Desita Indira 2

1821 Words
Aku duduk lama sekali di dalam kamar mandi merenungkan segala hal yang terjadi tanpa permisi dan memorak-porandakan hidupku. Hidup yang aku perjuangkan dari nol, hidup yang aku pikir bisa lebih baik lagi nantinya. Cita-citaku sederhana, jika kelak aku berhasil mengumpulkan uang aku akan mendirikan sebuah toko roti. Tidak perlu terlalu besar yang penting bisa untuk hidup dan memberikan dana bantuan untuk anak-anak panti. Saat ini aku adalah satu-satunya harapan hidup mereka, jika penghasilanku tidak ada maka bagaiamana mereka akan hidup? Hal itu lebih besar aku pikirkan sekarang dibandingkan nasibku kelak. Sejak aku masih bayi, aku dibuang oleh orang tuaku ke panti asuhan. Hampir semua anak seumuranku sudah mendapatkan orang tua asuh, tapi tidak ada yang mau mengadopsiku karena aku tergolong anak yang aneh. Tidak suka bicara, tidak suka berteman dan tidak suka berada di tempat orang yang tidak aku kenali. Aku akan melakukan banyak hal buruk jika aku mengalami situasi itu. Pernah ada satu orang tua asuh yang mengadopsiku dan aku melakukan banyak kenakalan sehingga mereka mengembalikanku ke panti. Karena aku menjadi yang paling dewasa di sana maka secara otomatis aku seperti anak sulung. Seiring berjalannya waktu banyak donatur yang berhenti mengucurkan dana. Sehingga ketika aku berhasil memperoleh penghasilan, aku seperti menjadi penanggungjawab di sana. Beban itu terasa berat sekali, aku bukan orang dengan pendidikan hebat. Bisa kuliah karena beasiswa saja sudah beruntung. Tidak ada orang yang mau mempekerjakan orang introvert sepertiku. Yang tentu saja akan kesulitan berbaur dengan orang lain, apalagi untuk melakukan kerjasama team tentu saja aku tidak akan mampu. Setidaknya itulah pikiranku walaupun belum pernah mencoba. Aku memang cenderung tidak mau mencoba hal-hal yang sulit. Semua kebutuhan hidup yang memaksaku untuk mencari lebih banyak uang, akhirnya mengantarkanku pada jalan menjadi seorang penulis dewasa. Sejujurnya aku menulis banyak genre, tapi kebetulan karyaku yang paling laku adalah karya dengan genre dewasa dan ketika sebuah penerbit memberiku kontrak yang menggiurkan mereka memberiku syarat untuk membuat cerita itu berseri. Sehingga aku lebih dikenal sebagai penulis novel dewasa. Sejak melakukan pekerjaan itu, ketakutanku akan orang lain semakin bertambah. Aku ketakutan tentang pandangan orang lain tentang pekerjaan, begitu takut dengan kata-kata hinaan menyakitkan yang akan mereka lontarkan padaku jika mengetahui pekerjaanku. Itulah kenapa aku semakin menutup diri, memutuskan untuk keluar dari panti asuhan. Mengontrak di tempat kecil di sudut kota hingga akhirnya aku berhasil membeli apartemen ini dengan susah payah. Hidupku tidak mudah bukan? Tanggung jawabku juga tidak kecil. Tapi orang bernama Dante Alexander itu berani-beraninya menghinaku sekejam itu. Lihat saja aku akan membuatnya miskin sebagai balasan sudah memaksaku menikah. Semua pemikiran itu sejak kemarin sudah hinggap di kepalaku tapi entah kapan aku bisa melakukannya. Karena hal yang paling aku benci dari diriku sendiri adalah selalu ketakutan. Itu merupakan penghambat banyak rencana di hidupku selama ini. Bel apartemenku berbunyi, dan aku mendesah. Mungkin memang nasibku seperti ini dan harus aku terima. Aku segera merapikan pakaianku dan berjalan sedikit tertatih untuk membuka pintu. Kepalaku lumayan pusing, mungkin karena aku belum makan apa pun sejak kemarin sekaligus menahan sakit perutku yang lumayan menyiksa. Orang itu, orang yang ingin sekali kubuat miskin, sudah berdiri dengan setelan jas mahal di depan pintu apartemenku sambil tersenyum menyebalkan. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi padanganku semkin memudar dan setelah itu gelap menyerangku. *** “Sita, akhirnya kamu bangun juga.” Lagi-lagi Ana yang aku lihat pertama kali ketika aku bangun. Gadis menyebalkan yang membuatku terjebak dalam kesialan ini. Bisa-bisanya dia tersenyum tanpa beban seperti itu di depanku setelah semua hal yang dia lakukan? Apakah dia memang jenis yang tidak tahu malu? Aku mendesah kemudian menutup mataku menggunakan lengan, tidak ingin lama-lama menatapnya. Kebencian mulai terbentuk di otakku. “Tuan Dante sedang pulang sebentar untuk mengganti baju, sejak kemarin dia menungguimu dengan setia loh.” ucap Ana lagi membuatku muak. Siapa yang peduli dengan si menyebalkan Dante. Dia hilang ditelan bumi saja aku tidak akan peduli. Kemudian pintu kamar terdengar terbuka, bisa kudengar juga Ana berdiri. “Dia sudah bangun.” ucap Ana terdengar sopan. Tidak terdengar balasan hanya Ana tampak berpamitan dan seseorang menggantikannya duduk di sampingku. “Tidak makan, tidak tidur, tidak minum obat? Kau ingin bunuh diri karena tidak mau bayar hutang?” Suara dari laki-laki menyebalkan itu membuatku ingin berteriak tapi kutahan. “Buka tanganmu Desita! Aku tahu kamu sudah bangun!” Ucapnya lagi dengan nada memerintah yang aku benci. Namun mengingat aku memang memiliki hutang padanya yang harus aku pertanggung jawabkan aku menurunkan lenganku dan melihat wajah tampannya yang menyebalkan. “Aku tidak akan lari tenang saja.” ucapku dengan nada malas. Dia terus menatapku dengan sorot mata tajam yang terasa asing. Aku tidak pernah sekalipun berada dalam jarak sedekat ini dengan laki-laki. Apalagi dipandangi seperti cara Dante memandangku. Itu membuatku tidak nyaman, sehingga alih-alih menatapnya balik aku lebih memilih menatap langit-langit. Dan sepertinya dia tidak suka dengan sikapku yang seperti ini karena kudengar dia mendengkus. “Setelah pemeriksaan siang ini, dokter bilang kamu boleh pulang.” ucapnya sebelum beranjak berdiri menuju kamar mandi. Aku mendesah lega, karena tidak mau menambah hutangku padanya dengan dirawat di rumah sakit semakin lama. Tidak lama setelah itu dokter masuk, dan memeriksaku dengan seksama. Mereka tampak ketakutan karena Dante berdiri mengawasi dengan raut wajah menyebalkan. Benar-benar laki-laki yang harus dibuat miskin biar tahu rasa. “Cepet naik!” perintahnya tanpa mau dibantah. “Aku bisa jalan, tidak perlu pakai kursi roda.” Aku menolak. Dia mendengkus kemudian menggendong tanpa permisi dan mendudukkanku dengan paksa di kursi roda. Meletakan tas di pangkuanku dan mendorongku keluar dari kamar rawat. Rasanya kesal sekali diperlakukan seperti itu. “Dasar tukang perintah!” gumamku pelan sekali. “Aku mendengarnya Desita, sekali lagi aku dengar kamu mengumpatiku seperti itu akan kuberikan hukuman.” ucapnya datar membuatku langsung diam. Kami berada di dalam mobil dengan keheningan yang mencekam, bahkan untuk bergerak saja aku sedikit ketakutan. Sesekali aku melirik ke arahnya yang tampak fokus sekali ke jalanan, hingga kemudian aku sadar bahwa sekarang kami berada di rute yang bukan menuju apartemenku. “Ini bukan jalan menuju apartemenku!” ucapku sambil menatapnya kesal. Dia tampak santai dan tidak menjawab. Membuatku kesal. “Dante kamu akan membawaku ke mana? Aku ingin pulang!” Aku sedikit berteriak dan dia hanya memicingkan matanya ke arahku kemudian kembali tidak peduli. Dia tampak mendesah ketika aku sudah akan meneriakinya. “Kita akan pulang ke rumahku. Sudah jelas kan? Jangan berisik kapalaku pusing!” ucapnya dengan nada seolah-olah aku sangat mengganggunya. Membuatku menganga tidak percaya, bagaimana ada laki-laki semenyebalkan dirinya? “Aku tidak mau pulang ke rumahmu, demi Tuhan kita belum menikah, Dante!” tolakku. Kemudian ia menatapku dengan meremehkan. “Kenapa harus menikah baru boleh membawamu ke rumahku? Aku melakukan semuanya semauku. Lagipula kamu sudah menandatangani perjanjian yang isinya kamu akan memtuhi semua perintahku tanpa banyak protes,”  kilahnya dengan sombong dan arogan seperti biasanya. Aku mendesah lelah, mendebatnya adalah pilihan yang melelahkan dan tubuhku belum terlalu fit jadi aku memilih diam. *** Ternyata rumah yang dimaksud Dante adalah sebuah apartemen mewah di lantai paling atas yang sangat privat. Untuk sampai ke lantainya saja laki-laki menyebalkan itu menggunakan lift khusus dan kartu akses yang terlihat mahal. Aku benar-benar sudah pasrah dengan semua keadaan ini, tapi mungkin aku akan sedikit memperjuangkan kehidupan anak-anak panti nanti. Dante memiliki banyak uang bukan? Anggap saja itu sebagai salah satu cara membuatnya miskin. Ketika kami masuk ke dalam ruangan yang hanya ada satu-satunya di lantai itu, Dante tiba-tiba berhenti dan aku pun ikut berhenti. Rupanya di dalam sudah ada orang lain yang aku perkirakan itu adalah orang tua Dante karena mereka tampak mirip. Mereka berdua langsung menatapku dengan tertarik. “Mama sama Papa kenapa gak bilang-bilang mau dateng sih? Masuk tanpa ijin.” kata Dante dengan nada merajuk, aku kaget mendengarnya. Seorang Dante berubah jadi seperti anak kecil di depan orang tuanya? Aku ingin tertawa melihatnya menggemaskan seperti itu. Tapi mana berani aku lakukan. “Kenapa papa sama mama gak boleh masuk rumah anak kami? Apa gara-gara ada gadis cantik ini?” tanya papa Dante sambil berdiri menghampiriku. Mama Dante juga tampak sangat ramah dan menarikku duduk setelah memberikan pelukan hangat. “Kamu mau ke mana?” tanya papa Dante melihat putanya melangkah meninggalkan ruang tamu. “Mandi, Dante belum mandi,” jawabnya tanpa menoleh. “Jadi kamu yang namanya Desita?” Aku mengangguki pertanyaan mama Dante. Dia tampak bahagia. “Kamu tampak pucat? Kamu sakit?” Kali ini papa Dante yang bertanya. “Sita baru keluar dari rumah sakit, Om.” jawabku seadanya sambil menunjukan bekas infus di tangan. Mereka tampak kaget. “Bocah nakal itu tidak bilang kamu masuk rumah sakit, sakit apa, Sayang?” tanya mama Dante. “Cuma masalah lambung aja, Tante, Sita sering telat makan.” terangku jujur. Mereka berdua tampak sangat penyayang dan lembut bagaimana dua orang baik ini bisa melahirkan seorang monster seperti Dante? Masih tegakah aku membuat Dante miskin jika orang tuanya sebaik ini? Hatiku bimbang dibuatnya. “Dante jarang kasih kamu makan yah? Bisa-bisanya punya pacar sampai sakit lambung begini. Bocah nakal itu memang harus diberi wejangan, Mah.” ucap papa Dante tampak kesal. Tapi tunggu dulu... Pacar? Jadi Dante mengakuiku sebagai pacar? Ahh tentu saja itu adalah cara si menyebalkan itu untuk membuat orang tuanya tidak curiga. Dasar menyebalkan banyak akal! “Dante, cepat kemari!” perintah papa Dante ketika laki-laki menyebalkan itu keluar dari kamar dengan baju santai yang tampak segar dan semakin tampan. “Kenapa sih, Pah?” tanyanya sedikit tidak suka. “Kenapa calon menantu papa bisa sampai sakit lambung? Kamu ngapain aja sebagai pacar?” cecar papa Dante, membuat si menyebalkan itu melirikku dan aku buang muka. Anggap saja ini pembalasan kecil untuk sikap menyebalkannya selama ini. “Dia suka gak makan, padahal Dante udah sering ingetin dia makan bahkan Dante sering kirimin dia makanan lewat kurir. Calon menantu Papah keras kepala.” kilahnya seenaknya. Membuatku mendelik. Bisa-bisanya dia mengarang cerita menyebalkan seperti itu. Siapa yang penulis novel disini? Kenapa dia yang lebih pandai mengarang cerita? Terlebih ekspresi mengejeknya padaku yang membuatku jengkel. Benar-benar pantas untuk kubuat miskin laki-laki ini. “Benar seperti itu, Desita?” tanya mama Dante sambil menatapku khawatir. Aku tersenyum canggung. “Bagaimana lagi, Tante, Dante hanya mengirimiku makanan dan mengirim pesan tapi dia hampir tidak pernah datang karena sibuk bekerja. Desita jadi malas makan.” Aku mendramatisir. Dia kembali melirikku dengan menyebalkan dan aku menjulurkan lidah padanya saat kedua orang tua Dante tidak melihat. Memangnya dia saja yang bisa mengarang cerita, aku tentu lebih pandai. Ucapku bangga di dalam hati. Kemudian dia tampak tertawa dibuat-buat. Aku sendiri tidak mengerti dari mana keberanian untuk membalas ini berasal, karena biasanya aku cenderung diam saja. “Ahh, jadi kamu lebih ingin diperhatikan olehku, Sayang? Kenapa gak bilang langsung sih? Harus sakit dulu baru mau ngaku?” ucapnya sambil tersenyum, itu membuatku jijik. Lebih tepatnya kalimat sayangnya membuatku jijik. Aku merutuki semua perkataanku ketika mama dan papa Dante tampak tersenyum geli sedangkan Dante sendiri langsung mendekatiku, duduk di sampingku, membelai kepalaku, mencium keningku, kemudian memelukku sambil berbisik. “Aku akan menghukummu gadis nakal!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD