Munculnya Almeera

2042 Words
“KAK DENNIS!!” Panggilan yang nyaring, disertai pintu yang digedor-gedor berulang kali, mau tak mau membuat pria yang masih menikmati tidur di balik selimutnya itu terganggu. Ia menggerakkan pelan tubuhnya, melirik pada jam di atas nakas, sebelum menyingkap selimut karena kesal. “KAK DENNIS!! KAK DENNIS!!” Panggilan itu membuat Dennis mempercepat langkahnya menuju pintu, meski ia sambil menjambak rambut. Mendengar suara Almeera di pagi-pagi buta—dalam keadaan berteriak—ia yakin bukan hal yang baik. Dan memang, firasatnya mengatakan bahwa Almeera datang membawa petaka untuknya di pagi ini. Pintu terbuka dan muncullah wajah Almeera di depan Dennis. “Kenapa?” tanya Dennis sambil melihat Almeera dengan bingung. Jelas saja Dennis bingung, tak ada hujan, tak ada angin, tak ada badai, juga tak ada tsunami, tapi Almeera malah sedang memakai kebaya, lengkap dengan sanggul serta bulu mata anti badainya. “Mau ke mana?” Dennis melayangkan pertanyaan lain, meski pertanyaannya sebelumnya belum juga dijawab oleh Almeera. Yang ditanya hanya mengelus perut, lalu ia memasang wajah memelas. “Anterin ke rumah sakit, Kak.” Matanya berkedip-kedip, memohon pada sang kakak agar bersedia mengantarkannya ke tempat tujuan. “Rumah sakit?” Dennis membeo. Ia memastikan penampilan Almeera dari melihat ujung kepala hingga ke ujung kaki, lalu mengulangnya lagi untuk memastikan apa yang ia lihat. Mengantisipasi jika saja matanya masih tertutupi belek sehingga ia melihat hal yang berbeda. Namun, setelah dua kali bolak-balik menatap Almeera lekat-lekat, matanya memang tak sedang tertutupi belek. Wanita yang sedang ia lihat itu, memang jelas-jelas sedang memakai kebaya. Dan tak hanya Almeera, karena Luna pun—keponakannya—juga memakai baju serupa, bahkan warna serupa dengan yang dipakai Almeera. “Mau ngapain ke rumah sakit?” Ini adalah pertanyaannya yang keempat sejak Almeera muncul di depan kamarnya. “Mau benerin sanggul,” ketus Almeera. “Ya, mau periksalah,” lanjutnya sambil mengelus-elus perut yang di dalam sana ada bayinya yang berusia 2 bulan. Dennis menggeram tak suka. Bukan tak suka jika Almeera hamil, tapi tak suka karena pekerjaan Alroy membuat Almeera terkesan ditelantarkan. Saat hamil, Almeera ditinggal sendirian, mengurusi Luna selayaknya orang tua tunggal, ditambah satu bayi mereka yang masih dalam kandungan. “Gini nih kalo kamu gak mau dengerin Mami sama Kakak, Alroy itu harusnya udah berhenti dari milit—” “HUSH!” Almeera memotong ucapan Dennis dengan menaruh telunjuk di depan bibir sang kakak. “Almeera tuh udah hapal mati sama yang mau Kak Dennis bicarain. Gak usah diulang-ulang terus, Almeera tuh bukan anak sekolahan yang harus remedial pas ulangannya gak lulus.” “CK!” Dennis mendecak seraya mendorong tangan Almeera dari depan bibirnya. “Anterin Almeera aja deh, Kak. Gak usah banyak protes. Sebagai Om yang baik, Kak Dennis tuh harus ikut bertanggung jawab buat keponakan Kak Dennis.” “Kenapa Kakak yang harus bertanggung jawab? Bapaknya aja sibuk sendiri, cih!” “Alroy tuh gak sibuk sendiri, Kak. Alroy sibuknya rame-rame. Dia tugas negara gak sendirian, kalo sendirian baru namanya sibuk sendiri, orang di luar negeri dia sibuk bareng-bareng sama tentara lain, sibuknya rame-rame, Kak.” “Ih, Om Dennis gak pinteyy ya, Ma,” Luna ikut-ikutan berbicara. Menghujat Dennis dengan mengatakan bahwa pria itu tak pintar. Dennis menepuk jidat, pagi-pagi sudah dikatai oleh Luna. Beginilah nasibnya saat memiliki adik yang memiliki kadar kewarasan yang minimalis, tak heran jika ia juga harus memiliki keponakan dengan tingkah ajaib seperti Luna. “Luna, gak boleh ngatain orang tua loh,” Almeera memperingatkan. Luna terkekeh kecil sambil ia menutup mulut. “Oppss!” “Kak, udah cepetan deh, anterin Almeera ke dokter. Nanti kalo bayinya Almeera kenapa-napa gimana?” “Loh, bayimu emangnya kenapa?” tanya Dennis mulai panik. Semenyebalkan apa pun tingkah Almeera, tetap saja ia akan selalu mengkhawatirkannya. Karena Almeera sudah seperti Malika yang ia besarkan seperti anak sendiri. (Eh, maap otornya malah ngiklan. Kebawa sama kebiasaan pas nulis Almeera di nopel sebelumnya) “Ya, Almeera gak tau, Kak. Kan belum diperiksa. Kalo udah diperiksa sama dokter, disenter-senter sama alat yang di rumah sakit kan baru bisa ketahuan bayinya baik-baik aja atau gak.” Dennis mendecak kesal, padahal ia sudah khawatir. Karena itu, ia hanya berujar, “Tunggu bentar, Kakak mandi dulu.” “Siap!” ujar Almeera dan Luna bersamaan, bahkan dua-duanya sedang melakukan pose menghormat, selayaknya sedang upacara militer. Sebelum kembali ke dalam kamarnya, Dennis menyempatkan untuk menanyakan kejanggalan pakaian Almeera dan Luna. “Kalian … seriusan mau ke rumah sakit pakai baju …,” ia menjeda sambil menunjuk Almeera dan Luna bergantian. “… baju begitu?” “Emang kenapa?” “Kayak orang yang salah kostum aja sih.” “Kak Dennis tuh gak pengertian banget, Almeera kan lagi hamil, ini tuh bawaan bayinya. Ih, Kak Dennis gak pengertian banget,” rajuk Almeera. Bibirnya mengerucut, dan bahkan Luna ikut-ikutan meniru yang dilakukan mamanya. “Om Denyiss gak cayang cama dedek kecil, dedek kecil kan mau pake baju gini.” “Ah, terserah kalian aja deh,” ujarnya seraya menutup pintu dengan cepat. “Makin lama ngomong sama dua orang itu makin sinting. Masa mau ke rumah sakit pake kebaya sama sanggulan, itu mau periksa apa mau kondangan sih,” ia berbicara sendiri saat berjalan ke kamar mandi. Meskipun ia masih bingung dengan kejanggalan pakaian Almeera, tak ia tak memikirkannya lagi. Toh, Almeera memang tak peranh waras, apalagi saat hamil begini, kadar ketidakwarasannya akan makin bertambah. Dan hal itu dianggap sudah cukup normal oleh Dennis. Sembari menunggu Dennis mandi dan bersiap-siap, Almeera dan Luna memilih merusuh di ruang makan. Karena pagi-pagi ia sibuk untuk bersiap-siap dengan kebaya dan sanggulnya, maka Almeera sampai melewatkan sarapan. “Nona mau ke mana pagi-pagi sanggulan sama kebayaan gini?” Bi Yati yang penasaran karena kostum Almeera akhirnya bertanya saat ia meletakkan sepiring telur mata juling. Yah, telur mata juling. Jenis masakan yang diminta oleh Almeera, yang membuat para pelayan sampai juling untuk membuatnya. Bagaimana tidak, posisi kuning telur tersebut tak boleh berada di tengah, tapi harus juling di kiri dengan sudut kemiringan tak boleh melebihi 45 derajat. Meskipun harus berada di pinggiran kiri, tapi tak boleh benar-benar berada di pinggir, setidaknya harus menyisakan satu senti dari bagian terluar. “Ini julingnya kiri apa kanan, Bi?” Almeera menatap telur goreng yang dihidangkan oleh Bi Yati. “Kiri, Nona. Seperti yang diminta sama Nona.” “Tapi, kok ini juling kanan?” protes Almeera dengan bibir mencebik. Dan yah, bagian kuning telurnya memang berada di kanan, bukannya berada di kiri seperti yang ia minta. “Tapi, Bibi udah bikinnya juling kiri, Nona,” Bi Yati kembali menimpali. Dalam hati ia sedang mendumel, Ya Gusti, lama gak dateng kok Si Nona lagi-lagi bikin masalah gara-gara telur mata juling ini. “Oh, ini kebalik, Nona.” Karena Bi Yati yang berdiri di seberang meja, maka ia berada di posisi yang berlawanan dengan Almeera, karena itulah ia meletakkan mata juling telurnya dengan posisi yang mengikuti tangan kirinya. Dan itulah penyebab sehingga Almeera merasa jika telurnya berada di posisi yang juling kanan. “Nah, gini bener, ‘kan?” tanya Bi Yati setelah ia memutar piringnya sehingga bagian kuning telur tersebut sudah juling kiri. “Bener,” jawab Almeera dengan semangat, tapi kemudian ia mendorong piring tersebut karena merasa ada yang salah. “Eh, gak mau. Bawa pergi telur mata jul—” ia memotong ucapannya sambil menutup mulut. “Kenapa, Nona?” “Bawa pergi pokoknya, aku gak mau liat telur ini lagi,” pintanya dengan tergesa-gesa, ia bahkan sampai menutup mata karena enggan melihat telur mata juling itu. Takut jika kejulingan sang telur akan membuat bayi yang ia kandung ikut-ikutan juling juga. Bi Yati hanya asal menurut saja. Ia membawa pergi telur tersebut meski sebenarnya tak paham dengan apa maunya Almeera. Almeera mengusap perut, lalu berujar, “Kita gak boleh makan yang aneh-aneh, pokoknya kita harus makan yang normal-normal aja. Satu lagi, kita harus makan yang banyak, Dek. Karena LDR itu menguras energi.” “Mama, el-el de el itu apa?” “LDR itu Lagi Dilanda Rindu,” jawab Almeera seraya menghela napas dengan berat. “Ciyeee, Mama lagi lindu cama Papa.” “Iya dong, emangnya Luna gak rindu sama Papa?” “Lindu, linduu cama baunya Papa,” ujar bocah dua tahun itu sambil mengendus-endus udara. “Sama, Mama juga rindu ngendusin Papa kamu. Mama pusing kalo lama gak ngendusin Papamu.” “Makanya punya suami tuh jangan dibiarin selingkuh sama tugas negaranya,” cibir Dennis saat ia muncul. “Gini nih Kak Dennis, kerjaannya julidin orang aja. Iri tuh bilang aja, gak perlu jelek-jelekin Alroy. Mau dijelek-jelekin, Alroy tetep aja bagus di mata Almeera.” Dennis menghela napas dengan suara yang berat, ia tak lagi menimpali omongan Almeera. Ia justru memilih mengalihkan pembicaraan. “Kalian makannya udah kelar, ‘kan? Kalau udah, ayo ke rumah sakit. Soalnya nanti siang Kakak punya meeting di kantor.” “Ayo deh, Almeera juga buru-buru,” ujarnya sambil meraih gelas berisi air minum lalu meminumnya. Tak lupa juga membantu Luna untuk minum dan segera berjalan mengikuti Dennis yang sudah keluar rumah duluan. “Nona, mau ke mana sih pake kebaya gini?” Bi Lastri menyempatkan untuk bertanya saat ia selesai dengan tugas bersih-bersihnya. Membuat Almeera terpaksa menghentikan langkah untuk sesaat. Almeera menaruh telunjuk di depan bibir, “Shhh! Lagi dalam misi rahasia.” Setengah jam lebih yang Dennis habiskan dengan penuh ketersiksaan berada di dalam mobil bersama Almeera dan Luna. Yah, sangat tersiksa. Karena kebawelan adik serta keponakannya itu membuat kepalanya memanas, dari kedua telinganya terasa asap akan keluar saking kesalnya. Karena selain bawel, Almeera adalah tipe manusia yang kalau berbicara tak pernah waras, selalu saja terselip ketidakwarasan dalam pembicarannya. “Kak, Kakak tau gak kenapa waxing itu bikin sakit?” “Gak tau,” balas Dennis dengan tak bersemangat. Pria itu tak tertarik lagi mendengar waxing atau apa pun. Karena sejak ia mengemudikan mobil meninggalkan pelataran rumahnya hingga hampir sampai di rumah sakit, telah banyak kosa kata aneh yang Almeera sebutkan padanya. “Karena melepaskan itu selalu menyakitkan, meskipun yang dilepaskan hanyalah bulu.” Almeera menjawab sendiri sementara Dennis hanya menanggapi dengan ala kadarnya. “Oh.” “Kak, tau gak kenapa Bintang munculnya cuma pas malem aja?” “Gak.” “Kata siapa Bintang muncul cuma pas malem, orang Bintang muncul dari pagi, siang, sore, malem, sampe subuh juga ada. Tapi, Kak Dennis terlalu asik sama yang lain. Makanya yang selalu ada gak keliatan.” Glek, entah kenapa ucapan tersebut membuat Dennis menolehkan kepala ke belakang, pada Almeera dan Luna yang duduk di belakangnya. Karena ucapan tersebut, Dennis jadi teringat akan kejadian semalam saat ia tak menghiraukan permintaan orang tua Bintang. “B-bi—” Bibirnya bergetar dan tergagu saat ia hampir mengeja nama itu. Tapi, ia menghentikan mulutnya untuk mengucapkan nama tersebut. “Kak, kita udah sampai dari tadi. Ngapain ngayal sih?” Almeera menyela dan menggoyangkan lengan Dennis agar sang kakak segera keluar dari mobil. “Oh, i-iya.” Tak menunggu Dennis untuk membuka pintu untuknya, Almeera lebih dulu keluar dari mobil bersama Luna. Setelah itu, ia mengetuk kaca mobil agar Dennis segera keluar dari balik kursi kemudi. “Ayo, Kak! Cepetan!” ujar Almeera dengan tergesa-gesa. Begitu Dennis keluar dari mobil, ia langsung memindahkan Luna ke gendongan Dennis. Lantas setelahnya ia mengamit lengan sang kakak. Tak hanya sekadar mengamit, karena hal selanjutnya yang ia lakukan adalah menyeret pria itu. “Loh … loh,” sela Dennis saat merasa Almeera berjalan terburu-buru ke tempat yang salah. Adiknya itu tak sedang berjalan menuju poli kandungan. “Poli kandungan kan bukan di sebelah sini.” “Udah, ikut aja. Jangan banyak protes.” “Kita mau ke mana sih?” Tak bisa untuk diam saja, karena Dennis merasa ada yang salah dengan arah yang dituju oleh Almeera. Dan keyakinannya terbukti benar saat Almeera mendorong sebuah pintu ruang perawatan. Di balik pintu itu, Dennis menemukan beberapa orang yang ia kenali, Kejora, kedua orang tua Bintang yang semalam berlutut di kakinya, serta orang yang sedang berbaring dalam keadaan napas tersengal-sengal di atas ranjang. Tak hanya itu, ada beberapa orang lainnya yang juga berada di ruangan tersebut. Seorang pria berbadan kerempeng, seorang wanita tua dengan uban yang memenuhi kepalanya, beberapa tenaga medis, serta seorang pria berpeci. Pria berpeci itu langsung berdiri ketika Dennis masuk. “Ini pengantian prianya?” “Benar, Pak” jawab Almeera dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD