BAB 2

917 Words
Luna             Aku mengerjap beberapa kali, mengangkat tubuh dan duduk di tepi ranjang. Rambutku mencuat kemana-mana tanpa bisa dikendalikan. Ponselku berdering. Devon menelponku. Aku memilih mengabaikan panggilannya, tapi ponsel itu terus-terusan berdering.             “Halo,” jawabku akhirnya setelah mengabaikan tiga panggilan dari Devon.             “Sayang,” panggilnya lembut. Ya Tuhan, aku tidak bisa mendengarnya memanggilku dengan panggilan ‘sayang’ itu sama saja dengan memintaku kembali memeluknya. Dan aku tidak bisa menolak untuk kembali ke pelukannya.             “Devon, kau tidak mengabariku selama berhari-hari dan tiba-tiba kau menelponku.”             “Sayang, dengarkan aku, walaupun aku sekarang bersama Carrie tapi kau tetap yang pertama bagiku, Luna.” Aku kembali merasakan getaran di d**a. Dia pikir aku senang dengan menjadi yang pertama di balik hubungannya dengan Carrie saat ini.             “Dev—“                                                                       “Aku mencintaimu,” sela Devon. Suaranya yang berat namun lembut begitu menusuk ke bagian sudut hatiku. Dua tahun bagiku adalah waktu yang cukup lama dalam menjalin hubungan dengan seorang pria.             “Aku selalu mencintaimu, Luna.”             Aku tertawa kecil. Tawa getir. “Cintamu hanya di mulut, Dev. Kau tak mencintaiku sungguh-sungguh.” Kataku ironi.             “Aku tidak menolak perjodohan dengan Carrie karena aku akan dicoret dari daftar warisan kakekku.” Ucap Devon dengan nada menyesal.             “Kau bisa mencari pekerjaan tanpa biaya dari orang tuamu dan warisan kakekmu.” Selama ini Devon hidup dengan biaya orang tuanya, maksduku, dia bekerja sebagai salah satu staf di perusahaan orang tuanya. Kau tahu, Devon bekerja sesuka hatinya. Dia selalu mendapatkan gaji buta.             “Aku tidak suka bekerja pada orang lain, sayang.”             “Bisakah kau berhenti memanggilku dengan ‘sayang’?” Tuntutku.             Hening.             Keheningan yang kaku dan mencekam membuatku—untuk sesaat menyesali ucapanku.             “Aku tidak bisa. Kau kekasihku, Luna. Nanti malam aku akan ke rumahmu. Jangan kemana-mana, okay.”             Devon mematikan panggilan secara sepihak tanpa menunggu jawabanku. Aku mendesah lelah. Kalau Carrie tahu aku masih berhubungan dengan Devon, dia pasti akan menamparku. Ya, wanita itu kejam. Dia temperamen dan anehnya, Shawn selalu memuja Carrie. Bahkan dia berniat menikahiku karena rasa sakit hatinya kepada Carrie.             Aku berjalan ke dapur, mencari kopi instan dan menakarnya dengan air panas. Sejujurnya, aku tidak suka dengan keramaian London. Aku tidak suka kota-kota besar yang memiliki penduduk padat merayap. ***             Sesampainya di kantor, aku kembali memesan kopi pada salah satu office girl. Namanya Anna. Dia seorang office girl yang terlalu percaya diri. Memiliki tubuh semolek Kim Kardashian membuatnya berani tampil di depan para pria. Rambut gelombangnya selalu dibiarkan terurai rapi.             “Kopi tanpa gula?” tanyanya dengan mata yang selalu berbinar cerah.             “Sedikit gula.” Kataku seraya tersenyum tipis.             “Ok!” Anna melesat pergi. Meskipun aku adalah seorang manajer keuangan di lini perusahaan milik Shawn, tapi aku selalu merangkul seluruh bawahanku. Aku tidak pernah menyombongkan diri dengan jabatanku saat ini. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal dekat denganku mereka pasti akan menyangka kalau aku sombong. Padahal aku sama sekali bukan orang seperti itu. Aku hanya tidak terlalu suka bergosip.             “Hai,” Aku mendongak, terkesiap melihat Shawn muncul di depanku secara ajaib. Apa aku terlalu fokus pada file yang bertumpuk di atas meja atau Shawn memang punya kekuatan muncul tiba-tiba.             “Shawn—“ kataku kikuk. “Maksudku, Presdir.”             Shawn melepaskan jasnya dan meletakkannya di senderan kursi. Dia masih berdiri, menatapku yang sedang terpaku menatap bagian dadanya yang bidang meskipun tertutup kemeja putihnya yang tipis dan...             Shawn membungkuk, kepalanya terulur pada wajahku membuat wajahku memanas dan merona.“Bisa sarapan denganku?” matanya menatap, menarik dan menerkam.             “Aku sudah sarapan,” Jawabku, menunduk dan berpura-pura sibuk dengan tumpukan berkas.             “Aku belum.”             “Kau bisa sarapan sendiri.” kataku dingin tanpa menatap matanya.             “Ya, tapi, aku butuh seseorang untuk menemaniku sarapan.”             Aku bangkit dari kursi dan mengambil beberapa berkas. Shawn mengambil kesempatan duduk di kursiku. Dia duduk layaknya bos yang berhak memerintah siapa pun. “Shawn,” ucapku dengan tatapan menegur.             Shawn mengangkat bahu tak peduli. “Aku akan duduk di sini sampai kau setuju untuk menemaniku sarapan.” Katanya seraya menyengir.             “Kau bisa menelpon salah satu w***********g peliharaanmu dan memintanya menamanimu, Presdir.” Kataku ketus. Aku menyilangkan tangan di atas perut.             “Hei, kau calon istriku, tidak boleh seperti itu.” ujarnya dengan ekspresi manja yang menggelikan.             Aku meletakkan berkas tadi ke atas meja, menatap Shawn dengan tatapan tidak suka dan menghampirinya. “Aku bisa membatalkan perjanjian pernikahan kalau kau bertingkah seperti ini.” Ancamku. Shawn terdiam, menatapku dalam seakan mencari sesuatu di sana. Lalu, dia tertawa.             “Aku suka itu,” dia berujar dengan nada b*******h.             “Aku tidak mengerti apa maksudmu?”             Shawn meraih pinggulku, menekannya erat dan menariknya hingga aku kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas tubuhnya yang sedang duduk di kursiku. Dadaku berdebar hebat dan napasku memburu. Wajah kami begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma napas Shawn yang lapar. Dia akan menerkamku.             “Oh my God!” suara Anna membangunkan aku dan Shawn dari tatapan mata kami yang saling terkunci.             “A-anna...” aku berkata gugup dan langsung menarik diri dari Shawn. Shawn tampak santai seakan apa yang dilihat Anna bukanlah masalah.             “Anna, ini... tidak seperti yang kaulihat.” Aku mencoba meyakinkan Anna dengan nada frustrasi.             “Ma’af, aku pergi lagi.” Anna melesat pergi ketakutan seolah dia menyesal karena menggangu aku dan Shawn yang sedang bersenang-senang.             Masalahnya adalah posisiku di atas tubuh Shawn dan Anne melihat itu, Anne pasti mengira kalau akulah yang menggoda Shawn. Kedua sudut bibir Shawn tertarik ke atas membentuk kurva senyuman. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD