—Manuskrip ini ditulis oleh penulis tak dikenal; ditemukan di antara reruntuhan Rumah Hitam—
______
Bagaikan bunga yang kehilangan keindahannya; begitulah masa-masa kini yang terjadi pada seisi negeri.
Kegelapan memaksa keindahan untuk berkabung. Menggelapkan suasana bahagia tanpa bisa dicegah. Kemuraman; hanya itu yang tersisa.
Gerhana datang di antara salju yang membekukan. Namun, justru ia bertahan lebih lama sebagai balasan atas keterlambatannya.
Konon, kegelapan itu diciptakan oleh seorang anak. Puisi-puisi gelap nan mengerikan mengenainya mulai bermunculan ke permukaan.
Anak itu jatuh bagaikan tetes air hujan dari atas kengerian. Ia berdiri bagai menara angkuh di kejauhan. Tertatih-tatih ia dalam balutan awan kelabu, laksana fajar bernapaskan kematian.
Seseorang pernah berkata dengan nada bak diawasi oleh kegelapan itu sendiri; raganya menjengit, bagai menapak bara kesunyian di antara kegelapan nan menyakitkan.
Konon, anak itu pernah mendesah menyedihkan. Masa kecil lampau nan tanpa beban jadi kenangan sudah, ia berkata. Rindu rasanya seperti haus darah. Kini kejamnya kedewasaan menjadi masalah.
Orang-orang bertanya-tanya pada diri sendiri; bagaimana akhir dari semua warna ini? Sebuah takdir, akankah berubah menjadi tubir tajam nan melenakan?
Konon, ia meliukkan pinggangnya di bukit yang terbuat dari tumpukan kematian. Beberapa iblis melihatnya terhempas bak disapu udara dari lubang keniscayaan. Meroda raganya, lalu berdansa seperti rasuk dari dalam kematian.
Sang wakil kegelapan berwujud bocah itu berputar. Berpusing laiknya roda hidup nan terancam jatuh, dalam laut biru bernodakan darah kegelapan. Putaran roda itu kuat nan mengerikan; ia hidup dengan nadi berdarah hitam.
Konon, para Gal menontonnya menari lagi, bagai cercah api berkabut dari mata seorang gila. Menandak lepas, hingga menggila nian kakinya di atas tanah berkubang teror nan berdarah.
Air mata nan membasahi jiwa berderai di wajah-wajah para kesatria malang; ketakutan mereka berputar tanpa bisa meraih henti. Takut mereka bagai kengerian berdarah hitam nan mampu tenggelamkan fajar.
Konon, seseorang jatuh dalam lubang kelabu bernamakan kasih sayang. Ia lupa akan logika nan berperan jadi penerang. Jiwanya buta akan kata yang disebut cinta.
Lagi, jatuh air mata mereka seperti tetes darah hitam dalam lubang kelabu nan membingungkan.
Suatu hari nan menyesakkan, pemanggil kegelapan bangkit dan memanjat. Ia mengejar mimpi indah nan menggelapkan. Ia berlari bagaikan terbang, untuk menggapai bola berwujud kemustahilan.
Konon, ia terjatuh dan berusaha lagi, terus hingga peluh membasahi jiwa dan raga. Jiwanya meliuk, berputar, meroda, kemudian melompat, kembali berdansa.
Kegelapan dalam jiwanya begitu liar. Namun, terkendali bagai tetes darah hitam dalam lubang keabadian.
Barangkali ia akan terus berputar, hingga kemustahilan tampak berubah menjadi kenyataan.
Konon, sang Kaisar Empat Dimensi menyentuhnya dengan ujung jari keniscayaan, dengan kemurungan nan tiada akhir. Ia gelapkan aura diri nan berbahaya pada hati si anak.
Maka, bergeraklah Sang Pemanggil Kegelapan bagai kabut bersaput darah hitam. Ia melesat mengejar sang fajar keemasan.
___________________
Manuskrip ini ditemukan setelah Masa Kegelapan mengepung negeri Dasina. Kematian tak terelakkan bagai sebuah kebiasaan baru di masa-masa itu. Rumah Hitam berada di kota Sembada dan merupakan bangunan tua nan bersejarah di kota itu.
Apakah kalian tahu kapan masa-masa ini mulai ada? Pastinya kalian sudah mulai menebak-nebak siapa yang dimaksud dengan penulis anonim di atas.
Siapakah Sang Pemanggil Kegelapan?
Apa yang terjadi di Rumah Hitam?
Apa yang sebenarnya menimpa Dasina?
Tuliskan jawaban atau tebakan kalian di kolom komentar (tanpa membaca episode selanjutnya, ya!)
Penulis ingin melihat kalian bertaruh dengan diri sendiri. Apakah nanti tebakan kalian benar? Ataukah salah?
Sebagai balasannya, penulis akan memberikan satu lagi syair di bawah. Meskipun tidak sempurna, semoga kalian menyukainya.
Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa penulis menyisipkan obrolan tidak berguna ini ke sini?
Karena penulis ingin memberi peringatan pada kalian, bahwa bab-bab selanjutnya akan dipenuhi dengan pikiran-pikiran gelap dan negatif.
Penulis ingin kalian mempersiapkan diri. Jagalah hati kalian tetap positif apa pun yang terjadi.
Jika dirasa malas untuk menyelesaikan bab ini, kalian dipersilakan untuk membuka bab selanjutnya langsung.
Terima kasih.
__________________
Hujan telah kembali di bawah naungan mentari, seakan tak rela dunia menjadi kering
Rintik itu menghantui bagai ejekan di tengah luka hati yang mengiris hati, seakan ada sebilah pisau nan begitu tajam
Siapa kau berani membuatnya menangis? Seseorang konon pernah berkata
Dia kuat, tetapi sekaligus teramat lemah. Jiwa dan hatinya tidak mencapai kesinkronan nan berarti
Siapa kau berani mempermainkannya? Seseorang konon pernah berteriak marah
Sayapnya tak terpatahkan, tetapi bulu-bulunya begitu rapuh diterpa keniscayaan
Bagaikan madu dalam cawan batu nan halus tanpa cela suatu apa
Cairan kental itu begitu manis, tapi mampu menyakiti tenggorakan
Membayangkan seseorang meneguk dan kemudian menyadari bahwa rasa itu palsu
Berubah pahit, lantas menjadi racun
Konon seseorang kehilangan sepasang sayap
Kendalinya hancur berkeping-keping bagai kaca nan jatuh di atas batu
Konon seseorang terjatuh dan berubah menjadi serapuh benang laba-laba
Mereka adalah madu yang menjadi racun tak tergantikan, bagai iblis nan menguasai kejahatan
Suatu hari seseorang menyerah, ia berdiri di tengah kesepian nan mutlak
Sorot terik di atas mahkota itu nyaris membakarnya hidup-hidup
Tiba-tiba rintik hujan menetes menyakitkan, membuatnya terjatuh lebih dalam
Kesadaran akan dunia nan tengah mengasihani seorang malaikat muda; lumpuh raga dan jiwa dibuatnya
Mereka mengambil jiwa dan semua yang ada dari kehidupan nan terlihat nyata
Mereka membawa terbang hingga jauh di awang-awang nan tak 'kan terjangkau genggaman
Lantas mereka hempaskan semua dalam satu kedipan nan menakutkan
Hancur hati dan semua yang kehidupan punya
Mereka mengubah segala.makhluk menjadi malaikat tak berjiwa
Konon seorang pemuda menjadi bodoh kala menatap mata ular seorang pemudi
Sang pemuda menjadi tak berguna saat raga terkait nan melebur menyatu
Hatinya tidak bisa mencium pahit sebuah aroma yang meragukan jiwa
Ia buta: baik mata, hidung, maupun telinga
Semua kembali lagi bagaikan roda iblis nan berputar memualkan
Bagaikan madu dalam cawan batu nan halus tanpa cela suatu apa
Cairan kental itu begitu manis, tapi mampu menyakiti tenggorakan
Membayangkan seseorang meneguk dan kemudian menyadari bahwa rasa itu palsu
Berubah pahit, lantas menjadi racun
Konon seseorang kehilangan sepasang sayap
Kendalinya hancur berkeping-keping bagai kaca nan jatuh di atas batu
Konon seseorang terjatuh dan berubah menjadi serapuh benang laba-laba
Mereka adalah madu yang menjadi racun tak tergantikan, bagai iblis nan menguasai kejahatan
Konon seseorang telah kehilangan sepasang sayap nan paling berharga
Kesakitan akan jiwa dan raga menghempaskan segala kepercayaan
Terhempas menyakitkan bagai diserang burung pemangsa tak kasat mata
Terjatuh seakan mimpi nan ilusi pudar menjadi kenyataan nan pahit di lidah
Satu, seseorang berkata
Dua, yang lain bercericip
Tiga, seorang bayi merengek
Apa lagi yang berkurang di diri mereka?
Kebaikan tampak luntur semakin diri menjadi kabur nan melenakan
Konon, seseorang merasa di atas angin, padahal diri hanya sebatas tanah nan tidak berarti
Konon, seorang anak merengek di dalam ayunannya dan si orang tua terus mengaduk kekosongan di atas tungku
Padahal binatang melata nan mematikan tengah melingkar di kehidupan nan menyedihkan pada leher sang orok
Segala hal terjadi
Segala tragedi telah terlewati
Namun semesta tak pernah mati
Kecuali sang Esa berkata, “Berhenti.”