2. Awal Mula Petaka

1193 Words
Beberapa jam lalu... “Nggak. Aku nggak mau! Pokoknya aku nggak mau!” “Naya! Kamu pikir di saat kayak gini kami minta pendapatmu untuk mau atau nggak?! Keluarga mereka udah nawarin diri untuk bantu kita! Jadi sebaiknya kita manfaatin seleluasa mungkin supaya semua keadaan sulit ini cepet selesai!” “Tapi aku nggak mau, Ayah! Kalaupun ada yang harus tanggungjawab atas kecelakaan itu dan rawat putra mereka, harusnya Rayya yang lakuin itu, bukan aku! Karena Rayya yang—” “Lo gila?! Lo mau gue yang ngerawat cowok lumpuh itu? Nggak! Enak saja! Yang bawa mobil lo, Naya! Jadi lo yang harusnya bertanggungjawab!” Rayya yang namanya Naya sebut langsung membantah bahkan tanpa menunggu Naya menyelesaikan kalimatnya terlebih dulu. Bola mata Naya membesar, dirinya tidak percaya Rayya dengan enteng bisa melimpahkan kesalahan padanya di saat seperti ini tanpa ada sedikitpun simpati. “Salah gue, lo bilang? Salah gue?! Berengsek! Kalau lo nggak mabok malem itu, gue nggak akan—” PLAK! “Berhenti maki anak saya dengan panggilan berengsek macam itu, anak kurang ajar!” Suara tamparan dan bentakkan itu menghentikan semua suara lain yang ada di ruangan itu sejenak. Dan ya, Naya-lah yang menerimanya. Naya-lah yang baru saja di tampar oleh ibu tirinya—Tami. Gadis muda itu memegang pipinya yang memerah, sempat terkejut memang, tapi kemudian raut wajahnya berubah begis dan menunjukan senyum sinis bercampur sarkas yang dia tunjukan di depan ibu tirinya itu terang-terangan. “Oh, sekarang sudah berani nampar saya? Bahkan di depan Ayah?” “Naya, jaga sikap kamu!” sang kepala keluarga menyahut, meski jelas Naya tidak akan memedulikannya. Gadis muda itu malah tersenyum tipis, senyum remeh yang jelas meremehkan keadaan dan situasi yang dihadapinya saat ini. “Tentu. Tentu aja Anda berani karena Anda merasa udah milikin semuanya, kan? Untuk apa Anda takut padahal Ayah jelas-jelas ada dipihak Anda.” Kekeh Naya, bergumam menertawakan dirinya sendiri yang baru sadar akan kekonyolan pada ucapannya sendiri sebelumnya. Gadis itu menunduk sesaat, sebelum kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan tajam. “Dan Anda pikir saya nggak bisa ngelakuin hal yang sama?!!” Tangan Naya sudah terangkat, berniat membalas apa yang baru saja diterimanya. “Berhenti!” Sial, Naya kalah cepat dengan sang Ayah yang mencengkram tangannya kuat, bahkan melotot untuk memberikan efek takut pada Naya. Sayangnya, bagi Naya seluruh wibawa ayahnya sudah menghilang dari matanya sejak lama, maka tatapan atau pelototan macam itu sudah tidak mempan lagi untuknya. “Berhenti atau Ayah akan lakuin hal yang sama ke kamu, Naya!” Gadis muda itu terkekeh menepis pegangan tangan sang Ayah di pergelangan tangannya. Mengalihkan pandangan dari semua wajah di ruangan itu yang bisa-bisa membuatnya tertawa terbahak jika ia terus memandang mereka. Karena bagi Naya situasi ini lucu, benar-benar lucu dan menggelikan hingga Naya muak rasanya. Gadis muda itu kemudian membalikkan tubuhnya, menyambar tas kuliah yang tergeletak di sofa karena Rayya menariknya saat Naya akan berangkat ke kampus tadi hingga dirinya tertahan di sana dan terlibat pembicaraan konyol ini. Kali ini Naya benar-benar bermaksud pergi—pergi meninggalkan kekacauan ini sejenak sebelum harus berdamai dengan dirinya lagi dan kembali pulang lantas bersikap bahwa semuanya tidak pernah terjadi. Berpura-pura kalau semuanya akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Yah, selama ini memang itu yang harus dilakukannya berulang, kan? Karena yang bertanggungjawab atas kesehatan mentalnya jelas hanya dirinya sendiri. “Aku nggak mau, pokoknya aku nggak mau. Jadi silakan Ayah bilang apa pun sama mereka kalau mereka memang datang ke sini, karena aku jelas nggak akan lakuin apa yang mereka dan Ayah mau. Aku nggak akan per—” “Kalau begitu keluar dari rumah ini sama Kevin. Bawa dia dan jangan minta sepersen pun dari Ayah. Termasuk tempat tinggal, uang saku maupun biaya pendidikan kalian. Kalau kamu merasa bisa melakukannya silakan tinggalin rumah ini, dan kamu nggak harus menerima permintaan itu. Kamu bisa beritngkah bebas seperti yang kamu mau selama ini.” Ucapan itu tentu menghentikan langkah Naya, langkah Naya yang semula terlihat yakin dia ambil. Tapi ketika nama Kevin disebut, Naya jelas tidak bisa melakukannya lagi. Tidak lagi karena Naya belum bisa bertanggungjawab pada adik bungsunya yang spesial itu seorang diri. Naya belum bisa. Kerumitan ini semua karena kejadian itu, karena kejadian malam itu yang seharusnya tidak terjadi. *** Malam itu, malam kecelakaan beberapa hari lalu... “Jangan Rayya! Nggak! JANGAN BEGINI, KITA BISA DALAM BAHAYA!” “BERENGSEK! LO SAMA AYAH LO ITU BERENGSEK, NAY! SETELAH NIKAH SAMA NYOKAP GUE, BUKANNYA BIKIN BAHAGIA, AYAH LO MALAH BANGKRUT DAN NYUSAHIN KITA SEMUA! KALIAN ITU BERENGSEK! BERENGSEK POKOKNYA!” Masih dalam kesadarannya yang hampir hilang, Rayya terus berusaha mengganggu Naya yang sedang menyetir. Malam memang sudah larut, dan jalanan sudah mulai bahkan memang benar-benar sepi. Tapi tetap saja, jika Rayya mengganggu Naya yang sedang mengemudi seperti ini jelas mereka bisa-bisa dalam bahaya. “RAYYA! GUE BILANG BERHENTI DAN DUDUK DI KURSI LO YANG BENER! LO MAU KITA MATI SAMA-SAMA DI SINI, HAH?” “Biar aja... BIAR AJA KITA MATI! Toh Ayah lo juga udah bangkrut! Bahkan mobil ini nggak lama lagi bakal disita bank dan kita bakal jadi MISKIN! Dari pada gue malu jadi miskin dan teman-teman gue tahu soal itu, lebih baik gue mati! LEBIH BAIK MATI! AYO KITA MATI, AYO KITA MATI SAMA-SAMA!” Rayya berteriak di samping Naya, menarik tangan Naya yang sedang berusaha mempertahankan kemudinya agar tidak terpengaruh oleh gerakan wanita di sampingnya itu. Tapi sebagaimana pun Naya berusaha, kalau Rayya tetap menganggunya seperti ini jelas posisi mereka sama-sama berbahaya. Apalagi sudah beberapa kali mobil yang mereka tumpangi oleng kesana-kemari, membuat laju mobil tidak stabil dan membahayakan apa pun yang ada di dekatnya. “Jangan gila! Kalau lo mau mati, mati aja sendiri! Jangan ngajak-ngajak gue atas tindakan konyol lo macam ini! Nggak kayak lo! Gue masih ada Kevin yang harus gue jagain!” Naya berusaha mengambil kembali kemudi sepenuhnya dengan mendorong Rayya sekuat tenaga. Sialnya, bersamaan dengan itu dan niatan Naya untuk meminggirkan mobil dan berhenti lantas mengeluarkan Rayya dari mobilnya, serta meninggalkan wanita itu sendiri di luar sana harus terlambat karena ada sebuah truk yang melaju dari arah berlawanan. Tentu saja Naya membuang stir untuk menghindari tabrakan seperti yang mereka bicarakan sebelumnya terjadi. Dan ya, Naya memang berhasil menghindari truk itu dan melewatinya dengan aman hingga mobil yang dikendarainya berhenti meski dengan decitan kasar dan keras. Tanda bahwa mobil itu dipaksa dan terpaksa untuk berhenti mendadak di tengah lajunya yang cukup kencang. Jantung Naya berdegup kencang, begitupun Rayya yang akhirnya berhenti mengoceh dan berpegangan kuat pada handle grip mobil di sampingnya. Deru napas mereka yang terdengar di dalam mobil itu cukup keras, tanda bahwa keduanya sama-sama shock karena kejadian barusan. Naya masih menunduk, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya ketika detik selanjutnya yang Naya dengar adalah suara benturan dan tabrakan keras yang terjadi beberapa puluh meter dari posisi mobilnya berhenti. Detik itu juga kepala Naya berputar cepat, menoleh ke belakangan dan mendapati bahwa truk yang tadi berhasil di lewatinya ternyata terguling melintang di jalan raya dengan satu mobil pribadi yang ringsek di dekatnya. Mati. Naya merasakan seluruh indra di tubuhnya mati untuk beberapa detik yang terbuang. Mereka mungkin berhasil menyelamatkan nyawa mereka dari peristiwa mengerikan barusan, tapi justru membuat orang lain kini menjadi korbannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD