CRASHING ON ROYAL PRINCESS -ONE NIGHT STAND

2379 Words
Enbabia infused, 11.00 p.m. Madrid-Spanyol. Pria bernama Edwin Cyrus itu masih setia duduk di kursinya setelah rapat dengan beberapa koleganya lima menit yang lalu. Edwin baru saja menghubungi atasannya, Brooklyn Montano, mengatakan kepada bosnya kalau semua berjalan lancar. Perwakilan mafia dari Madrid menyetujui kerjasama yang ia ajukan untuk membeli sekian banyak senjata yang dibutuhkan oleh anak buah mereka. Dalam kasus ini, Edwin selalu berhasil meyakinkan partner kerjanya. Ia memiliki kemampuan khusus menarik perhatian sekelompk orang. Itulah kelebihannya. Untung saja Brook menyukai kelebihannya itu. Dan satu lagi, Edwin tidak hanya mampu membuat sekelompok orang tertarik dengan setiap produk yang ia tawarkan. Dia juga memiliki kemampuan menarik lawan jenisnya. Malam ini, petualangan baru akan dimulai. Dua bodyguard yang berjaga di pintu segera bersiap saat Edwin bangkit. Kedua pria dengan perawakan tinggi dan tegap serta pakaian serba hitam layaknya ajudan itu menyingkir dari pintu saat Edwin mulai keluar. Seperti biasa, Edwin tidak terlalu suka diawasi dari dekat, jadi mereka memilih tetap berdiri tegak dan melihat bos mereka berjalan-jalan. Sesekali kedua ajudan itu menyempatkan diri untuk melirik wanita-wanita yang berlalu lalang hanya dengan mengenakan pakaian minim. Edwin berhenti di meja bar, memesan cocktail kepada bartender dan mulai melirik wanita yang mungkin bisa memuaskannya malam ini. Sejenak, Edwin menyesap minuman beralkohol itu. Malam ini tidak ada yang menarik perhatiannya sama sekali. Sepertinya Edwin mulai bosan dengan kehidupan malamnya. Dua orang kupu-kupu malam telah menghampiri mereka. Edwin menepis keduanya karena alasan yang tidak jelas. Padahal biasanya ia selalu senang hati menghabiskan uangnya untuk kencang satu malam bersama wanita acak yang dipilihnya. Cocktailnya habis. Edwin memutuskan duduk sejenak dan memesan satu sloki lagi. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuknya jika ia tidak segera menemukan solusi bagi hasratnya, Biasanya Edwin akan dengan mudah memilih wanita, tetapi sekarang sepertinya ia sedikit kesulitan. Lima belas menit berlalu. Edwin mulai bosan. Tidak ada yang menarik perhatiannya sama sekali. Entah sudah berapa banyak wanita malam yang ditolaknya mentah-mentah. Satu-dua dari mereka bahkan mengumpat kasar padanya. Edwin hanya tersenyum miring. Mereka tak ubahnya seperti pengemis di jalanan yang tidak diberi uang. Edwin menyerah. Ini pertama kalinya dalam sejarah ia tidak berselera dengan wanita penghibur. Pria itu akhirnya memutuskan berdiri dan melangkah keluar. Edwin memberi kode kepada dua ajudannya untuk menunggu karena ia hendak buang air. Untungnya jarak toilet dengan meja bartender tidak terlalu jauh. Segera setelah ia kembali dari toilet, Edwin berjalan menuju pintu keluar. Butuh beberapa saat untuk mencapai pintu keluar. Edwin memimpin di depan kedua pengawalnya. Dua pria itu selalu tahu apa yang harus mereka lakukan. Dan saat Edwin berhenti karena seorang wanita tidak sengaja menabraknya, kedua ajudannya itu juga berhenti, jarak mereka lumayan jauh. Namun kedua pengawal itu bisa memperkirakan apa yang sedang Edwin dan wanita asing itu bicarakan. “Opsss…” sang wanita tampak biasa saja saat melihat Edwin tertabrak. Padahal, Edwin sudah berdeham dan memasang tampang arogannya. “Maaf.” Wanita itu memakai kaca mata hitam lebar yang hampir menutupi sebagian besar wajahnya. “Hanya maaf?” ucap Edwin serak. “Lalu?” wanita itu tampak mengerutkan keningnya. Rambut pirangnya yang bergelombang bergerak-gerak indah saat ia bergerak. “Oh,” wanita asing itu menahan tawanya. “Astaga, maaf aku sama sekali tidak sopan. Aku terlalu bahagia. Aduh, bagaimana menjelaskannya padamu. Aku baru saja merayakan pesta kecil-kecilan dengan sahabat-sahabatku. Aku  melupakan ponselku dan baru saja mengambilnya dari room. Aku tidak melihatmu karena buru-buru mengejar temanku-temanku. Mereka sekarang berada di luar. Sekali lagi aku minta maaf.” Ucap wanita itu lembut. Suara itu menghipnotis Edwin. Rambut pirangnya yang bergelombang, serta kerutan kening wanita itu menciptakan rasa penasaran yang begitu besar di benak Edwin. Dengan suara yang dibuat setenang mungkin, Edwin mulai menanggapi. “A-“ baru saja Edwin hendak mengatakan sesuatu, ponsel wanita itu bergetar di tangannya. Wanita itu segera mengangkat tangan dan menyuruh Edwin untuk diam sebentar. “Hallo?” ucapnya seraya menutup satu telinga dengan tas jinjing. “Apa? Laura sudah pulang? Dengan Bradd? Zen juga?” wanita itu mengerucutkan bibirnya. Ia tampak kesal. Kali ini Edwin menemukan wanita yang berhasil menarik perhatiannya. “Aku akan segera ke sana. Tunggu se-“ “Kalian sudah dalam perjalanan pulang? Astaga! Teganya kalian meninggalkanku!” wanita itu benar-benar kesal sekarang. Meski tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, Edwin bisa memastikan kalau wajahnya pasti sangat lucu di balik kaca mata besarnya. Setelah lengang sekitar satu menit karena wanita itu mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya, akhirnya sang wanita kembali fokus pada Edwin. “Sampai di mana kita?” tanya wanita yang belum diketahui namanya itu. “Kau mau pulang?” tanya Edwin sopan. Meskipun terlihat berantakan, insting Edwin mengatakan kalau wanita di hadapannya bukan wanita sembarangan. “Begitulah.” “Aku akan mengantarmu.” Usul Edwin. Wanita itu menggeleng cepat.”Oh, tidak perlu. Temanku meninggalkan mobilnya. Aku bisa pulang dengan mobil temanku.” Dan wanita itu bersiap pergi. “Kuharap kau tidak lupa kalau beberapa menit yang lalu kau menabrakku.” Wanita itu terdiam. Ia lalu menelengkan kepalanya, menelisik tubuh bagian depan Edwin dan kepalanya. “Apa kau terluka?” Kali ini Edwin yang menggeleng tegas. “Tentu saja tidak.” “Kalau begitu tidak masalah.” Sang wanita mengedikkan bahu, acuh. “Kau tidak bisa pergi begitu saja. Atau…” Edwin menarik tangan sang wanita. “Atau apa? Kau mau mengancamku? Maaf aku dididik untuk tidak takut dengan ancaman.” Ucap wanita itu angkuh. “Tidak. Aku juga tidak suka mengancam atau menggertak. Hanya saja, kalau kau tidak mau meminta maaf secara baik-baik denganku, aku akan mengikutimu sampai ke rumahmu. Aku dan dua orang itu.” Edwin sedikit berbalik agar wanita itu bisa melihat kedua bodyguardnya. Wanita itu melirik sekilas ke belakang Edwin. “Siapa kau sebenarnya?” tanyanya. “Namaku Edwin Cyrus. Aku hanya pesuruh. Aku datang dari New York karena tugas yang harus kuselesaikan di sini.” Wanita itu mendengus keras. “Apa sebenarnya maumu?” “Aku akan berhenti mengganggumu kalau kau mau menemani aku minum. Kebetulan aku tidak menemukan partner yang bagus malam ini.” “Hanya minum?” tanya wanita itu penuh selidik. “Hanya minum.” Jawab Edwin lengkap dengan seriangaian khasnya. ** Lima menit kemudian, Edwin dan sang wanita yang belum diketahui namanya itu telah duduk di sebuah ruangan VVIP di club malam itu. Edwin sengaja memilih ruangan yang dilengkapi dengan kamar tidur.Tujuannya tak lain adalah ingin cepat-cepat membawa wanita angkuh itu ke ranjang dan… “Apa pekerjaanmu? Kenapa kau jauh-jauh datang ke Negara ini?” suara wanita itu memutus imajinasi nakal Edwin. “Siapa namamu?” bukannya menjawab pertanyaan sang wanita, Edwin justru bertanya pada sang wanita. “Kau belum menjawab pertanyaanku.” “Kau dulu.” Rambut panjang sang wanita terjatuh di bahunya. Tangan kanannya terangkat untuk mengambil kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Edwin melihat dengan seksama bentuk wajah wanita di hadapannya. Bibir penuh, tatapan mata tajam, alis tegas serta tulang pipi menonjol. “Namaku Elle.” Ucap sang wanita itu sopan. Bisa dibilang terlampau sopan.  “Aku tidak punya pekerjaan tetap. Aku hanya orang kepercayaan bosku.” “Oh.” Wanita bernama Ellw itu tampak acuh. Elle mengambil gelas di meja lalu menuang wiski. Malam ini tanpa sepengatahuan Edwin, sejujurnya Elle sudah meminum banyak sekali minuman beralkohol. Bisa dibilang ia hampir mabuk sekarang. “Apa kau di sini dengan pasanganmu?” tanya Edwin penuh selidik. Elle menggeleng pelan. “Aku datang bersama teman-temanku. Kami menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membahas tentang pernikahan temanku yang akan diadakan bulan depan.” Edwin mengangguk-angguk. “Oh.” “Bagaimana denganmu?” “Aku?” Edwin mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian ia mulai paham.”Aku datang sendiri.” “Dan kau tidak menemukan teman kencang satu malammu?” Kekehan kecil Edwin terdengar seksi di telinga Elle. Diam-diam Elle melirik Edwin yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti. “Kau bisa membaca pikiran seseorang?” “Aku hanya menebak.” Elle mengedikkan bahu. “Kalau begitu tebakanmu benar.” Elle tersenyum miring. Jarak antara dirinya dan Edwin terbilang lumayan jauh. Seharusnya ia tidak merasa sepanas ini melihat tatapan pria itu. Namun, ternyata Elle tidak bisa mengabaikan begitu saja sikap Edwin padanya.Padahal ia tahu betul pria macam apa Edwin itu. “Sudah kuduga.” Elle mengambil lagi gelas whiskinya. “Kau bisa mabuk jika tidak berhenti minum sekarang juga.” Tegur Edwin. “Aku? Jangan terlalu memikirkan diriku. Aku tetap bisa pulang dalam keadaan mabuk berat.” “Oh, ya?” Edwin beranjak dan mulai duduk di sisi Elle. “Bagaimana caranya?” Elle mengerutkan kening saat melihat pria bernama Edwin mulai berani mendekatinya. “Aku bisa memesan transportasi online. Kenapa kau tidak minum?” Elle menuang sebanyak mungkin whisky ke dalam gelas dan menyodorkannya ke bibir Edwin. “Kau mengajakku minum. Habiskan ini!” ucapnya seraya mendorong gelas tersebut ke mulut Edwin. Edwin tersenyum miring melihat hal itu. Dengan senang hati ia meneguk alcohol itu hingga tandas. Setelah itu Edwin meraih tangan Elle dan mengambil gelas dari tangannya. “Kau tidak takut aku mabuk?” Elle menggeleng tegas. “Tidak. Kenapa harus takut.” “Aku bisa  berbuat layaknya binatang saat mabuk.” “Itu bagus.” Tatapan mereka beradu. “Aku bisa segera pergi setelah kau mabuk.” “Kau akan menyesalinya.” Lagi-lagi kening Edwin mengkerut. “Menyesal?” Bukannya menjawab pertanyaan Elle, Edwin justru mengambil gelas milik wanita itu dan mengisinya dengan es lalu menuang lebih banyak whisky. “Bagaimana jika kita mabuk bersama?” Elle menahan napas saat Edwin menyodorkan gelas ke mulutnya. Sebenarnya tidak masalah jika malam ini ia mabuk. Selama besok ia bangun pagi. Setidaknya itulah tugasnya. Bangun pagi. “Tawaran yang menarik.” Elle mendekatkan gelas itu ke mulutnya dan meneguk whisky hingga tandas. Senyum Edwin mengembang. Gelasnya kini sudah kosong. Hanya tinggal beberapa balok es yang tersisa di sana. Edwin mengambil es tersebut dan menggenggamnya dengan tangan. Elle mengerutkan keningnya lagi. “Giliranmu.” Ucap Elle serak. Edwin membuang dua buah balok es, menyisakan satu yang langsung dimasukkan ke mulutnya. Setelah itu ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Elle dan mencium wanita tersebut. Sebelumnya ia sempat berkata. “Giliran kita.” Edwin pikir, bibir Elle tidak akan terasa semanis ini, kenyataannya ia salah besar. Elle jauh berbeda dari apa yang pernah dibayangkan sebelumnya. Wanita yang sepertinya acuh itu terasa sangat manis di mulutnya. Edwin mendorong es yang mulai mencair di mulutnya dengan lidah dan mulai menyesap bibir bawah Elle. Reaksi Elle juga jauh dari perkiraannya. Semula Edwin mengira Elle akan menerima perlakuan anehnya. Namun Elle terkejut bukan main hingga hampir terjatuh ke belakang dan Edwin terpaksa memegangi punggungnya. Edwin semakin menyesap bibir Elle saat deru napas wanita itu menerpa wajahnya, sementara itu Elle sama sekali tidak bereaksi.Hanya diam seolah sedang menikmati es yang mulai mencair. Edwin belum ingin berhenti. Namun ia bisa mati jika kehabisan napas. Dengan sangat terpaksa Edwin melepas pagutan bibir mereka, mengambil napas beberapa kali dan siap menerkam Elle lagi. Namun sebelum ia berhasil mencapai tujuannya, Elle lebih dulu mendorong dadanya. “Cukup.” “Aku tidak akan berhenti.” “Ingat, kesepaktan kita hanya minum. Tidak lebih.” Elle menepis tangan Edwin yang siap memerangkapnya lagi lalu menuang gelas dengan whisky hingga penuh. “Giliranmu.” Elle menyodorkan gelas tersebut dan langsung diterima oleh Edwin. Sekilas Edwin memandang isi gelas dalam genggamannya lalu meneguk isi gelas tersebut hingga tandas. Setelah itu ia kembali menuang whisky hingga penuh dan memberikannya pada Elle. Namun Elle justru menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak bisa minum lagi.” ucap wanita itu tegas. “Kenapa? Kau harus menemaniku.” “Hanya menemani. Lagipula aku sudah minum banyak sekali.” “Tidak bisa begitu. Begini peraturannya-“ “Maaf,” Potong Elle cepat. “Kita tidak menentukan peraturan sebelumnya. Kurasa sekarang aku bisa pulang.” Elle bangkit, mengambil tas mungilnya dan bersiap pergi. “Tunggu!” Edwin menarik tangan Elle hingga wanita itu terbanting ke kursi. Elle mengaduh pelan. “s**t! Apa yang kau lakukan!” “Kau mau kemana?” tanya Edwin dengan suara khasnya. Ia tidak pernah sefrustasi ini dalam menghadapi wanita. Biasanya Edwin selalu tenang dan berhasil mengontrol dirinya, tetapi kali ini entah mengapa ia tidak bisa. “Sudah kubilang aku mau pulang.” Ucap Elle tanpa rasa bersalah. “Kenapa? Kau tidak bisa pulang begitu saja setelah-“ Edwin kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya. “Setelah?” tanya Elle tidak sabaran. “Pokoknya kau tidak boleh pulang.” “Apa hakmu mengatur-atur hidupku? Aku akan pulang kapan pun aku mau.” “Tidak boleh.” Edwin bersikukuh. Elle menepuk dahinya pelan. “Astaga, ada apa denganmu? Aku sudah menemanimu minum. Sekarang ijinkan aku pulang, Tuan Edwin Yang Terhormat.” Edwin tidak tahu lagi bagaimana caranya menahan Elle. Jika biasanya ia hanya perlu menawarkan sejumlah uang kepada teman kencan semalamnya, sepertinya kali ini ia tidak bisa melakukannya. Edwin harus melakukan sesuatu agar Elle mau bertahan lebih lama dengannya. “Lepaskan aku!” pinta Elle sekali lagi. “Aku akan melepasmu dan mengikutimu.” “Tidak bisa seperti itu!” Elle mulai gelisah. Ini kali pertamanya ia terlihat gugup di depan Edwin. Hal itu menimbulkan ide cemerlang di kepala Edwin. “Pulanglah.” Edwin melepas tangan Elle. Elle tampak ragu dengan sikap Edwin. Seharusnya ia senang akhirnya bisa terlepas dari Edwin dengan mudah. “Syukurlah akhirnya kau sadar.” Elle kembali meraih tasnya. “Begitu kau melangkah keluar dari sini, akan kupastikan ada lebih dari sepuluh orang yang mengikutimu sampai ke rumahmu. Aku tidak akan berhenti. Aku akan datang ke rumahmu besok pagi. Mencari tahu siapa dirimu.” Edwin bisa melihat dengan jelas punggung Elle yang tiba-tiba menegang setelah mendengar apa yang ia ucapkan. Senyumnya mengembang melihat hal tersebut. Kali ini ia tidak akan kehilangan Elle dengan cara yang sangat mudah. Elle berbalik dan menatap Edwin dengan kesal.”Sebenarnya apa maumu!” “Ohh… tenanglah!” Edwin menepuk kursi di sebelahnya. “Duduk dan kita bicarakan ini baik-baik.” “Jangan bertele-tele. Katakan apa yang sebenarnya kau inginkan dariku. Waktuku tidak banyak!” Elle semakin kesal. “Baiklah kalau kau memaksa. Aku hanya minta satu hal darimu.” Edwin sengaja menjeda ucapannya. Pria itu mengambil gelas dan menuang lagi whisky hingga penuh lalu meminumnya perlahan. “Katakan apa yang kauinginkan!” “Ssttt… sebentar. Aku akan menghabiskan minumanku dulu.” Edwin mempermainkan Elle lagi. “Waktuku tidak banyak.” Ucap Elle ketus. “Aku ingin kau menjadi teman kencanku malam ini. Tidur denganku dan menghabiskan semalam suntuk untuk menghangatkan ranjangku.” Ucap Edwin to the point. “Kau pikir aku apa? Bahkan jika kau memberiku seluruh uangmu, aku tidak akan sudi tidur dengan pria sepertimu!” Edwin terbahak.”Oh begitu? Kalau begitu kau boleh pulang sekarang. Sebagai gantinya, aku akan terus membuntutimu sampai batas waktu yang belum ditentukan.” Kali ini Elle terdiam. Ia jelas tidak mungkin tidur dengan Edwin, tapi ia juga tidak mau pria angkuh it uterus menerus menganggu hidupnya. “Pulanglah.” Titah Edwin dengan nada angkuh. Elle melirik Edwin sekilas dengan tatapan kebencian. Ia berkali-kali menghela napas, mencoba berpikir lagi dan lagi. “Apa lagi yang kau tunggu. Bodyguardku siap mengikutimu.” Kembali Edwin menuang whisky ke dalam gelasnya dan meneguk hingga tandas. “Damn you!” umpat Elle ketus. “Baiklah jika itu maumu. Setelah ini kau harus berjanji tidak akan mengikutiku lagi.” Edwin mengangkat jari telunjuk dan tengah secara bersamaan.”Demi harga diriku sebagai pria, kau tahu pria sejati tidak pernah mengingkari janjinya, kan? Aku tidak akan mengikutimu lagi setelah malam panas yang kita habiskan bersama.” Edwin tertawa di ujung kalimat. “Sekali saja!” ucap Elle lalu membanting tas dan kaca matanya ke kursi. Senyum kemenangan tercetak jelas di wajah Edwin. Dengan perasaan membuncah, Edwin segera meminta Elle untuk duduk di sebelahnya.”Kemarilah.” Dengan kesal, Elle menurut dan duduk di sisi Edwin. “Ingat, hanya sekali lalu aku bebas pergi dari sini. Jangan mengikutiku lagi!” “Aku sudah berjanji. Tapi dengarkan aku,” Edwin membisikkan kata-kata selanjutnya tepat di telinga Elle.”Aku tidak bisa berjanji hanya akan melakukannya sekali. Mungkin tiga atau lima kali tidak akan cukup bagi kita.” Lalu Edwin mengulum dauh telinga Elle dengan lembut, membuat Elle mengerang nikmat. “Sekali atau tidak sama sekali.” “No. Aku akan berhenti jika aku ingin. Bagaimana?” “No.” Elle menggeleng tegas. “Ikuti permainanku atau-“ “Okay, deal!” Elle menahan luapan emosi dari dalam dadanya. Malam ini Elle merasa ia sangat sial bertemu pria bernama Edwin Cyrus. Namun sebaliknya, Edwin jauh lebih sial karena berani meniduri wanita bernama Elleonara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD