BAB 5: ISTRI SIRI

1137 Words
SELAMAT MEMBACA  ***  Utari saat ini sudah duduk di samping Abi, di hadapannya sudah ada penghulu dan kedua saksi untuk pernikahannya. Pagi ini akan berlangsung pernikahan antara dirinya dengan Abi, tidak banyak orang yang hadir. Memangnya apa yang dia harapkan, ini hanya sebuah pernikahan siri yang berlandaskan sebuah keuntungan. Utari melihat satu persatu orang yang hadir di sana, hanya ada Pak Rt, pak RW, dua orang saksi penghulu sopir dan pembantu di rumah Abi bahkan Utari tidak mengabari Siska jika dirinya akan menikah. Semalam saat mereka bertukar kabar, Utari hanya berterimaksih dengan temannya itu karena telah memberinya jalan untuk melunasi hutangnya. Utari kembali tersenyum getir melihat nasibnya, semua wanita begitu menginginkan pernikahan yang mewah bersama orang yang dia cintai termasuk dirinya. Dia juga bermimpi akan menikah dengan laki-laki yang mencintai dan menyayangi dirinya, menikah dengan pesta yang meriah dan hidup bahagia membangun sebuah keluarga kecil yang harmonis. Namun nampaknya tuhan sama sekali tidak merestui keinginannya, tuhan justru menakdirkan dirinya menjadi istri siri dari suami orang lain yang hanya di butuhkan karena dia memilik rahim. "Sah...." Utari tersentak begitu mendengar suara orang bersamaan, mengatakan Sah. Sepertinya terlalu larut akan lamunannya yang meratapi nasibnya sejak tadi Utari tidak sadar jika pernikahannya telah di laksanakan. "Sekarang kalian telah resmi menjadi pasangan suami istri secara hukum syariat agama. Ada hak dan kewajiban yang harus kalian laksanakan satu sama lain." Utari dan Abi mendengarkan nasehat dari penghulu itu dengan seksama. Meski tidak menjawab apapun, Utari memahami dengan jelas apa yang di sampaikan penghulu itu. Setelah itu, Abi menerima beberapa lembar surat yang telah di tandatangani oleh penghulu dan kedua Saksi, Abi serta dirinya. Utari tidak pernah tau jika menikah siri juga akan memiliki surat-surat dan tandatangan. Meski dia tidak tau surat apa yang dia tandatangani, karena surat itu di berikan kepada Abi dan Utari sama sekali tidak berminat untuk membacanya ataupun mengetahui isinya. Yang Utari tau sekarang dia adalah istri Abi yang bertugas melahirkan anak dari laki-laki iti setelah itu dirinya tidak akan di butuhkan lagi. Dia bisa kembali ke kehidupan normalnya tanpa di kejar-kejar hutang. Sesederhana itu didalam pikiran Utari. *** Setelah semua orang pergi, Utari pun pergi kekamarnya. Abi pun pergi entah kemana, Utari tidak tau. Utari ingin mengganti pakaiannya dan membantu Mbok Kem memasak. "Apa yang bisa Tari bantu Mbok?" Utari melihat Mbok Kem sudah berkutat dengan berbagai bahan masakan di dapur. Mendengar suara Utari Mbok Kem sedikit terkejut. "Tidak usah, biar Simbok saja," jawab Mbok Kem pelan. Namun Utari tetap mendekat kearah Mbok Kem dan membantu wanita tua itu menyiapkan berbagai bahan masakan. "Tidak papa Mbok, biar Tari bantu." "Tapi usah, ini Simbok bisa sendiri. Masa istri majikan ikut masak sama pembantu." Mbok Kem tersenyum sungkan kepada Utari. Mendengar anggapan Mbok Kem untuk posisi dirinya, membuat Utari kembali mengingat betapa getir hidupnya. Istri majikan yang di sematkan untuk dirinya, membuat dia sadar akan statusnya. Itu bukan sebuah sanjungan namun bagi Utari itu adalah sebuah ejekan akan keadaannya. Meski pun Utari tau jika Mbok Kem tidak bermaksud seperti itu, namun hati Utari yang sadar akan posisinya sendiri. "Jangan anggap Tari begitu Mbok, anggap saja Tari ini sama seperti Simbok. Kita sama-sama bekerja disini. Tari tidak nyaman dengan status Tari jika Simbok mengungkitnya." Utari berkata, sambil tangannya sibuk mencuci berbagai sayuran. "Sama bagaimana, orang sudah menikah dengan Tuan ya jelas tidak sama dengan Simbok. Simbok samanya dengan Asep itu baru benar." "Tari kan hanya istri siri Om Abi Mbok, sebelum hari ini Tari ini hanya gadis miskin yang selalu di kejar-kejar hutang. Jadi tidak ada sejarahnya Tari jadi istri majikan. Tari memang istri Om Abi tapi kan istri siri.” Mbok Kem memandang gadis di hadapannya itu dengan pandangan teduhnya. Dia tidak menghakimi Utari sebagai istri siri tuannya, dia tau apa yang menyebabkan gadis malang di hadapannya itu terjebak di posisinya sekarang. Justru Mbok Kem merasa prihatin dengan keadaannya, dia salut dengan gadis itu karena bisa bertahan hidup menghadapi dunia yang terkadang berlaku tidak adil ini sendirian. "Iya, kalau begitu Simbok akan menganggap Tari seperti anak Simbok sendiri. Jangan sedih ya, Simbok yakin kamu akan bahagia suatu saat nanti." Mbok Kem mengusap pelan surai halus gadis malang dihadapannya itu. "Tari jadi rindu Ibu sama Bapak Mbok, Tari menikah tanpa mereka." Mata Utari sudah berkaca-kaca sejak tadi dia sudah ingin menangis mengingat bapak dan ibunya tapi sekuat tenang dia menghalau perasaannya. Dan sekarang, mendapat perlakuan yang begitu lembut dari Mbok Kem membuat Utari kembali bersedih dan ingin sekali menangis. "Besok pergi ke makan bapak sama ibumu, doakan mereka. Mereka pasti bangga karena memilik anak sehabat kamu Nduk." Utari hanya bisa mengangguk, dia yakin air matanya akan jatuh jika dia membuka suaranya. "Sekarang ayo bantu Simbok masak, Tuan Abi akan marah jika makan siangnya terlambat." Utari kembali melupakan sejenak kesedihannya, dia mengambil sayur-sayur yang telah selesai dia cuci untuk di potong-potong. Berkutat dengan masakan hampir satu jam, Akhirnya beberapa menu terhidang di atas meja makan. Bersamaan dengan itu, Abi turunan lantai dua rumah itu dan berjalan mendekat kearah meja makan. "Kamu membantu Simbok masak, atau menggangu Tari?" Abi mengatakan dengan santai, sambil melihat Utari yang menyusun beberapa gelas dan minuman di sana. "Bantuin masak juga Om. Memangnya Om kira aku tidak bisa masak, jelek-jelek begini aku juga bisa masak Om." Utari tau jika pertanyaan Abi adalah sebuah ejekan. Dan dia sangat kesal akan hal itu. Abi meremehkan kemampuannya dalam hal memasak, padahal selama ini dia tinggal sendiri dengan keterbatasan ekonomi dia selalu memasak untuk menekan pengeluarannya jadi mau tidak mau dia sudah sangat bersahabat dengan bahan-bahan dan peralatan masak. "Perempuan jaman sekarang mana ada yang bisa masak." "Ada Om, aku ini anak milenial. Tapi aku juga bisa masak." Sambil memgambilkan makanan untuk Abi, Utari terus menjawab ucapan Abi. Meski mereka hanya menikah siri gelar istri tatap Utari sandang, dan kewajiban seorang istri tetap harus Utari jalankan. Mengambil kan makanan untuk Abi adalah satu dan sekian banyak keawajibannya yang bisa dia lakukan jadi kenapa tidak dia lakukan. Lagi pula Abi bersikap baik kepadanya, dia tidak canggung ataupun bersikap yang tidak baik kepada Utari jadi tidak ada salahnya juga jika Utari mulai berdamai dengan keadaan dan bersikap baik pula dengan laki-laki yang kini berstatus sebagi suaminya sekaligus tuannya itu. "Cukup Om?" "Apanya?" tanya Abi bingung. "Ini Om, mau pakai lauk yang mana?" "Kamu ambil makanan untuk saya?" tanya Abi tidak percaya. "Memangnya untuk siapa lagi?" "Ambil kan semuanya sedikit-sedikit." Utari mengambil semua lauk yang ada disana sedikit-sedikit untuk Abi lalu menyerahkannya kepada laki-laki itu. Abi menerima dengan senang, hatinya merasa hangat untuk pertama kalinya dalam cerita dia menjadi seorang suami di ambilkan makan oleh istrinya. Meski itu bukan Naina istri yang sangat dia cintai, namun Utari juga istrinya kan. Istri siri yang baru saja dia nikahi jadi sama-sama istri. “Terimakasih …” Abi mengambil piring yang sudah berisi makanan itu dari tangan Utari dengan senang hati.  *****BERSAMBUNG**** WNG, 11 JANUARI 2021 SALAM  E_PRASETYO  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD