Keluarga Kedua

1756 Words
Aku tak memiliki kebahagiaan, kesenangan, dan keceriaan. Yang ku punya saat aku berada di atas sendirian hanya sebuah kekelaman, kegelapan, kehancuran, dan sebuah pukulan yang sangat luar biasa. Banyak hal yang membuatku iri dengan mereka yang biasa saja, mungkin aku memiliki segalanya, kekuasaan, uang, harta, tahta, mansion, dan mobil mewah. Tapi semua kekayaan itu tidak membuatku senang, itu demua malahan membuatku terkekang jika ingin pergi kemana-mana. Selalu tidak tenang dengan berpikiran tentang musuh yang berkeliaran di luar sana. Aku menatap mereka semua yang masih berbisik-bisik tentang apa yang sudah ku perintahkan tadi. Pemerintahan baru yang sangat mendadak membuat mereka kaget ketika secara tidak langsung aku meminta mereka sebagai saudara-saudaraku. "Jadilah saudara-saudaraku. Saudara yang selalu mendukungku dalam hal apapun. Aku tidak pernah peduli dengan latar belakang kalian, kalian miskin atau kaya, kalian orang hebat atau bukan, kalian punya tahta atau tidak, kalian memiliki uang atau tidak. Saya tidak peduli dengan itu semua. Kalian tetap saudaraku mau ada apapun itu. Bilanglah kalau kalian butuh bantuan, kami semua bisa membantumu." "Jangan pernah menjadi sebuah kasta sebagai hal yang sangat tinggi saat ini. Banyak orang yang ingin memecah belah kita. Banyak orang yang ingin sekali membuat kita merasakan sakit hati karena semuanya. Meskipun suatu saat nanti terjadi perselisihan di antara kita, maka kita harus menyelesaikannya dengan pikiran yang tenang dan terbuka. Jangan mengambil sudut pandang sebelah pihak," jelasku. Varo semakin heran dengan sikapku kali ini. Ia tahu bagaimana sikapku yang sebenarnya, ia sangat tahu aku kayak gimana. Untuk hal seperti ini jarang sekali ku lakukan. Author POV On. Varo menatap aneh ke arah Raihan yang sedang menjelaskan semuanya kearah depan. Ia mengernyitkan dahinya dan semakin bingung melihat tingkah seorang Michel Adnan Raihan berusbah 360 derajat dari biasanya. Sebuah keanehan muncul dari sudut mata elang Varo kearah mereka semua. "Ada apa ini sebenarnya?" tanya Varo di dalam batinnya. "Kenapa Raihan bisa seberubah ini dalam waktu yang sangat singkat. Ia meminta aku dan Edwin jadi temannya, lalu sekarang ia juga meminta Galaxy untuk jadi saudaranya. Tak mungkin jika ia berlaku seperti ini tanpa ada sesuatu di dalamnya. Pasti ada sesuatu hal yang membebaninya selama ini. Aku harus cari tahu penyebab semuanya ini," ucap Varo dalam hatinya. Raihan hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan dan meyakinkan Varo kalau tidak terjadi apa-apa saat ini. Tapi, Varo adalah Varo ia akan mencari tahu tentang semuanya yang ada di balik perubahan sikap bosnya itu. Varo mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang di sebrang sana melalui sebuah chat pribadi. Varo : Cari tahu semua tentang The King. Jangan sampai ada yang ke tinggalan sekali pun, mau tentang Raihan, The King, ataupun yang berhubungan dengan Galaxy sekali pun kau harus mencari tahunya dengan sedetail mungkin. Karena saya merasa ada yang ganjal di balik ini semua. Varo langsung mengeklik tombol send ke orang yang ada di sebrang sana. Setelah selesai ia langsung memasukkan ponselnya kedalam sakunya dan menghampiri Raihan yang sedang berbicara di depan. Varo langsung memeluknya dengan sangat pelan dan menepuk-nepuk punggungnya. "Ada apa sebenarnya? Kenapa lo gak mau cerita sama gue sekarang ini? Lebih baik lo cerita sama gue ada masalah apa sebenarnya dan terbuka agar lo gak melakukan hal seperti ini di hadapan semua orang. Ini sangat merendahkan harga diri lo di depan orang banyak," bisik Varo. "Gue gak peduli lagi dengan harga diri gue yang jatuh di hadapan semua orang. Gue minta ini tulus dari lubuk hati gue. Gak ada masalah di dalamnya dan sebuah makna tersirat yang terucap. Kalian adalah saudara gue selama ini. Jadi, jangan pernah lo menganggap hal lain di balik ini semua," bisik Raihan sambil membalas pelukan Varo dengan sangat kencang. "Semakin lo menyembunyikan ini semua semakin sakit ketika lo merasakan sendirian. Maka berbagilah dengan gue dan Edwin sebelum semuanya terlambat." "Gak terlambat dan belum di mulai. Lo tenang aja, dengan adanya kita lebih bersatu lagi. Kita bisa akan lebih mudah dan lebih kuat lagi untuk menghancurkan mereka semua. Dengan adanya kita bersatu maka kita akan semakin cepat menegakkan keadilan di bumi ini," bisik Raihan dengan sangat pelan. "Lo jangan khawatir ketika waktunya tepat maka gue akan bilang semuanya sama lo. Ini adalah keputusan gue dengan hati yang ikhlas, lo jangan ikutan dan jangan mencari tahu tentang apapun. Kalau misalnya lo berani mencari tahu gue gak akan segan-segan untuk menghancurkan kalian." "Baiklah jika itu mau lo, gue gak akan ikut campur dalam urusan ini. Tapi, satu hal yang gue minta sama lo. Lo harus menunda keberangkatan kita ke Indonesia. Kalau engga gue gak mau ikut sama lo," bisik Varo. "Okey, gue akan menunda keberangkatan kita sampai orang tua gue sembuh. Lo gak usah khawatir tentang hal itu, gue akan mengurus semuanya." "Baiklah," bisik Varo. "Selamat datang saudara baruku!" seru Varo dengan sangat excited. "Inget, ini hanya formalitas semata." Raihan hanya tersenyum dengan santai dan menoleh kearah Varo yang sedang tersenyum palsu di hadapan semua orang. Seluruh anggota Galaxy akhirnya mendekat ke arah Raihan dan memeluknya dengan pelan. Mereka semua berhamburan saling memeluk satu sama lain selayaknya saudara kandung. Banyak senyuman baru yang terbit di wajah-wajah mereka yang membuat Raihan tersenyum kecil melihatnya. Author POV End. Aku melihat senyuman mereka yang tulus membuat jiwaku bergetar hebat. Senyuman dan keceriaan yang sangat ku dambakan selama ini. Kebahagiaan yang tiada habisnya dari orang-orang sekelilingku. Aku tersenyum tipis ketika melihat itu semua. "Tuhan memang punya caranya sendiri. Aku tak tahu sampai kapan ini semua akan ku simpan, tapi tak masalah. Yang penting banyak senyuman yang tercipta di bibir mereka saat ini. Aku tidak bisa egois lagi, sekarang sudah waktunya aku menjalankan semuanya." "Ini adalah awal dari sebuah rencana kehidupan," batinku. Varo yang paham dengan sikapku langsung menatapku dengan tajam. "Mungkin lo udah mulai curiga dengan gue saat ini. Tapi, maaf gue gak akan bilang apapun sama lo tentang apapun itu. Karena gue gak mau lo kalap dan terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan nantinya," batinku. "Edwin sekarang waktunya kita balik ke rumah sakit. Gue mau nungguin orang tua gue di sana. Kalian di sini aja, saling bercengkrama satu sama lain, saling mendekatkan diri kepada yang lain, dan saling memahami satu sama lain. Gue, Edwin, sama Varo mau balik ke rumah sakit." "Ini uangnya, kalian bisa beli makan dan beli apapun dari uang itu. Gunakan baik-baik uang itu," pesanku sambil memberikan beberapa lembar uang kertas Perancis kepada mereka semua. "Gak usah repot-repot Tuan," ucap Ernan. "Ka-k Ra-i-han," ucapku sambil menekankan namaku sendiri. "Maaf Tuan, eh- maksudnya Kak Raihan." Aku langsung menatapnya dengan tajam. "Biasakan memanggil nama Kak saat berada di markas. Berbeda jika kalian berada di kantor, jika di kantor kalian bisa memanggilku dengan sebutan Tuan. Tapi kalau di markas kalian wajib memanggilku dengan sebutan Kakak, Abang, atau Mas. Itu terserah kalian," jelasku sambil menatapnya dengan tatapan intens. Mereka semua langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat dan mengambil uang yang ada di tanganku. Aku langsung memasukkan kembali dombetku ke dalam saku celana lalu aku berpamitan pergi kembali ke rumah sakit. "Gue balik ke rumah sakit ya. Permisi," ucapku sambil meninggalkan ruangan itu dan berjalan menuju parkiran. Di belakangku ada Varo dan Edwin yang langsung menyamaratakan langkahnya dengan langkahku untuk pergi ke parkiran. "Lo mau langsung ke rumah sakit atau mau ke rumah dulu?" tanya Edwin dengan sangat pelan. "Gue mau ke rumah dulu. Mau ngambil beberapa ganti dan ada yang mau di bahas sama kalian berdua di rumah," ucapku dengan santai. "Belum saatnya aku membuka semuanya saat ini, tapi setidaknya ada yang ku buka mengenai sebuah keganjalan yang ada di depanku saat ini. Sorry," batinku. Edwin dan Varo langsung berjalan menuju parkiran mobil dan mengambil mobilnya masing-masing. Aku yang melihat mereka datang menghampiriku langsung masuk ke dalam mobil Edwin dengan cepat. Edwin langsung menjalankan mobilnya kearah rumahku dengan kecepatan di atas rata-rata. Hanya terjadi keheningan di antara aku dan Edwin. Edwin yang tidak mau membuka suaranya dan aku yang tidak ingin berbicara di dalam mobil membuat mobil sangat terasa hening. Hanya sebuah alunan lagi dari radio mobil yang terdengar di telinga kami. Kami terus menikmati alunan lagu itu hingga akhirnya sampai di depan rumahku yang sangat asri ini. Sesampainya di rumah aku keluar dari mobil dan membuka pintu rumah. Semua asisten rumah tanggaku langsung menyambutku di depan pintu dengan menundukkan kepalanya. Aku masuk ke dalam rumah dan di belakangku di ikuti oleh Edwin dan Varo. Aku menoleh kearah kepala asisten yang ada di sebelah kanan dengan tatapan yang lembut. "Bubarlah, buatkan kami minuman dan letakkan di gazebo kolam renang." Kepala pelayan tersebut langsung menganggukkan kepalanya dengan pelan dan menyuruh semua pelayan lainnya untuk bubar dari ruangan itu. Aku menoleh kebelakang dan tersenyum dengan kecil. "Kalian lebih baik tunggu gue di gazebo belakang. Nanti gue akan nyusul kesana," ucapku sambil menunjuk gazebo kolam renang yang ada di belakang rumah. "Okey, jangan terlalu lama. Karena banyak hal yang harus di bahas setelah ini," ucap Varo dengan sangat lembut. Aku hanya mengenggukkan kepala dengan cepat dan berlari ke dalam kamar untuk berganti pakaian santai. Aku masuk ke dalam kamar dan mengambil beberapa pakaian santaiku. Aku membersihkan tubuhku dengan sangat cepat di dalam kamar mandi lalu keluar dengan pakaian yang sudah ku siapkan. Sudah selesai dengan berganti pakaian, aku mengambil beberapa kotak yang ada di sebelahku dan laptop yang berisi tentang semua berkas-berkas penting di dalamnya. Aku langsung turun ke bawah dan menghampiri mereka berdua dengan sebuah laptop di tangan kananku dan beberapa kotak di dalam tote bag di tangan sebelah kiriku. Aku menghampiri mereka yang sedang menikmati cemilan dan orange juice di dalam gazebo kecil yang di depan kolam renang menghadap ke arah rumput dan pepohonan di sebelah kanan. "Sorry lama, ada yang gue ambil dulu di atas." Aku langsung menaruh barang-barang itu dan duduk di samping Varo. "Ada banyak hal yang ingin gue bahas bareng kalian. Mungkin gak langsung semuanya hari ini, ada beberapa hal aja hari ini yang di bahas. Sisanya itu kita bahas sambil jalan aja," jelasku sambil menaruh laptopku di atas meja kecil di hadapanku. "Gue mendapatkan beberapa e-mail masuk dari satu bulan yang lalu. Itu semua e-mail berupa ancaman dari orang tak di kenal. Itu yang pertama," ucapku sambil menghidupkan laptopku. "E-mail? Dari orang yang tak di kenal?" ulang Varo dengan bingung. "Yaps, e-mail aneh yang tiba-tiba masuk ke dalam pesan gue. Gue gak tau itu dari siapa yang jelas ia benar-benar menyembunyikan identitasnya," jelasku sambil memainkan jari tanganku membuka e-mail yang ada di dalam laptop. "Bukan hanya itu aja. Banyak kejadian yang sangat mengganjal di setiap harinya. Semenjak adanya e-mail masuk ke dalam laptop gue, banyak hal yang terasa aneh. Gue gak tau itu beneran apa engga. Tapi, yang jelas ini semua aneh banget gitu kejadiannya." "Kejadian aneh dalam hal apa?" tanya Edwin sambil meminum orange juicenya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD