2. Elsa Naomi Mizuki.

1663 Words
Aku hanya ingin bebas, Menikmati masa remaja, Jangan tahan diriku setiap waktu, Seperti love bird dalam sangkar, Biarkan aku seperti merpati, Yang selalu terbang sesuka hati, Hingga tinggi menikmati waktu kehidupan. _______________ Sebuah taksi menepi di depan rumah elite milik orangtua Elsa, rumah bergaya mediterania itu cukup mewah dengan beberapa pilar tinggi yang menyangga plafon di beranda rumah. Gadis itu keluar dari taksi setelah membayar, dia sudah tak memakai topi dan masker lagi. Elsa cukup senang karena bisa berkumpul dengan teman-temannya dan sengaja melewatkan jadwal photoshoot siang tadi. Mata Elsa menangkap dua pria kekar yang duduk di teras sambil menyeruput kopi, ternyata Marko dan Jojo belum pulang ke rumah mereka. Gadis itu mengulas senyum miringnya, ia merasa berhasil menipu mereka dan tak peduli jika keduanya jelas kena omel Mentari—ibu Elsa yang notabene adalah manager Elsa sendiri. Dengan kaki jenjangnya Elsa melangkah menghampiri gerbang yang tertutup rapat, tapi satpam rumah yaitu Pak Karsa keluar dari pos yang terletak di ujung gerbang, ia berlari membukakan pagar besi itu agar si anak majikan bisa masuk. Terdengar suara gerbang ditarik, Pak Karsa mengulas senyum ketika berpapasan dengan Elsa. "Baru pulang, Non? Dari mana?" tanya pria berusia sekitar empat puluh itu. "Habis nonton sama teman-teman, mama di rumah?" "Ada kok." Gadis itu mengangguk dan melanjutkan langkah kakinya, sebenarnya dia tahu Mentari ada di rumah. Jelas, karena ada dua mobil di depan garasi, satu milik Mentari dan lainnya mobil yang sering dipakai Marko serta Jojo untuk menjemput Elsa di mana saja. Sengaja gadis itu mematikan ponsel agar mereka bertiga tak bisa menerornya dengan pesan atau panggilan bertubi-tubi. Dengan santainya Elsa melangkah di selasar, dia melewati Marko dan Jojo yang sudah memerhatikannya sejak anak majikannya itu turun dari taksi. Sengaja Elsa mengangkat dagu tanpa menatap mereka, menunjukan sisi angkuh dalam dirinya. "Malam, Non," sapa Marko yang kemudian beranjak. Diikuti oleh Jojo menyusul berdiri. Elsa menghentikan langkahnya dan menoleh menatap mereka datar mereka, "Malam." "Non dari mana aja? Tadi kita sampai—" "Elsa!" Belum sampai Marko melanjutkan ucapannya sudah lebih dulu dipotong oleh bentakan seseorang dari dalam rumah, ketiganya menoleh dan mendapati Mentari tengah melangkah dari dalam rumah ke arah mereka. Elsa berdecak, dia tahu pada akhirnya hal itu akan terjadi. Gadis itu mengumpat dalam hati, berharap bisa lekas kabur ke kamarnya sekarang dan menyumpal telinga dengan headset agar tak mendengar ocehan ibunya. "Masuk! Mama mau bicara!" perintah wanita berhijab itu, dia tengah berdiri di dekat sebuah lukisan bergambar Monalisa yang menempel di dinding ruang tamu seraya melipat tangannya di d**a. Elsa pasrah, dia menatap Jojo dan Marko silih berganti lalu masuk menghampiri Mentari. "Maaf kalau Elsa baru pul—" "Kamu kabur lagi!" potong Mentari cepat, terlihat jelas amarah dari kedua matanya. "Elsa capek, Ma. Elsa juga butuh hiburan, lagian nggak setiap hari 'kan Elsa hangout sama teman-teman," kilah gadis itu. "Kamu tahu nggak sih, brand lipstik yang udah endorse kamu sekarang batalin kontraknya. Semua gara-gara kamu! Kamu nggak becus kerjanya, kamu kabur-kaburan dari sesi pemotretan, apa didikan Mama salah ya sampai kamu berani seperti itu, apa aturan Mama kurang jelas kalau itu semua buat masa depan kamu, Elsa!" Elsa hanya diam, mendengarkan setiap omelan yang terlontar dari bibir Mentari, semua itu sudah sering ia masuk telinganya dan percuma jika menyahutnya. "Mama cuma mau anak Mama dikenal luas, punya prestasi yang bagus. Malah kamunya diatur susah begini, kamu nggak bisa tuh contoh Serena yang udah jadi selebritis, semua itu karena Serena mau nurut aturan Mama!" Air mata Elsa mulai meluruh, lagi-lagi ia dibandingkan dengan kakak perempuannya yang kini kuliah di luar negeri, rasanya perih jika selalunya Mentari terus membedakan kedua putrinya. "Besok kamu harus ikut photo shoot lagi, Mama nggak mau gagal seperti tadi. Harusnya uang kontrak keluar dan jadinya batal, rugi semua." Suara Mentari melunak. Kini Elsa menatap Mentari dengan raut kecewa, "Uang? Lagi-lagi uang? Apa uang yang papa kasih nggak cukup, Ma! Sampai anak sendiri harus ikut nyari duit, Elsa capek, Ma, capek!" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah gadis cantik itu, bahkan kepala Elsa sampai menoleh ke kiri. Gadis itu menyentuh wajahnya, air matanya kian deras, lagi-lagi seperti itu tiap kali mereka berdebat. Elsa menatap wajah ibunya dengan raut sendu, tanpa berkata lagi gadis itu memilih berlari menghampiri tangga. Sedangkan Mentari gemetaran melihat tangannya sendiri, kenapa dia selalu di luar kendali setiap kali menghadapi protes dari gadis itu, kenapa dia tak bisa bersikap lembut seperti kepada Serena dulu. Elsa yang sudah benar-benar kecewa membanting pintu kamarnya tanpa peduli situasi di luar sana, beberapa pembantu yang juga tinggal di rumah itu tahu setiap kali pintu kamar Elsa ditutup begitu keras artinya dia baru saja bertengkar dengan majikan mereka. Gadis itu mejatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi telungkup, wajahnya menyentuh bantal dan membiarkan air matanya berlanjut di sana. Elsa Naomi Mizuki, kebanyakan orang-orang berpikir bahwa kehidupan gadis itu sempurna. Mereka cukup iri melihat Elsa yang cantik, kaya, seorang model terkenal, banyak fans, dan tentunya digilai kaum adam. Beberapa hal itu yang bisa mereka lihat dari diri Elsa, gadis blasteran keturunan Indo-Jepang yang sebentar lagi akan menginjak usia tujuh belas. Namun, tidak bagi gadis itu. Ia merasa kehidupannya benar-benar miris, tak seperti apa yang orang lain pikir. Ia tak suka memaksa senyum palsu di depan kamera, berlenggak-lenggok di atas catwalk atau memaksa senyum ketika berfoto bersama para fansnya, dia ingin menikmati masa remaja seperti orang lain yang bebas ke mana saja mereka suka tanpa harus memikirkan padatnya jadwal pemotretan, dia ingin punya kehidupan yang baginya normal tanpa kekangan, bukan seperti burung dalam sangkar, justru dia yang jelas iri melihat remaja lain punya kehidupan seperti yang mereka inginkan. Kenyataannya, hal sederhana itu terlalu sulit diraihnya. Sesulit tangan menggapai kupu-kupu yang sedang terbang, setiap kali pulang sekolah dia harus mengikuti sesi pemotretan sesuai jadwal yang sudah diatur oleh ibunya, tak ada tawa dari teman-teman yang ia dengar ketika hangout bersama, tak ada kisah seram ketika menonton film horor bersama mereka, terkadang saat Elsa bisa melakukannya—itu karena dia bisa kabur dari Jojo dan Marko. Jika Elsa boleh memilih, dia ingin hidup ala kadarnya asal bahagia tanpa dikekang. Daripada jadi gadis spesial tapi tak tahu apa itu isi dari dunia yang ia pijak, rasanya seperti baru kabur ke dalam hutan belantara tapi kembali dikepung dari berbagai sisi, tak ada tempat kebebasan untuknya. Gadis itu beranjak dari tempat tidur, dia mengusap air matanya yang masih melekat di wajah. Di atas bantal tercetak jelas basah oleh tangisannya, selalu begitu setiap kali berada di rumah, jika Iqbal—ayah Elsa berada di rumah pasti takkan seperti ini kisahnya, pasalnya pria itu sedang bertugas di udara, Iqbal adalah seoramg pilot dengan sertifikat lisensi terbaik, Iqbal adalah sosok ayah terbaik yang Elsa miliki, dia yang selalu membela dan memberi semangat pada anak gadisnya. _____________ Kepulan asap membumbung tinggi setelah keluar dari bibir seseorang, remaja itu bisa menghabiskan paling tidak dua bungkus rokok dalam sehari tanpa ada yang melarang. Satria begitu menikmati hisapannya pada benda silindris perpaduan antara nikotin dan tar itu, sesuatu yang selalu membuatnya merasa santai menjalani kehidupan yang jelas jauh dari kata sempurna. Di atas jembatan dia berdiri sendirian seraya menatap keadaan di bawahnya, mobil yang masih berlalu lalang di tengah ingar-bingar Ibukota. Motor CBR warna merah selalu menemani Satria ke mana saja ia pergi, mencari tempat yang ingin ia tuju ke mana saja tanpa ada yang mengekang, tapi kebebasan itu bukanlah pilihan terbaik yang Satria inginkan. Mereka terlalu kejam padanya, membuat Satria menjadi pribadi yang kurang baik karena terlalu lama hidup dalam kekosongan tanpa kehadiran siapa-siapa dekatnya. Banyak orang berkata jika berteriak di atas tempat yang tinggi maka akan merasa lega, tapi sering kali Satria berteriak di tempat yang sama tak ada secuil perasaan itu. Dia seperti kapas yang diterbangkan angin, tak tahu arah dan tujuan, dia rapuh tanpa orang lain tahu, dia sok kuat menjadi jagoan sekolah, tak ada yang sanggup menembus dinding es dalam hatinya yang beku, dia tak siap menerima siapa-siapa saat ini. Laki-laki itu membuang puntung rokoknya dari atas jembatan hingga jatuh jauh ke bawah sana, tak peduli jika akan jatuh di atap mobil seseorang. Satria beranjak, dia merogoh ponsel dari jaket bombernya dan menghubungi seseorang. "Hallo, Sat? Kenapa?" "Lo di mana sekarang? Gue mau main." "Lagi kumpul nih sama anak-anak, di tempat biasa." "Gue ke sana." Segera Satria mengakhiri panggilan dan memasukan lagi ponselnya ke saku jaket, ia meraih helm merah dan memakainya lantas menaiki motornya dan bergerak meluncur ke jalanan yang masih ramai itu. Motornya membelah jalanan, dia bisa melaju sekencang yang ia inginkan tanpa memikirkan orang lain berteriak mencacinya. Satria sudah terbiasa dengan olokan orang lain, hal itu adalah salah satu pil pahit yang selalu masuk melewati kerongkongannya, ia tak pernah sesak dengan hidupnya yang kacau hingga hari ini. Hingga ia tiba di area rumah susun dan menghentikan motornya di tempat parkir, laki-laki itu turun seraya melepas helmnya, dia menyugar rambut yang jarang sekali disisir. Setelahnya, Satria bergerak melewati lorong kecil menuju sebuah tangga, dia berpapasan dengan beberapa orang yang kebetulan tinggal di tempat itu. Dengan santai Satria terus melangkah menapaki anak tangga menuju lantai dua, ternyata mereka memang berada di sana, sedang asyik minum kopi dan mendengar suara serak-serak basah Irwan bernyanyi sambil memetik gitar tua miliknya. Satria menghampiri keempat temannya yang duduk di atas tikar bambu, ia bergabung bersama mereka. "Elu dari mane aje, Sat?" tanya Melki, ia baru saja meneguk habis kopi miliknya, Melki punya rambut ikal yang khas. Melki duduk di dekat Syarif, sedangkan Syarif berada di sebrang Faisal dan mereka tengah asyik main kartu remi tanpa uang taruhan. Sedangkan Irwan duduk di sebrang Melki dan Satria duduk di dekat Melki. "Biasalah dia, nyari tempurung kura-kura buat sembunyi," celetuk Faisal tanpa menatap Satria, ia sibuk dengan permainan kartunya. "Kalau nggak ada kurungan ayam bapak gue aja di rumah tuh nggak dipakai," imbuh Syarif ikut meledek. "Jaran goyang, jaran goyang, sayang janganlah kau weton serem ...." Suara serak-serak basah Irwan cukup enak didengar, dia asyik dengan gitarnya sendiri. "Nyak! Kopinya satu lagi, Nyak!" seru Melki pada seseorang di dalam salah satu kamar rumah susun di dekat mereka berkumpul. Melki adalah salah satu penghuni rumah susun itu, dia warga Betawi asli tapi tak punya kehidupan yang cukup mudah di Jakarta ini, dia yang paling dekat dengan Satria di antara lainnya. ____________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD