Membosankan

1828 Words
Demi kelangsungan hidup Bintang, mau tak mau Kejora akhirnya menghubungi salah seorang kerabatnya di kampung. Kejora meminta bantuan salah seorang saudara sepupunya untuk membawa sang dukun untuk ke Jakarta. Kejora juga mewanti-wanti sang sepupu untuk tidak mengatakan apa-apa pada keluarganya yang lain. “Rus, bilang sama keluarga di kampung kalo Mbok Tatik dibawa ke Jakarta buat ngobatin Bintang, bukan buat ngasih penawar guna-gunanya Si Bintang.” “Rus … Rus, eh Jo, kan udah gue bilang berkali-kali, panggil gue Ronald atau Ron. Gak usah bawa-bawa nama asli gue napa.” “Banyak gaya loe, nama Rustan mau dipanggil Ronald. Masih untung gak gue panggil Kak Ros,” cela Kejora. “Cepetan loe, kalo gak, Si Bintang bisa mati duluan di sini.” “Iya, ini juga udah mau berangkat buat nemuin Mbok Tatik,” balas Rustan dengan terburu-buru. Selanjutnya pria itu menghidupkan motor kebanggaannya menuju rumah reot Mbok Tatik. “Muka ganteng gini, masa malem-malem ngapelin dukun santét. Mana dukunnya udah nenek-nenek pula,” gerutu Rustan sambil melihat bayangan wajahnya di spion motor. Enggan mendengar omelan Rustan lebih jauh, Kejora segera mematikan sambungan teleponnya. Setelah itu, ia celingak-celinguk menatap lorong rumah sakit yang untungnya sepi. Ia memang sengaja menelepon saudara sepupunya yang sok gaul itu jauh-jauh dari ruang perawatan Bintang. Tak ingin membuat kedua orang tua Bintang tahu alasan sebenarnya di balik pemanggilan Mbok Tatik. Ia dan Bintang telah menyepakati untuk merahasiakan hal ini. Jika sampai orang tua Bintang tahu, Bintang pasti sudah dikutuk jadi kambing. Dikandangin sampai musim lebaran kurban tiba, untuk dijual kemudian disembelih. Sementara itu, di dalam ruang perawatannya, Bintang kembali memuntahkan darah segar. Tak hanya keluar dari mulut, tapi juga dari hidungnya. Ia sempat merangkak turun dari ranjang lalu menuju toilet dengan bantuan ibunya. “Astagfirullah, Nak. Kok makin parah penyakitmu ini.” Cairan merah yang kental itu melebar di permukaan lantai toilet. Membuat Bu Masitoh memalingkan wajah, tak kuat menatap darah dalam jumlah banyak. “Pak! Pak!” teriaknya memanggil sang suami—Pak Naiman—yang berada di luar. “Anakmu ini loh, Pak!” Mendengar suara panik dari dalam ruang perawatan anaknya, Pak Naiman bergegas masuk. Begitu ia berhasil mendorong pintu, ia langsung menemukan Bintang yang berjongkok di ambang pintu toilet. “Panggilin dokter, Pak,” pinta Bu Masitoh. Pria paruh baya yang baru saja menginjakkan kaki di dalam ruang perawatan Bintang langsung membalikkan tubuh. Ia berjalan terburu-buru untuk menemui tenaga medis. Begitu melihat seorang wanita muda dengan jubah dokter yang melekat di tubuhnya, Pak Naiman segera mendekatinya. “Dok! Dokter! Tolong anak saya, anak saya muntah darah!” ujar Pak Naiman dengan terburu-buru. Langsung saja ia menarik lengan sang dokter untuk ia bawa ke ruang rawat Bintang. “I-iya, Pak. Pe-pel-pelan-pelan, Pak.” Tak peduli dengan protes sang dokter, Pak Naiman tetap menyeretnya. Niatnya hanyalah untuk membawa sang dokter dengan cepat untuk menolong Bintang. Yang ia harapkan hal itu masih bisa memperpanjang kelangsungan hidup anaknya. Berbanding terbalik dengan suasana mencekam di rumah sakit, di dalam sebuah ruangan dengan pencahayaan yang berkelap-kelip, justru penuh suka cita. Musik yang berdentum dengan keras, menggiring wanita-wanita berpakaian minim itu untuk meliukkan tubuh. Menantang mata para pria untuk menyentuh, menelanjangi, bahkan berbuat apa pun. Dennis salah satunya yang ada di ruangan itu. Duduk bersandar pada sofa, sementara dari mulutnya keluar asap rokok. Seringaian kecil terbit di wajahnya saat seorang wanita mendekat ke hadapannya. Sengaja memutar pinggul untuk mengundang tangan Dennis agar melakukan sesuatu. Yang diundang pun dengan senang hati, pria itu tak sungkan-sungkan untuk memukul pelan tubuh bagian belakang wanita itu. Yang ketika dengan sengaja menungging, rok pendeknya tertarik ke atas, sehingga menampakkan kulit putihnya, beserta kain berenda berwarna hitam yang berbentuk segitiga itu. PLAK! Dennis memukul daging kenyal dari tubuh bagian belakang sebelah kiri wanita itu. Menimbulkan pekikan manja dari mulut sang wanita. “Aww!” Wanita itu menolehkan kepala, menggigit bibir, seraya menatap nakal pada Dennis. “Tuan!” panggilnya dengan nada suara yang manja. Yang dipanggil pun makin senang, ia kembali mendaratkan sebuah pukulan kecil di tempat yang sama. Yang pasti akan mencetak warna kemerahan di kulit putih wanita itu. Tangan Dennis meraba-raba, meremas, hingga sang wanita melenguh. “Eummhh ….” Tangan Dennis bergerak ke bongkahan daging kenyal di bagian belakang tubuh wanita itu, membelainya turun seiring dengan garis belahannya. Mengundang desahan-desahan manja untuk keluar dari mulut sang wanita. Tangan Dennis sampai pada kain berenda berbentuk segitiga itu, ia memutar ibu jarinya perlahan. Membelai dari luar kain tipis itu, semakin mengundang liukan-liukan yang mengundang hasrat dari sang wanita. Ada 7 orang di dalam ruangan tersebut. 5 wanita berpakaian minim, yang sedang menari. Salah satunya sedang dalam keadaan menungging di hadapan Dennis, dengan tangannya yang bertumpu pada meja. Serta dua orang pria, Dennis dan salah seorang teman baiknya. Yang dua-duanya sangat menggemari berpesta seperti ini. Jika Dennis sedang sibuk membelai sesuatu di balik kain berenda milik sang wanita, lain halnya dengan Arnold yang sedang sibuk dengan kegiatan menghisapnya. Seorang wanita duduk di atas pangkuannya. Tubuh bagian atas wanita itu tak lagi terhalangi pakaian, dan karena itulah Arnold begitu leluasa menghisap benda kembar milik sang wanita, bergantian. Sementara tiga wanita lainnya, seolah sedang menanti giliran, entah untuk dibelai, dihisap, dimasuki, atau apa saja perlakuan oleh Dennis dan Arnold, mereka akan dengan senang hati melakukannya. Karena selain mendapatkan kesenangan, mereka juga mendapatkan bayaran. Dan karena itulah, mereka tak berhenti meliukkan tubuh sesuai irama musik. Tangan Dennis menarik turun kain berenda itu hingga jatuh di lantai. Dan dengan cepat, ia mendorong dua jarinya masuk. Tanpa aba-aba, ia langsung menggoyangkan tangannya dengan cepat, sangat cepat hingga sang wanita tak bisa menahan jeritan-jeritannya. Bahkan wanita itu berkali-kali hampir jatuh ke lantai karena tak tahan untuk sekadar menahan tubuhnya sendiri. “Akhhh!! Tuaaann!!” Urat-urat tangan Dennis tercetak jelas, terlihat dari lengan kemejanya yang tergulung hingga ke siku. Tangannya masih mengocok dengan kecepatan tinggi disertai dengan kekuatan penuh. Tiap kali wanita itu menjerit, ada kepuasan tersendiri bagi Dennis. Bahwa dari tangannya saja ia sudah mampu membuat sang wanita kelonjotan, terlebih jika menggunakan benda berharganya, yang ada di balik celana. Senyum licik muncul di wajah itu saat mendengar jeritan serta desahan sang wanita makin tak terkendali, saat itu jugalah Dennis menarik tangannya. Menghentikan segala gerakan yang ia beri pada wanita itu. Sang wanita dengan segera membalik tubuhnya, bersiap dengan posisi selanjutnya. Mengira jika Dennis akan segera menuntaskan kenikmatan yang harusnya ia dapatkan. Tapi, pria itu hanya menyodorkan dua jarinya—telunjuk dan jari tengah—ke mulut sang wanita. Dengan begitu senang hati segera disambut oleh wanita itu, merasakan sendiri bagaimana aroma serta sisa-sisa cairan miliknya yang menempel di jari Dennis. “Emmhh …,” lenguhnya. Usai menjilati dua jari Dennis, wanita itu berinisiatif untuk mengambil alih. Terlebih setelah melihat gelagat Dennis yang tak menunjukkan ketertarikan untuk segera memasukinya, maka ia segera berlutut di lantai. Berniat untuk memanjakan sesuatu yang terkurung di balik celana pria itu, dengan gerakan tangannya atau bahkan mulut. “Siapa yang menyuruhmu berlutut?” geram Dennis tak suka. Pria itu terbiasa memerintah, dan ketika sesuatu terjadi di luar perintahnya, jelas akan mengundang kekesalannya. “Ma-maaf, Tuan,” ujar wanita itu tergagap. Matanya menunjukkan pancaran rasa takut, sekaligus rasa tak terima karena kenikmatan yang tadi sudah hampir meledak dalam dirinya terpaksa harus diredam. Meski bagian inti tubuhnya tak berhenti menanti, tapi ia tahu bahwa tak selayaknya ia meminta. Ia hanya boleh meminta jika Dennis menyuruhnya untuk meminta. “Pergilah menari!” perintah Dennis. Dengan bibir sedikit mencebik, wanita itu melangkah dengan lesu, mendekati teman-temannya yang lain. Dan di detik berikutnya, ia langsung menari, meliukkan pinggul dengan gerakan-gerakan yang penuh hasutan, untuk menggoda Dennis. “Kau,” panggil Dennis. Ia menunjuk wanita lain. Sang wanita mendekat, sambil ia menari-nari kecil, dengan gerakan menggoda. “Duduklah di situ!” tunjuk Dennis pada meja. Wanita itu menurut, ia mendudukkan dirinya di atas meja. Langsung saja ia melebarkan paha wanita itu. Sontak, kain tipis yang menutupi bagian inti dari tubuh sang wanita ditarik oleh Dennis. Seolah begitu terburu-buru. Ah tidak, Dennis memang senang dengan permainannya yang menuntut. Ia tak suka bermain-main dengan ciuman atau sentuhan-sentuhan di area lain untuk menggiring sang wanita. Ia lebih suka langsung, meski terkadang wanita itu belum siap. Ia tak peduli, toh yang ia pikirkan adalah kesenangannya sendiri. Dan sebagai imbalan atas kesenangan yang ia dapatkan, ia memberikan bayaran. Atau terkadang menghadiahkan barang-barang bermerk pada wanita itu. Yah … meskipun hal ini hanya berlaku jika setelah one night stand, Dennis tertarik pada wanita itu. Seperti yang ia lakukan pada wanita sebelumnya, Dennis langsung menusukkan dua jarinya pada inti tubuh wanita yang bahkan tak menarik minatnya untuk sekadar bertanya siapa namanya. Tangan itu langsung mengocok dengan cepat, mendatangkan suara jeritan yang sama. Sama seperti suara jeritan wanita sebelumnya. Dan akan selalu sama. “Cih, sama saja.” Setelah melayangkan ucapan tersebut, Dennis menarik dua jarinya dari dalam tubuh sang wanita. Lalu ia memanggil wanita lainnya, melakukan hal serupa. Dan lagi, ia mendapati suara jeritan serupa. Bahkan hingga 5 wanita itu telah ia kocok bak sedang mengundi arisan, yang ia dapatkan masih sama. Tak ada sesuatu yang membuat ia merasa tertantang. “Membosankan,” ia melayangkan protes sambil menatap kesal pada Arnold. “Katanya kau membawa sesuatu yang menarik.” Setelah itu, ia berdiri. Meninggalkan Arnold yang belum selesai membalas ucapannya. “Yahh ….” Lima wanita itu, dengan bersamaan menyuarakan kekecewaannya. “Tenang, kalau dia tak mau memasuki kalian, masih ada aku,” ujarnya memberi solusi. Solusi yang sangat-sangat menyenangkan, khususnya untuk dirinya sendiri. “Emang kuat satu lawan lima?” tantang seorang wanita dengan berani. “Oh, meremehkanku?” balas Arnold tak suka. “Mau bertaruh?” wanita lain menimpali. “Siapa takut!” Arnold makin tertantang. “Apa untungnya kalau kami berhasil membuat Tuan Arnold …” seorang wanita mendekat, ia membelai dȧda Arnold. “… apa yang kami dapatkan jika berhasil membuat seorang Tuan Arnold yang tampan ini … KO?” Arnold tersenyum miring, “Apa yang kau inginkan?” “Kami menyukai uang, Tuan.” “Dan berapa banyak yang kalian inginkan, huh?” “1 M?” Seorang wanita bertanya, ia menatap temannya satu per satu. “1 M tiap wanita,” salah seorang menimpali. “DEAL!” ujar Arnold dengan begitu percaya diri. Yakin jika ia bisa memenangkan pertarungan 1 lawan 5 ini dengan mudah. “Sebaliknya, kalau kalian yang KO, kalian yang berhutang 5 Milyar padaku.” “Apa kami harus membayar dengan uang juga?” “Kami tak sekaya Tuan Arnold atau Tuan Dennis.” “Kami bekerja seperti ini karena tak punya uang.” “Hai cantik, mata dibayar dengan mata, nyawa dibayar dengan nyawa, dan uang sudah seharusnya dibayar dengan uang, bukan dibayar pakai șusu atau sélangkangan.” “Yaahh …,” balas wanita-wanita itu dengan kecewa. “Kenapa? Kalian takut? Kalian yang menantang, tapi kalian juga yang ingin mundur.” . . . Note: Pertarungan 1 vs 5 perlu ditayangkan atau gak nih? Btw, kucoba untuk mulai daily yah. Kucoba yah, kalo besok-besok otornya tekor dan mengangkat bendera putih, harap bersabar. Lope-lope buat kalian semuuwaahh
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD