Penolakan

1765 Words
"Tidak mudah meluluhkan hati saya. Hanya ada seseorang yang bisa meluluhkannya kelak. Saya ingin wanita itu selalu bersama saya hingga akhir hayat, wanita yang setia, wanita yang penurut, wanita yang sayang dengan keluarga, dan wanita yang berbudi luhur tinggi. Tak peduli apa pendidikannya, karena hanya itulah yang penting bagi seorang laki-laki. Jaga dirimu baik-baik," ucapku sambil menepuk pundaknya dengan sangat pelan. "Aku menyukaimu! Kenapa kau sama sekali tidak pernah sedikit saja melirik kearahku?" tanya Vania dengan nada meninggi. "Terima kasih karena sudah menyukai saya selama ini, tapi saya tidak menyukaimu. Hargailah perasaan saya," ucapku dengan sangat datar. "Perasaan akan tumbuh jika kita terus bersama. Apakah kau tidak bisa memberiku sedikit saja ruang untuk mengenalmu lebih dekat?" tanya Vania dengan nada kesalnya. "Tidak, saya tidak bisa membuka hati saya untuk siapapun akhir-akhir ini. Saya lebih suka sendiri daripada memiliki pasangan. Kau tidak usah khawatir tentang diriku, lakukan saja semua tugasmu tanpa banyak bertanya." "Kau begitu sombong dengan perasaanmu. Ia juga ingin kau mengerti apa maunya," ucap Vania sambil berdecih pelan. "Saya tidak peduli dengan semua itu. Saya yang merasakan bukan anda. Jadi, berhenti mengeritik saya dengan ucapanmu itu. Karena kau yang sebenarnya terjerat oleh pesona saya saat ini," ucapku sambil meremehkannya. "Kau sudah menjatuhkan harga dirimu di depanku saat ini. Ingatlah sama harkat dan martabat perempuan. Perempuan itu di kejar bukan mengejar. Maka hargailah dirimu sendiri dan janganlah engkau menjatuhkan harga dirimu demi seorang laki-laki yang tidak jelas," jelasku terhadapnya. Aku berjalan tanpa mendengarkan satu patah katapun dari Vania yang masih terdiam mematung di tempatnya. Diam tak bergeming dari tempat berdirinya sambil menelaah apa yang baru saja ku ucapkan. Sebuah kata-kata pedas yang terlontarkan dari mulutku begitu saja tanpa memikirkan apa yang terjadi berikutnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri Vania akhirnya membuka suaranya mengenai ucapanku barusan. "Jika itu maumu baiklah, aku akan terus menunggumu sampai kamu siap menerimaku disisimu. Tapi, satu hal yang harus kau ingat! Jika aku tidak bisa mendapatkan cintamu maka tidak ada satupun wanita yang mendapatkannya!" ucap Vania dengan penuh penekanan. "Kau bukan Tuhan yang bisa membuat takdir saya, kau juga bukan Tuhan yang mengatur semua jalan kehidupan saya, kau hanya seorang gadis biasa yang selalu mendambakan saya selama ini, mendambakan saya dari kejauhan hingga akhirnya kau malah terjerat dalam pesona saya. Keluarlah dari jeratan itu dan carilah kebahagiaanmu sendiri," ucapku tanpa menoleh kearahnya. "Pergilah dari sini sekarang juga," ucapku dengan datar. "Tidak saya tidak akan pergi dari sini. Aku akan tetap menunggumu sampai kau mau menerimaku saat ini," ucap Vania dengan kekeh berdiri di hadapan ruangan rawat inap. "Pergilah, karena saya akan pergi dari sini. Tidak pantas jika anda yang menunggu ruangan ini sampai saya kembali," ucapku dengan nada dingin. "Aku tidak peduli dengan itu semua. Aku akan terus menunggumu sampai kamu mau menerimaku Raihan. Aku sangat mencintaimu dengan tulus," ucap Vania tetap kekeh dengan pendiriannya. "Jangan membuatku marah sehingga berbuat yang tidak-tidak kepadamu Vania!" seruku dengan kesal. Edwin langsung menghampiriku dan menggelengkan kepala dengan sangat cepat. "Janganlah kau bentak seperti itu, ia akan semakin menjadi jika kau membentaknya. Sabarlah sedikit Han nanti dia akan pergi," ucap Edwin menengahiku. "Sudah tidak ada waktu lagi. Pergilah dari sini sekarang juga, atau kamu akan saya usir secara paksa." "Tidak peduli," ucap Vania menantang ku. Aku yang merasa di tantang seperti itu langsung langsung menggeram dengan kesal. Bisa-bisanya aku di tentang seperti itu, selama ini tidak ada satu orangpun yang bisa menolak permintaanku. "Edwin suruh suster dan resepsionis untuk tidak memperbolehkan siapapun untuk bisa masuk ke dalam menemui kedua orang tuaku. Bagi mereka yang ingin menemui mereka, mereka semua harus memiliki izin dariku dahulu. Suruh beberapa bodyguardku untuk menjaga area sekitar sini dan suruh satpam mengusir wanita itu menjauh dari ruangan ini. Jika satu saja yang tidak di kerjakan, nyawa kalianlah yang akan menjadi taruhannya. Lakukan sekarang juga tanpa bantahan!" seruku dengan tegas. "Oke! Saya akan pergi tanpa secara paksa, saya akan pergi dari sini sekarang juga. Kau tidak perlu memanggil satpam untuk kesini, kau pergi saja ke resepsionis dan suster, saya akan meninggalkan ruangan ini sekarang juga." Vania langsung mengambil tasnya yang berada di tempat duduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan kesal. Aku melihat tingkah Vania hanya menggelengkan kepalaku dengan sangat pelan. Bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu di hadapanku saat ini. Ku akui ia memang cantik, ia baik, ia pintar, hebat, dan bisa di andalkan. Tapi, aku sangat tidak menyukai gayanya yang mengejar-ngejarku saat ini. Dia terlihat seperti bukan wanita baik-baik, ia merendahkan dirinya di hadapan seorang laki-laki yang sangat dingin sepertiku. Aku langsung meninggalkan IGD dan berjalan ke arah parkiran yang ada di basemant bawah. Aku berjalan dengan cepat ke arah meja resepsionis dan menunggu Edwin terlebih dahulu sebelum pergi ke parkiran. Setelah sampai di resepsionis aku menoleh ke arah Edwin yang sedang berbicara bersama resepsionis dengan sangat serius, setelah selesai berbicara Edwin langsung menghampiriku. "Semuanya udah beres tinggal satpam aja kita suruh jagain mereka selama bodyguard yang gue suruh belum dateng kesini," ucap Edwin sambil mengecek handphone genggamnya. "Oke, kalau gitu kita langsung pergi ke markas Galaxy. Yang penting semuanya udah kelar tinggal kita cari aja siapa dalang di balik ini semua. Kalau ini semua dalangnya Erick sepertinya gak mungkin banget. Pasti ada beberapa orang lainnya yang ada di balik ini semua," ucapku sambil berjalan kearah parkiran. "Kenapa lo bisa berpikir demikian? Padahal yang ada di situ hanya ada Erick seorang," tanya Edwin dengan nada bingungnya. "Setelah penembakan Erick, ada seseorang yang bersembunyi di balik pilar besar rumah itu. Setelah melihat kematiannya, orang itu langsung lari pergi meninggalkan ruangan dengan sangat cepat. Gue yakin kalau ini adalah sebuah konsfirasi baru di kemudian hari," jelasku kepada Edwin. "Apakah kau yakin tentang hal itu? Bisa jadi itu adalah anak buah kita," ucap Edwin. "Kau terlalu positif tingking terhadap semua orang. Itulah yang menjadi kelemahanmu selama ini, kenapa kau sanggat senang berpikiran seperti itu? Ingatlah kau seorang bos di perusahaanmu. Banyak yang ingin menduduki itu semua, jangan sering positif thingking terus karena itu bisa menjadi boomerang bagi lo sendiri. Dan lo juga jangan selalu negatif thingking terus, lakukan keduanya di saat yang bersamaan. Maka kau akan menemukan jawabannya." "Kau beranggapan kalau dia adalah anak buah kita itu kau salah besar, karena gue paham sama semua anggota Galaxy. Kalau ia memang anak buah Galaxy, ketika menatap gue dia tidak pantas untuk lari dari tempat itu. Kenapa harus lari bagi seorang prajurit perang di saat lawannya kalah? Tidak ada sejarahnya di dunia ini seorang prajurit yang menang langsung lari terbirit-b***t meninggalkan medan pertempuran," jelasku terhadap Edwin. "Pemikiranmu tidak jauh berbeda dengan Varo, pemikiran medan pertempuran, prajurit, uang, kekuasaan, dan kehebatan. Kalian susah untung memikirkan kebahagiaan kalian sendiri," gerutu Edwin dengan kesal. "Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Kau tidak usah khawatir aku dan Varo sudah mengetahui apa yang kita inginkan," ucapku sambil tersenyum manis. "Aku menghentikan langkahku dan menoleh kearah Edwin secara sekilas. "Jika memang kau sudah menyukai seseorang maka kau kejarlah dia sampai mendapatkannya. Jangan kau sia-siakan dia demi orang lain, gue dan Varo selalu mendukung lo sampai kapanpun itu. Jangan pernah ngerasa gak enak sama kita," terangku kepada Edwin dan menepuk pundaknya dengan sangat pelan. "Lalu apakah sudah ada tambatan hati yang singgah di hatimu saat ini?" tanya dengan nada menggoda Edwin. Muka Edwin bersemu merah mendengarkan godaanku terhadapnya dan kembali berjalan mendahuluiku pergi kearah parkiran. Aku terkikik pelan melihat tingkah Edwin yang sedang malu-malu kucing ketika aku goda. Ini adalah awal yang baik sebelum kami meninggalkan Paris untuk sementara waktu ini. Aku mempercepat langkahku dan menyamakan langkahku dengan langkah kakinya. "Kau tidak menjawab pertanyaanku Edwin. Berarti aku anggap kalau kau sudah menemukan seorang tambatan hatimu saat ini, apakah kau tidak mau bercerita pada kami?" tanyaku dengan sangat lembut. "Sudahlah tidak usah meledek diriku saat ini Tuan Adnan yang terhormat. Kau sungguh sangat menjengkelkan jika meledekku seperti itu," dumel Edwin dengan sangat kesal ketika melihat kearahku. Aku langsung tertawa terbahak-bahak karena melihat tingkah Edwin yang sedang malu-malu seperti itu. "Jadi, siapa wanita itu? Jelaskan sama gue sekarang Edwin, siapa tau aku bisa membantumu?" ucapku sambil menggoda Edwin. "Tidak, belum saatnya kau mengetahui siapa dia. Karena disini hanya gue yang menyukainya dalam diam. Gue gak mau dia tau dari lo kalau ternyata gue suka sama dia. Biarin gue sendiri yang berjuang untuk dia sebentar saja Raihan tanpa bantuan orang lain," ucap Edwin dengan sangat pelan. "Oke, baiklah aku paham dengan semua. Kau tidak ingin ada campur tangan gue dan Varo di belakangnya. Gue akan setia menunggu siapa wanita yang bisa meluluhkan hati lo secepat ini. Karena dia akan menjadi salah satu orang yang sangat beruntung ketika memiliki pendamping seperti Edwin," ucapku. "Kau terlalu berlebihan. Tidak perlu, gue hanya seorang laki-laki yang masih banyak kekurangan. Tidak kayak lo yang sangat sempurna di mata semua wanita. Cepatlah cari seorang pendamping hidup, karena kau butuh sebuah rumah untuk pulang nantinya. Gue dan Varo udah gak bisa di andalkan lagi sekarang ini, karena kita berdua pasti akan menemukan rumah kami masing-masing untuk pulang." Aku menatap Edwin dengan sangat dalam, begitu sayangnya mereka terhadapku hingga menyuruhku untuk mencari pendamping dalam waktu dekat ini. Mencari pendamping bukanlah sebuah hal yang mudah. Mungkin saja jika kita beli sebungkus kacang goreng di warung itu sangatlah mudah. Tapi, pendamping bukanlah sebuah kacang goreng yang mudah di beli. Pendamping itu harus di jaga hingga akhir hayat, satu untuk selamanya. Tanpa mengganti mereka dalam setiap saat. Pergi dan menghilang selayaknya pelangi yang pergi tanpa kabar kepada hujan. Menjadi senja adalah sebuah hal yang tepat saat ini. Senja yang setia kepada rumahnya yang selalu menunggunya untuk pulang dan datang di waktu yang berbeda. Aku menatap kosong kedepan dan membayangkan apa yang ingin aku dapatkan di kemudian hari, senyum manis terukir di wajahku saat ini, itulah yang membuat Edwin melambaikan tangan di depan mataku untuk menyadarkan lamunan itu. Seketika lamunanku buyar dan kembali menatap Edwin dengan tatapan jengah. "Dasar pengganggu!" seruku kepada Edwin. "Gue bukan pengganggu, lonya aja yang serem. Masa di ajak ngobrol tentang pendamping tiba-tiba diam terus melamun. Jangan-jangan mikirin yang iya-iya lo ini," tuduh Edwin kepadaku. "Yang benar saja kau ini. Gue gak pernah mikirin yang aneh-aneh ya! Udah sekarang kita pergi kemarkas Galaxy sekarang!" seruku sambil memasuki mobil bangku penumpang dengan sangat cepat. Edwin tertawa kecil dari luar mobil dan mengikutiku masuk kedalam mobil dan menyalakannya. "Baimana tipe wanita mu itu Edwin?" tanyaku dengan sangat kepo. Edwin menoleh kearah ku dan menatapku dengan sangat intens. "Ada apa kau tiba-tiba menanyakan tentang tipe wanita ku? Bukankah selama ini kau tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di sekeliling lo?" tanya Edwin dengan sangat santai. "Gue cuma nanya doang, malahan kena sembur langsung. Gue cuma nanya bukan mau nikung lo," ucapku dengan sangat santai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD