Chapter 2

930 Words
Hello, welcome back to my story! And enjoy the reading . "Arka Bintang Reftara!" Deretan kata yang membuat sang empunya nama langsung bereaksi untuk menghentikan langkahnya. Ia menoleh. "Apa?" tanyanya cepat. Kelly--si biang keladi, hanya memamerkan cengiran khasnya. Sudah bisa tertebak kalimat apa yang akan segera meluncur dari mulutnya. "He-he ... engga papa, kok. Cuma manggil doang." Oh, s**t! "Are you crazy, Kel? I'm in a hurry. If it's not important for what you are calling me?" sembur Arka kesal. Benar-benar, Kelly sudah mengganggu waktu singkatnya. "Gue kan cuma manggil, Ka. Masa gak boleh, sih?" Arka menghela napas. Ia harus bersabar jika berhadapan dengan sikap kekanakan pramugari di depannya ini. "Bukannya gak boleh. Tapi, ya-- come on, sikonnya gak tepat, Kel. Gue harus take off sepuluh menit dari sekarang. Gak ada waktu lagi buat ladenin lo." "Cuma manggil, Ka." "I know, but time is my responsibility. I cannot be negligent!" kesal Arka. Kelly menunduk seraya mengumamkan kata maaf. Arka sensian sekali. Seperti dipercikan api kesadaran, Arka menyadari reaksinya yang sedikit berlebihan. Ia menatap Kelly, pramugari itu masih tampak menunduk merutuki kesalahannya. "It's okay." Tangannya terjulur mengelus rambut Kelly. "But don't repeat it next time. Um?" Kepala Kelly langsung mendongak, binar keceriaan kembali terpancar dari matanya. "Um, i'm promise!" Arka mengangguk. Baik, sekarang ini ia tak lagi mempunyai banyak waktu. Ia sudah terlambat, dan benar-benar akan terlambat jika tak segera meneruskan langkahnya. "Kalau gitu gue persiapan dulu, ya, Kel." Perempuan berseragam pramugari yang kini telah melapisi seragamnya itu dengan sebuah jaket, mengerjapkan mata. "Sekarang?" "Iya." Tanpa diperintah, tangan Kelly refleks menyodorkan sebuah botol kecil berisikan minyak angin pada Arka. "Apa?" "Buat lo. Kalau masuk angin, jangan dikerok. Kasian kulitnya." Arka malah tertawa. Dari mana perempuan ini tahu rutinitas tersembunyinya? "Jadi, lo pernah ngitipin gue?" selidiknya. Kelly mendesis. "Mana ada! Udah, nih." Ia mengepalkan botol kecil itu ke tangan Arka, lalu didorongnya bahu lelaki itu untuk segera menjauh. "Buruan sana! Diamuk penumpang tau rasa lo." Arka tersenyum. "Yang sering ngamuk bukannya lo?" "Buruan!" Arka mengangguk. Mengikuti saran Kelly, ia langsung berlari menuju pesawat yang sudah berbaris menunggu antrean tinggal landas di holding bay. . . "Astagfirullah! Maaf Ma, maaf. Reina gak lihat." Perempuan paruh baya yang sedari tadi bersama Reina pun menggeleng. Jika tak cepat tanggap, sudah bisa dipastikan tangan putrinya akan tersiram minyak panas. "Jalannya hati-hati dong, Kak. Gimana kalau Mama tadi gak sigap? Mau tanganmu kesiram minyak panas?" Reina tersenyum, lebih tepatnya meringis. Tidak mau membayangkan tangannya yang melepuh, terbakar. "Lagian, kamu kenapa? Mama perhatiin akhir-akhir ini tuh sikapmu beda. Ada masalah?" Sang mama mengintimidasi. Gerak-gerik Reina memang terlihat sekali sedang gugup, seperti menyembunyikan sesuatu. "Ah, engga. Itu, anu--" "Anu? Anu apa?" Reina jelas bimbang. Cerita atau engga? "Hmm ..., itu--" Mama Reina berdecak pelan, putrinya pasti akan terbata jika ingin menceritakan suatu hal serius padanya. "Ayo, Kak." "Ehmm ... itu, Ma. Rei--" "Rei apa?" Sang mama sungguh tidak sabaran, terakhir kali Reina terbata saat menceritakan tentang bekukannya yang seram mengalahkan gangster. "Kenapa?" "Rei ketemu Arka," kata Reina sambil memejamkan mata. Sang mama mencoba menajamkan indra. "Hah? Apa? Siapa, Kak?" "Arka." "Arka Bintang?" Mama Reina membelalakan mata. Setelah sekian lama, akhirnya ia mendengar nama anak itu lagi. Reina mengangguk. Tak heran akan reaksi sang mama. Toh, kemarin juga ia seperti itu. "Ketemu di mana?" Ah, pasti ribet! "Di bandara." "Loh, ngapain? Dia pindah?" cecar sang mama, dibalas Reina dengan gelengan. "Bukan. Arka pilot." Menganga. Putrinya pasti sedang membual, bukan? Arka? Anak itu seorang pilot? "Ah, Kak, yang bener dong. Kamu lagi bohongin Mama nih pasti." "Ya Allah, ngapain juga Reina bohong. Gak ada untungnya." Mama Reina mengangguk. Benar juga. Tidak ada untungnya Reina berbohong tentang hal itu padanya. "Tapi, kok bisa ya Arka jadi pilot," gumam sang mama lebih ke pada dirinya sendiri. "Mana Reina tau. Mungkin, udah takdirnya kali." Reina lantas dipandang lekat. Ini kah harinya? "Kak, tau gak?" Reina menoleh, lalu menggeleng. "Engga." "Ish, jangan dipotong dulu!" Okey, Reina diam. "Kamu tau kan kalau Arka itu takut ketinggian?" sang mama mencoba menjelaskan. Reina mengangguk. "Rei, malah yang sering memprovokasi dia biar lebih berani." Teringat Arka kecil yang ketakutan setengah mati saat disuruh memanjat pohon, ia tersenyum. "Nah, terus kamu tau kan kalau dia itu paling benci sama yang namanya naik pesawat?" Mengangguk. Lagi-lagi Reina membenarkan ucapan sang mama. Arka memang tidak berani menaiki pesawat. Walau pesawat itu sendiri pun tidak sedang mengudara. "Rei juga malah yang nakut-nakutin dia kalau dia benci pesawat, dia gak akan bisa kejar Rei, seandainya Rei pergi jauh," kenangnya. "Kalau kamu benci pesawat, gimana mau ngejar Rei, seandainya pergi jauh?" "Kamu gak akan ke mana-mana." "Misal." "Ya, Arka susul pakai mobil atau kapal laut." "Gak akan sampai, kalau dari awal kita gak satu tujuan." Binar kesedihan terpancar jelas dari mata Reina. Sang mama tersenyum. Putrinya pasti rindu sosok sahabatnya itu. "Kak?" "Hmm?" "Selamat, Sayang." Ia memeluk tubuh putrinya erat. "Arka sudah berhasil menepati janjinya sama kamu." Reina yang tadinya melow, mendadak tegang dipeluk secara tiba-tiba oleh sang mama. Mama kenapa? "Mama kenapa, sih? Jangan aneh-aneh, deh." Mama Reina melepaskan rengkuhan. Menatap manik mata putrinya lekat. "Kamu tau? Dulu tanpa sepengetahuan kamu, Arka tuh pernah janji." Reina mengangguk, menunggu. "Janji dengan sorakan bahwa ia akan terus jaga kamu. Buat kamu bahagia itu lebih penting dari sepuluh kontainer roti s**u, katanya." Sang mama tertawa. "Dulu mama pikir dia cuma bercanda. Tapi, see? Dia menepati janjinya, Sayang. Mama sangat merestui kalian, Nak." Mama Reina kembali memeluk tubuh putrinya sesaat, lalu menitikan air mata. "Mama kok nangis?" Reina panik. "Ma, tolong deh, Ma. Tadi aja otak Rei tuh belum sampai buat nerjemah setiap kata yang keluar dari mulut Mama. Sekarang malah nangis." Mama Reina menangis dengan bibir yang menyunggingkan tawa. "Gak usah diterjemah, Kak. Berat, itu tugas mama." "Itu Dilan, Ma. Serius deh, kok mainnya mau rahasia-rahasiaan begitu?" Mama Reina memandangi raut penasaran dari wajah putrinya, menepuk-nepuk bahunya pelan. "Sabar." "Yang gak sabar orang jelek," lanjutnya lalu melenggang pergi meninggalkan Reina. Reina tercengang. Mama Rei kenapa, Ya Allah? Udah ngomong dan kelakuannya gak jelas. Pake ngatain Rei pula. ▪▪▪ "Nasib-nasib." Chorim, Vote love and comments are free, not paid, let alone owed haha, thanks
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD