Bab Dua

1029 Words
Suhu panas yang berasal dari sinar matahari terasa menyengat kulit kepala Kyra yang tak bertopi. Sementara keringat sudah mengucur deras dari kening dan dahi. Pandangan matanya sedikit memburam tapi tetap tidak diperbolehkan meninggalkan lapangan karena sudah melanggar peraturan. Hari ini adalah hari kedua Kyra mengikuti kegiatan Ospek di salah satu perguruan tinggi swasta di kotanya. Karena Kyra lupa tidak membawa topi sebagai bahan persyaratan dari kakak tingkat, dia dihukum berdiri di tengah halaman saat matahari sedang berada di atas kepala. Tidak ada yang mengira gadis secantik, sepandai, dan se-luar biasa Kyra akan memilih jurusan paling biasa. Menjadi seorang guru bagi anak-anak TK. Bima—kakak tirinya langsung menghina saat pertama kali Kyra mengungkapkan keinginannya mengenai hal itu. Sementara ayah tirinya—Raksa hanya diam saja dan mengatakan akan membiayai kuliahnya seandainya Kyra tetap bersikap baik dan tidak merepotkan. Sejujurnya Kyra tidak tahu apa yang salah dengan mimpinya yang sederhana. Menjadi guru adalah hal mulia daripada saran teman-temannya yang ingin Kyra menjerumuskan diri di agensi modeling karena gadis itu memiliki segalanya yang diimpikan kaum hawa. Wajah cantik alami, mata sipit, hidung mancung, bibir mungil, tinggi semampai dan ini yang paling membuat Kyra risih ketika teman-teman mulai membahasnya, yaitu ukuran dadanya yang lebih besar dari ukuran gadis sebayanya. Kyra sering dituduh memakai minyak bulus, sering memijat, bahkan yang lebih parah dia pernah dituduh sudah tidak perawan hanya karena mereka mengira ukuran d**a Kyra disebabkan seringnya disentuh dan dihisap oleh laki-laki. Sejak saat itulah Kyra mulai membatasi diri dan tidak berkawan dengan siapa pun. Semua perempuan yang melihatnya penuh rasa iri dan dengki sudah cukup memuakkan, belum lagi mata keranjang setiap laki-laki yang melihat dadanya ketika dia berjalan. "Jangan nunduk!" Hampir saja Kyra terjatuh karena bentakan tiba-tiba yang mengejutkan itu. Seorang senior perempuan datang menghampirinya dengan penuh aura kekuasaan. "Nama lo siapa?" "Kyra, kak." "Lo dihukum karena?" "Lupa bawa topi," cicit Kyra tak berani. Senior itu mulai memperhatikan Kyra dari atas sampai bawah. Berhenti cukup lama di dadanya lalu mendengus kasar. "Karena lo nunduk terus dari tadi, hukuman lo gue tambahin jadi satu jam lagi." "Tapi, kak." "Udah, diem!" Bentakan itu sukses membungkam Kyra yang langsung kembali ke posisinya. Sedangkan senior galak itu pergi dan tertawa bersama teman-temannya. Satu jam kemudian Kyra malah pingsan. Tidak kuat menahan panas dan akhirnya dibopong ke ruang kesehatan kampus oleh seseorang yang kebetulan lewat. "Lo nggak apa-apa?" Kyra meringis sambil memegangi kepala saat berusaha duduk. Laki-laki itu terlihat ingin membantu tapi menahan diri saat Kyra membuat gerakan risih ketika dia mendekat. "Sori, tadi gue lihat lo pingsan jadi gue gendong ke sini." Kyra mengangguk pelan. Sejujurnya masih setengah linglung dengan perubahan mendadak yang dia alami. "Kalau gitu gue pergi dulu." Kembali kyra mengangguk. Tidak ingin sekedar mengucapkan terima kasih atau basa basi lainnya. Laki-laki itu sedikit tidak rela meninggalkan tempat itu dan meninggalkan Kyra di sana sendirian. Pada saat itulah Kyra melihat sebuah tayangan televisi yang ada di ruangan itu sedang menayangkan berita terbaru dari salah satu pengusaha kaya raya Indonesia. Pemilik Mahaka group dan keluarganya tewas dalam kecelakaan tadi malam. Seluruh anggota keluarga dipastikan meninggal dan— Kyra merasa pendengarannya bermasalah. Kata-kata sang presenter berita sudah hilang bersama kewarasannya. Keluarga Kavindra kecelakaan? Sudah dipastikan tewas? Lalu ... Bagaimana dengan Alfa? Napas Kyra tercekat saat dengan terburu-buru dia mencoba menghubungi ayahnya. * * * "Akuisisi semua saham Mahaka menjadi milik Raksa Prakasa. Ganti seluruh nama kepemilikan dan beberapa pejabat tinggi dengan apa yang sudah aku rekomendasikan." Raksa menyulut sebatang rokok dan menghimpitnya di bibir. "Oh, ya, satu lagi. Jangan sampai ada jejak yang mencurigakan. Kematian keluarga Kavindra harus pure kecelakaan tanpa adanya sabotase atau semacamnya." Pria kepercayaannya mengangguk tegas. "Baik, Pak. Ada hal lain lagi yang perlu diubah?" "Untuk saat ini itu sudah cukup." "Baik. Kalau begitu saya permisi." Raksa mengibaskan tangan tanda pengusiran. Begitu tidak ada orang selain dirinya di ruangan itu, dia tertawa kencang.Kebahagiaan nyaris memenuhi dirinya sampai rasanya ingin meledak. Kabar kematian keluarga Kavindra sudah dipastikan dari siaran televisi begitu matanya terbuka pertama kali. Raksa segera menyusun siasat untuk memuluskan rencananya. Mungkin banyak yang tidak tahu jika Rama adalah pengusaha kaya yang teramat bodoh. Gampang percaya dengan orang baru dan memiliki hati naluri yang menurut Raksa sama sekali tidak berguna. Laki-laki itu dengan sukarela dan tanpa menaruh curiga memberikan tanda tangan pada berkas apa pun yang Indra sodorkan. Mungkin baginya Indra adalah manusia paling setia dengan potensi berkhianat nyaris 0,0001%. Padahal yang sebenarnya adalah orang terdekat lebih berpotensi menikam lebih cepat daripada musuh yang terlihat jelas. Raksa menggelengkan kepala. Tidak percaya dengan keuntungan hidupnya yang akan dia miliki sebentar lagi. Angan-angan itu terpaksa buyar saat ruang kerjanya dibuka lebar-lebar. Sosok Indra Sasman—orang paling berjasa di sini melenggang masuk dengan membawa beberapa bundel kertas yang tampak berat. Raksa berdiri dan menyambutnya. "Selamat berjaya, Sobat!" Indra meletakkan kertas-kertas itu dan tertawa bersama Raksa. "Selamat berjaya juga untukmu." "Bagaimana persiapan pengalihan kekuasaan?" Raksa mengambil satu botol anggur dari lemari dan dua gelas tinggi untuk mereka berdua. "Aku sudah menyuruh anak buahku mengurus beberapa keperluan. Bagaimana dengan berkas yang masih kurang?" "Aku sudah membawanya," Indra menunjuk meja, di mana dia meletakkan barang bawaannya. "Segalanya sudah sempurna, Raksa. Tapi aku masih punya satu masalah." Kening Raksa langsung terlipat. "Kamu bilang masalah sudah beres. Bagaimana bisa ada masalah lagi sekarang?" "Bukan begitu," Indra tampak membenahi posisi duduk. "Semua klausal di surat yang aku berikan pada Rama untuk ditanda tangani ternyata keliru. Aku masih mencantumkan nama Alfa sebagai salah satu pewaris yang masih harus menjabat sebagai CEO Mahaka group. Kita tidak bisa menyingkirkannya." Raksa tertawa dengan informasi yang diungkapkan Indra. "Hei, anak itu sudah mati! Kenapa kamu harus memusingkannya?" Lalu dia tertawa kembali. "Jadi hanya itu masalahnya?" "Hanya itu? Apa maksudmu dengan hanya itu?" Indra mendelik tak percaya. "Jasad yang ditemukan polisi hanya berjumlah tiga orang. Sedangkan seharusnya ada empat karena ada korban lain di sana. Aku sudah menyuruh orang dalam menyelidiki siapa ketiga jasad itu dan dua yang lain adalah Rama dan istrinya. Sedangkan besar kemungkinan satu jasad lainnya bukan Alfa Kavindra." "Apa?" Raksa terlonjak. "Jadi masih ada kemungkinan anak itu masih hidup?" Indra menggeleng. "Aku belum yakin. Tapi–" Ucapannya terpotong oleh dering ponsel Raksa. "Siapa?" "Kyra."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD