2. Tamu Penting

2224 Words
Aku turun dari kamarku sepuluh menit kemudian, dengan pakaian kasual aku kembali menuju dapur mendapati Bunda dan Jeje yang masih asik ngobrol di sana. Bunda masih sibuk memasak kue dan makanan lainnya bersama Jeje yang duduk tak jauh dari Bunda sambil ngemil kue buatan Bunda. Aku mendengus melihat keakraban keduanya. "Bunda pilih kasih nih! Tadi aku nggak boleh makanin cookies-nya, giliran Jeje kok dibiarin!" protesku. Kedua pasang mata itu menoleh menatapku. Bunda mencibir mendengar protesku, sementara Jeje malah nyengir sok ganteng! "Jeje kan juga tamu kita sayang, lah kalau kamu? Tamu bukan, bantuin bikin enggak, wajar dong Bunda protes. Udah ah kamu pergi sana," usir Bunda kembali membuatku cemberut. Jeje bangkit dari duduknya lalu kembali menghampiri Bunda. Mencium punggung tangan Bunda dan kedua pipi Bunda, pamit layaknya anak kesayangan. Aku masih memandanginya sinis dari ekor mataku, melakukan hal yang sama seperti yang Jeje lakukan pada Bunda. "Aku izin bawa Meta dulu ya, Bun." Bunda mengangguk tersenyum. "Aku pergi dulu ya Bunda sayang..." kataku merajuk, sebenarnya lebih berharap Bunda mengurungkan niatnya mengizinkanku pergi bersama Jeje. "Jangan ngerepotin Jeje! Jangan makan sembarangan! Dan jangan makan seenak perut kamu!" nasehat Bunda, kuputar bola mataku malas. "Hati-hati ya sayang..." tambah Bunda dengan senyum, pada siapa lagi kalau bukan pada Jeje putra tersayangnya. Jeje menyambut ucapan Bunda dengan senyum terbaiknya yang membuatku hampir muntah. Lalu meraih pinggangku yang berdiri di sampingnya. Alisku naik sebelah, memandanginya penuh tanya dengan tatapan "Apa-apan sih lo?!" tapi tak digubrisnya, Jeje malah menyeringai dan menyeretku pergi setelah mengucap salam pada Bunda. Dasar kutu kuprettttt....! "Eh odong! Lapasin nggak!" bentakku saat kami sudah melangkah jauh dari Bunda. "Kenapa sih, Yang? Biasa aja kali" katanya santai merasa terganggu?!? Heiii harusnya aku yang menunjukan ekspresi wajah seperti itu! "Lo kenapa sih?! Otak lo belum direparasi ya? Dari tadi Yang Yong Yang... Apaan lagi pegang-pegang gini?!" ujarku seraya mendorong tubuhnya hingga tanggannya terlepas dari pinggangku. Tak kubiarkan Jeje membela diri dengan mulut besarnya. Kulangkahkan kakiku besar-besar meninggalkan langkahnya. "Sayang! Tunggu napa! Sama calon suami sendiri juga!" Samar-samar aku bisa mendengar Jeje mengeluh. Ada sesuatu yang menganggu pendengaranku dengan kalimat yang Jeje katakan. Namun entah mengapa aku tak menoleh protes dan malah berlalu meninggalkannya. *** Rasanya aku sudah ingin muntah--entah ini keberapa kali aku bilang muntah--sejak tadi diseret-seret Jeje dari satu butik ke butik lain yang ada di mall yang kami kunjungi saat ini. Entah ada angin apa anak ini begitu semangat mengajakku belanja pakaian, biasanya diminta menemani saja dia ogahnya minta ampun. Lah ini?! Bukan cuma nemenin, tapi juga bayarin semua pakaianku yang dipilihkan olehnya. Konslet! Otak Jeje positif konslet kalau gini terus! "Je... udah yukkkkk, gue capek nih! Laperrrrrrr..." rengekku. Jeje menghentikan langkahnya dan menatapku, sengaja kupasang wajah memelas agar pria ini menghentikan aksinya yang tak juga puas memerintahku untuk mencoba semua baju yang menurutnya bagus. Ekspresinya kini terlihat amat khawatir denganku. "Kamu laper, Yang?" tanyanya cemas. Aku mengangguk. Bodo deh sama Jeje yang terus-terusan manggil aku sayanglah, sweetheart-lah, honey-lah atau apalah seenak jidatnya. Abis aku udah capek marahin ini anak tapi dia-nya malah cuek bebek dan tetep memanggilku seperti itu. Bahkan aku nggak tau sejak kapan Jeje meninggalkan 'gue-elo'nya padaku dan lebih sering memakai bahasa 'aku-kamu', meski aku sendiri masih menggunakan bahasa sehari-hari kami. Anggap aku gila kalau sampai ikut-ikutan Jeje yang anehnya nggak ilang-ilang ini. "Ya udah kita makan dulu yuk, abis itu baru cari baju lagi buat kamu," ajaknya menggandeng tanganku lebih erat. Eh? Apa aku belum bilang bahwa sejak sampai mall tadi Jeje tak juga mau melepaskan genggaman tangannya di jemariku? Jangan salah sangka! Aku tak membiarkan begitu saja sentuhannya ini. Aku sudah menendang tulang keringnya hampir lima kali, memukul punggungnya sampai mencubit pinggangnya namun anak m***m ini selalu kembali menautkan jemarinya pada jemariku. Karena aku tak ingin menarik perhatian dengan sikap kasarku di tempat umum, jadilah sekarang aku pasrah saja dengan sikapnya. Malah otakku sempat berpikir yang tidak-tidak seperti... "Apa ini rasanya punya pacar? Apa ini rasanya jadi pacar seorang Jefan Nadithama si playboy yang terkenal itu?!" Tentu saja pikiran itu segera kutepis jauh-jauh. Sebab hubungan kami memang tak akan pernah ke arah sana, ataupun lebih dari seorang sahabat. Tunggu! Kenapa aku seolah mencari pembenaran dari sikapnya sih?! Ah, entahlah! "Kok gak di makan? Tadi katanya laper," tanya Jeje lembut menatapku yang masih diam di depannya dan tak menyentuh pesananku yang rupanya sudah ada sejak sepuluh menit lalu. "Ah iya, i.. ini juga mau dimakan kok." Lahhhh, kenapa aku jadi gagap gini lagi?! "Abis ini kita pulang ya, Je... gue udah capek bangetttt.." mohonku. Jeje mengernyit menatapku heran. "Tapi kan kita belum nemu baju yang pas buat kamu, Sayang." Aku memutar bola mataku. "Terus ini apa kalau bukan baju yang menurut kamu cocok buat aku?!" tekanku menunjuk kantung-kantung belanjaan di kursi sampingku. "Lagian buat apa sih kamu beliin aku baju segini banyak? Bajuku di rumah juga banyak yang nggak kepake kok. Ngapain juga numpuk-numpukin di lemari." "Yah... kan bisa di pake diacara-acara penting Meta sayanggg..." "Aku gak butuh Je!" Eh?! Kok aku jadi ikut-ikutan Jeje ber-aku-kamu sih?! Aduh jangan-jangan terinfeksi virusnya Jeje nih! Ih, kalo kaya gini kan kita jadi kaya orang yang pacaran terus lagi berantem gitu, nggakkkkk... Nggak mau deh aku sama playboy cap kutu kaya Jeje. "Tapi kan maksud aku..." "Pokoknya kita pulang! Kalo lo gak mau balik ya udah gue balik sendiri..!" ketusku. Untung Jeje tak menangkap perubahan tata bahasaku tadi. Bisa-bisa diledek tujuh turunan nih. Kudengar Jeje mendengus sebal mengahabiskan americano-nya, membuatku tertular ikut meminum es lemon tea-ku. "Kenapa sih pake 'gue-elo' lagi? Enakkan juga tadi 'aku-kamu'.." Hufffttthhh... hampir aku memuncratkan minumanku ke wajah tampan Jeje. Namun untung saja masih bisa kutangani. Jadi tadi Jeje sadar? Dan dia gak meledekku? Malah ingin aku terus menggunakan bahasa itu?! Sakit jiwa! Orang ini pasti sudah sakit jiwa ya Tuhannnn... "Udah yuk pulang!" ujarku seraya bangkit. Lagi-lagi tak kuperdulikan Jeje yang berusaha protes dengan sikapku, tapi ini lebih pada aku yang berusaha menutupi kegugupanku. Kalian tanya kenapa? Mana aku tau? Apa lagi jantung ini? Berdetak tak karuan seenaknya! Apa coba ini? "Nggak mau mampir dulu?" Basa basi setelah apa yang Jeje berikan untukku tidak ada salahnya bukan= Jeje tersenyum jahil, sepertinya aku sudah dapat menduga apa yang akan anak ini katakan. "Cie... gak rela ya kalo Abang ganteng pergi?" godanya sambil mencolek daguku yang segera kutepis dengan kasar. "Apaan sih! Bodo ah!" omelku lalu turun dari mobilnya, tidak lupa membawa segambreng belanjaan hasil paksaan Jeje, yah.. walau aku senang sih karena ini dia yang bayar, tapi dalam rangka apa coba?!? "Sayang!" panggil Jeje membuka jendela mobilnya, aku menoleh menatapnya geram. Lagi-lagi panggilan itu... Sekali lagi Jeje cuma nyengir nggak jelas. "Abang ganteng pulang dulu yah. Sampe ketemu nanti malam," ujarnya sambil mengedipkan mata, lalu melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahku. Aku mengernyit masih menyaksikan kepergiannya. "Sakit jiwa! Nanti malem kan katanya dia ada urusan penting? Gue juga ada tamu keles!" cibirku lalu kembali melangkah memasuki rumah. *** "Metaaaaaa..!!" teriak seseorang lagi-lagi berhambur masuk ke kamarku. Ck! Apa hari ini tak bisa jika tanpa teriakan?!? Pagi-pagi buta aku yang teriak karena mimpi buruk, lalu Cicit yang juga teriak karena teriakanku, kemudian Bunda yang geram dengan percakapan kami tadi pagi, dan apa lagi ini?!? Ya Tuhan, haruskah hidupku penuh teriakan? "Apaan sih lo?! Teriak-teriak di kamar orang?!" sungutku sebal yang saat ini sedang tidur-tiduran di ranjang kesayanganku sambil mendengarkan musik. "Ih nih anak malah asik males-malesan! Buruan ah dandan yang cakep. Sebentar lagi tamu penting mau dateng!" Zia nyengir menarik-narik tubuhku. Aku akhirnya duduk dan menatapnya malas. "Ya terus? Apa hubungannya sama gue?! Tamu-tamu Bunda kok gue yang harus repot dandan? Lagian lo ngapain sih di sini?!" tanyaku heran. Kok nih anak jadi ada di rumahku sih? Ngapain coba? Nggak malem mingguan apa sama suaminya? "Gue juga di sini kok," sambar suara yang tak lain milik Anna. Keningku makin berkerut melihat kehadiran sahabat somplakku, kecuali Jeje sih, tapi untuk Jeje cukup tadi pagi. Bisa-bisa pusing aku ngadepin dia malam ini juga ditambah bocah curut nggak jelas asal usulnya ini. "Kok kalian..." "Udah deh! Cepetan siap-siap ah. Nanti Bunda ngomel-ngomel," dengus Anna. Setelahnya Zia dan Anna tak mengizinkanku untuk kembali mencoba intrupsi. Mereka mulai sibuk dengan... entahlah apa ini yang menempel di wajahku. Lalu Zia sibuk mengacak-acak tas belanjaanku dan Jeje tadi pagi yang belum kusentuh hingga malam ini. Dari mana dia tahu aku habis belanja coba? Setelah memilih sebuah setelan kebaya--yang sempat kuprotes saat Jeje membelinya--akhirnya Zia kembali membawa pakaian itu dan menyerahkannya padaku. "Nih pake!" perintahnya. Aku mengernyit makin tak mengerti. Kenapa sih orang-orang hari ini??? Anehnya nggak ketulungan deh! Dari pagi sampe malem ada aja, dan sekarang aku disuruh pake kebaya? Buat apa? Emang ada yang nikahan?! Atau raja karaton mana gitu yang mau dateng ke rumahku?! "Apaan sih! Nggak ah, gue nggak mau pake baju itu. Lagian kenapa sih? Kenapa kalian di sini? Kenapa gue harus dandan dan ngikutin apa yang kalian mau? Dan apa-apa lagi ini?! Kok kalian pake batik? Emang siapa yang nikahan?!" geramku setelah cukup lama pasrah dan binggung sendiri, terlebih saat sadar bahwa Anna dan Zia sudah rapih memakai batik mereka. "Nanti lo juga tau," kata Anna kalem. "Gak bisa! Gue harus tau sekarang! Emangnya ada apa sampe kalian sok misterius gini sama gue?!" Anna menghela nafas, menatapku dalam dengan kedua tangannya yang mencengram bahuku. "Ta, lo tau kan kita sayang sama lo?! Kita... sama keluarga lo mau yang terbaik buat lo. So, bisa lo percaya sama kami semua?" ujarnya lembut namun tegas. Bisa kulihat kesungguhan dari sorot mata Anna. Bukan sorot mata yang mempermainkanku. Seperti terhipnotis aku pun diam dan mengikuti kemauan dua sahabat kunyukku ini. Oke anggap aku bodoh atau apalah! Tapi aku ini penurut loh... *** Setelah setengah jam berkutat dengan pakaian dan make up yang kini menempel di tubuh dan wajahku. Aku melangkah menuruni tangga bersama kedua sahabatku di sisi kiri dan kananku. Entahlah, rasanya aku pernah lihat adegan seperti ini.. entah di mana itu. Saat menginjak pijakan tangga terakhir, sudut mataku menangkap sosok itu. Sosok yang kuhormati dan begitu kurindukan. "Mamaaaaaa..." teriakku melepaskan pegangan Anna dan Zia dikedua lenganku lalu berlari menghampiri wanita paruh baya cantik yang kini duduk di sofa ruang tamu rumahku. Tak peduli dengan rok batik dan kebaya anggun yang kukenakan. "Ahhh anak Mama cantik sekali." ucap Mama ceria dan langsung memelukku. "Huhu Mama kok pulang nggak ngabarin aku sih? Kan aku bisa jemput di airport." kataku cemberut melongkarkan pelukan kami dan menatapnya. Mama tersenyum anggun mengusap kedua pipiku lembut. "Kan suprise sayang, apalagi buat kamu." Mama tertawa ringan. Aku mengernyit. "Jadi Mama aja nih yang dikangenin? Papa nggak?" Suara berwibawa itu tiba-tiba menyapaku, dan setelah kusadari siapa, mataku langsung berbinar menatapnya. Kuhampiri pria paruh baya nan gagah itu, dan langsung memeluknya rindu. "Papa jahat sih pake rahasia-rahasiaan pulangnya," keluhku. Bisa kurasakan Papa tertawa dengan aku dalam pelukannya, membuatku melepaskan pelukan kami dan menatapnya sinis. "Dih malah ketawa." Papa mencubit pipiku gemas. "Kita memang tadinya nggak ada niat pulang tahun ini sayang, tapi karena permintaan mendadak Jeje akhirnya kami pulang secepatnya," tutur Papa menatap Mama lalu beralih pada putra semata wayang mereka. Mataku membulat menatapnya yang sudah tersenyum lebar menyaksikan acara lepas kangenku pada kedua orangtuanya. "Ngapain lo juga ikut ke sini? Tadi pagi kan lo udah main?? Sana pulang! Biar Mama sama Papa nanti gue yang nyupirin pulangnya." Jeje hanya tersenyum misterius sambil mengangkat bahu. "Kalau bukan karena gue, Mama sama Papa nggak akan dateng ke sini kali," gumamnya yang masih dapat kudengar. Kutatap matanya tajam lalu membuang muka dan berbalik menghadap orangtuaku. Aku baru sadar kalau keluargaku sudah berkumpul, plus suami-suami dari dua kunyuk munyu yang tadi mendandaniku. Lah... ini kenapa pada ngumpul di rumahku sih? Mau pada malam mingguan di sini apa? Pakaiannya kenapa pada rapih juga lagi? Aku lalu duduk diantara Mama dan Papa, yup bukan diantara Ayah Bunda, karena aku masih rindu pada kedua orang yang sangat aku hormati ini. Sebagai gantinya, Jeje yang duduk didekat orangtuaku. "Ma, oleh-olehnya mana?" cengirku sambil menengadahkan kedua tanganku di depan Mama, lalu Papa secara bergantian. Keduanya tertawa, Papa mencubit pipiku lagi, sementara Mama mengelus rambutku lembut. Inilah yang aku suka dari kedua orang tua Jeje, tidak seperti anaknya yang rese, mereka justru sayang padaku melebihi sayang mereka pada Jeje sepertinya haha. Sama sih, sayang sama Anna dan Zia juga, hehe. "Meta apaan sih? Orang namu kok malah minta oleh-oleh!" tegur Ayah melotot ke arahku yang langsung menciut di hadapan beliau. "Gak apa-apa Danu, bukan Meta kalau nggak bilang begitu," kekeh Papa membuatku makin cemberut. "Tapi sayang, tujuan kami kemari bukan untuk itu dulu. Ada yang lebih penting dari sekedar oleh-oleh," ujar Papa serius, meski masih disertai senyum. Aku menoleh menatap Mama yang juga tersenyum padaku. Membuatku ikut tersenyum namun dengan kening berkerut. Bingung kan? Aku juga... kedatangan Mama dan Papa yang tiba-tiba, sahabatku yang jadi malam mingguan di sini, dengan segala keformalan yang terjadi saat ini di ruang tamu rumahku. Otakku yang sekarang penuh dengan pertanyaan dan penasaran akhirnya tak mampu mencerna dengan baik apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Membuatku seperti orang bodoh yang cuma diam dan melongo saat pembicaraan serius antar dua keluarga, keluargaku dan keluarga Jeje dimulai. "Seperti yang saya bicarakan ditelepon sebelum datang ke rumah ini seminggu lalu, bahwa atas permintaan putra saya yang juga telah saya dan istri saya setujui, kami berniat untuk melamar Meta Anindya Prameswari putri Bapak dan Ibu sebagai calon istri dari putra kami Jefan Nadithama bila diperkenankan," ucap Papa dengan nada serius, yang mampu membuatku menganga lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD