dunia dan Indonesia agar kita semua bisa refresing dan meninggalkan sebentar duni yang kejam ini.” “Maaf juga kalau aku banyak kekurangan dan kejelekan yang kalian tidak sukai, aku akan merubahnya. Terima kasih sudah selalu ada,” ucap Edwin dengan sangat lembut. Ibu langsung menarik Edwin semakin mendekat ke aranya dan mendudukinya di tangan kursi. “Sampai kapanpun kalian semua adalah anak yang paling terbaik. Banyak kebangaan yang tak bisa kami sampaikan pada kalian. Sejahat apapun kalian, kalian tetap anak ibu dan ayah. Selalu tersenyum ya,”ucap ibu sambil mengelus puncak kepala Edwin. “Bagaimana dengan si pendonor darah? Apakah ia sudah menghubungimu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Bentar lagi ia akan datang ke sini. Lo tinggal nunggu ayah aja di sini, semuanya udah aman ko. Tetep jaga kesehatan, bagaimana pun juga mereka semua ingin melihat kau tersenyum. Jangan menyalahkan dirimu sendiri, kami selalu ada bagi kamu," ucap Edwin. “Baiklah kalau seperti itu, ingat Win kau tak sendirian di dunia ini. Kami selalu ada untukmu saat ini, maka jangan pernah sungkan untuk ngomong apa yang lo butuhkan atau lo inginkah. Selagi bisa di penuhi oleh kami, maka kami akan memenuhinya. Jangan bersedih,” ucapku dengan sangat lembut. Aku terus tiduran di paha ibu dengan sangat nyaman dan memejamkan mataku dengan pelan. Tak lama kemudian dokter mematikan lampu ruangan di dalam dan keluar dari ruangan itu. Aku membuka mata dengan pelan dan melihat ke arah ruangan itu. Aku langsung menghampirinya dan menatapnya dengan sangat dalam. "Bagaimana keadaan ayah saya?" tanyaku dengan sangat lembut. "Maafkan kami Tuan, ayah anda sekarang ada pada masa apatis (koma). Tubuhnya sangat menolak apa yang kami berikan saat ini ia sedang berjuang untuk hidup lagi. Kau hanya perlu berdoa dan selalu membantunya dalam sebutan di dalam hatimu. Tuhan selalu tau apa yang terjadi di dunia ini. Maka kau harus memberikan semuanya kepada Tuhan, baik itu perasaan dan rasa kecewa yang ada di hatimu." Aku langsung terdiam dan mencernanya apa yang baru saja mereka ucapkan. “Kami sudah melakukan hal yang tebaik saat ini. Ternyata Tuhan punya jalan yang paling baik untuk ayah Tuan. Tetap semangat dan berdoa untuk kesembukannya saat ini. Maafkan kami yang belum bisa berbuat banyak untuk ayah anda,” ucap dokter itu dengan lembut. “Untuk pasien hanya bisa di jenguk pada jamnya saja dan hanya satu orang yang dapat masuk ke dalam. Jam jenguk hanya berlaku pada pagi hari dan siang hari,” ucap dokter itu dengan ramah. “Terima kasih dokter,” ucap Edwin dengan sangat lembut. “Baiklah kalau seperti itu. Saya pamit ke ruangan dulu permisi,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kami semuanya. Rasanya seperti petir yang ada di siang bolong menyapa naluriku sebagai seorang anak. Seorang anak yang sangat tidak berguna karena tidak bisa menolong ayahnya saat ini. Aku langsung terdiam dan mendudukkan diri ke arah bangku panjang yang ada di ruangan rawat. Mencoba ikhlas namun itu semua rasanya sangat mustahil bagiku saat ini. Perasaan kecewa selalu mendominasi perasaan ku saat ini. Ntahlah apa yang harus ku lakukan aku ingin tertidur rasanya saat ini dan keesokan hari pada saat aku terbangun semuanya terasa mimpi saja. Edwin langsung menepuk pundakku dengan pelan dan tersenyum dengan manis ke arahku. “Ayah tidak apa-apa, gue tau lo kuat. Samperin ibu dan peluk dia. Gue tau dia benar-benar sangat syok dengan keadaan ini. Tenangin diri lo dan tenangin ibu sekarang ini,” ucap Edwin menenangkanku. Aku langsung menoleh ke arah ibu yang tak jauh dariku. Ia langsung meneteskan air matanya ketika mendengar apa yang di ucapkan oleh dokter itu. Ibu menangis di pelukan Edwin dengan sangat miris. Aku langsung menghampirinya dan memeluknya dengan erat. "Tenanglah semuanya akan baik-baik saja. Ayah akan selalu bersama kita, aku janji akan melakukan yang terbaik. Meskipun harus keliling dunia untuk melakukan pengobatannya pun aku bisa melakukannya. Jadi aku mohon berhentilah menangis Bu," ucapku dengan sangat lembut. "Kenapa sangat sakit ketika mendengar kata koma dari dokter itu? Selama ini apa salahku? Kenapa Tuhan begitu jahatnya kepadaku saat ini? Aku tak bisa melihatnya menderita saat ini. Aku sangat tak tega melihat ia merasakan itu semua dengan menderita. Izinkan aku selalu bersamanya biar aku bisa merasakan apa yang dia rasakan juga," ucap ibu sambil merintih di pelukanku. "Jangan takut Bu, kami akan selalu melakukan yang terbaik. Kami tidak akan tinggal diam melihat ini semua. Kami juga sangat menyayangi ayah, jadi ibu jangan takut ya dengan apa yang kami lakukan. Kami akan membalas semuanya, kami akan membuat siapapun menderita karena ini. Aku sampai kapanpun tidak akan membiarkan orang itu hidup dengan aman saat ini." "Jangankan untuk tidur dan liburan, untuk duduk saja akan aku buat tidak nyaman. Ibu tenang saja, aku akan membalas ini semua. Nyawa akan di balas dengan nyawa," ucapku dengan tegas. "Tegakkan keadilan, apa salah kami sampai kami harus merasakan sakit hati ini? Ibu tak pernah mempunyai musuh, ayah juga begitu. Tolong bilang pada siapapun orang yang ada di balik ini semua. Tolong hentikan semuanya, cukup ibu dan ayah yang merasakan semuanya. Kalian jangan merasakan apa yang kami rasakan," ucap Ibu dengan sangat lirih. "Tuhan...... Aku tahu kau sangat menyayangi umatmu. Aku tahu kau akan memberikan cobaan pada umatmu. Apakah kau sangat menyayangi aku? Kenapa kau memberikan semua ini Tuhan? Kenapa begitu sangat menyakitkannya semuanya. Aku tak bisa hidup tanpa dia. Berikan kesempatan lagi untuknya Tuhan aku mohon," ucap ibu dengan sangat lirih. Aku langsung menitihkan air mata ketika mendengar ucapan ibu. Ucapan yang begitu sangat dalam dan menyentuh hati semua orang. Ungkapan yang benar-benar tak bisa di bendung lagi. Sesuatu yang sangat menyakitkan, dan kehancuran di dalamnya sangat terasa. Aku mengepalkan tanganku dengan sangat kuat dan menahan amarahku saat ini. Edwin langsung menghampiri kami dan berdiri di belakangku, Ia mengelus punggung belakangku dan mencoba membuatku untuk tegar. Aku menghela nafas dengan kasar dan mengepalkan kedua tanganku di balik punggung ibu. Rasa benci terhadap mereka sangat besar saat ini, sampai kapanpun aku tak akan segan-segan membunuh mereka dalam waktu yang singkat. "Siapapun yang sudah melakukan ini semua, saya tak akan membiarkan kalian hidup bebas. Jika saya merasakan penderitaannya seperti ini. Maka kalian semua harus merasakan hal yang lebih dari saya. Jika memang ayah saya nyawanya yang menghilang saat ini. Maka nyawa kalianlah yang akan menjadi taruhannya. Itulah janji saya," batinku dengan sangat kejam. Aku melepaskan pelukanku dengan pelan dan tersenyum manis kearahnya. Edwin langsung duduk di samping ibu dan mengelus punggung ibu dengan pelan. "Sudah ya Bu, jangan terlalu bersedih kami selalu ada bersamamu. Tersenyumlah kami butuh senyuman itu buat kekuatan kami semua senyumanmu. Tetaplah tegar untu kami, kami akan selalu bersamamu. Jangan menangis lagi ya," ucap Edwin dengan sangat pelan. Ibu hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ibu di sini dulu sama Edwin ya, Michel mau ke luar sebentar. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk minta sama Edwin ataupun sama Renata,” ucapku dengan sangat lembut. Aku bangkit dari tempat duduk namun tanganku di tahan oleh ibu untuk tetap di sampingnya. Aku langsung terduduk kembali dan menatapnya dengan sangat bingung. "Ada apa?" tanyaku dengan pelan. "Mau kemana kamu? Kenapa kau mau pergi di saat seperti ini? Tunggu ayahmu sampai ia sadar, jangan pergi-pergian seperti ini terus. Ini sudah malam tak baik jika kau pergi dari sini dan keluar. Anginnya sudah tak sehat," ucap ibu memperingatiku. Aku langsung tersenyum dengan manis di hadapannya dan melepaskan tangan itu dengan pelan. "Ibu tenang saja, aku tidak apa-apa ko. Jadi, jangan terlalu khawatirkan aku ya. Aku anak yang kuat," ucapku sambil tersenyum ke arahnya. "Ibu tidak akan membiarkanmu pergi dari sini. Karena kalau kamu pergi dari sini kau akan sakit terkena angin malam yang benar-benar dingin itu. Nurut ya kalau di bilangin ibu nak," ucap ibu dengan sangat takut. Aku langsung menatap mata Edwin dan mengkodenya untuk menenangkan ibu. Edwin yang peka dengan tatapanku langsung memeluk ibu dengan pelan dan menahan tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD