Part 2- Bimbang

1154 Words
"Assalamualaikum, Tante... " Sore harinya Yasna menyempatkan diri mampir ke ruangan tantenya yang kebetulan saat itu belum memulai prakteknya tapi sudah berada di ruangannya.  Yastri tampak tersenyum ketika melihat kedatangan Yasna, anak dari kakak kandungnya. "Waalaikumsalam. Kenapa, Yasna? Sini duduk." Yasna mengusap tengkuknya dan duduk di kursi di depan Yastri. "Tante tahu soal rencana dokter Farhan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Yastri malah terkekeh geli melihat ketegangan di wajah keponakannya. Kepala wanita yang berumur empat puluh tahun itu mengangguk. "Iya, tante tahu. Tante seneng malah. Razan itu calon dokter spesialis anak, dia juga pintar dan soleh. Pasti dia akan jadi imam yang baik untuk kamu," ucapnya dengan lembut. "Tante juga sudah ngomong sama ibumu, dia pun setuju aja. Malah senang." Kedua bola mata Yasna membulat sempurna. Jadi hanya dia yang baru tahu dengan rencana ini? Padahal rencana pernikahan ini kan justru menyangkut dirinya. Tapi kenapa malah ia yang belakangan tahu? "Kok aku baru tahu sih?" Bibirnya mencebik tak suka. "Lagipula apa pantas wanita seperti aku sama dokter Razan itu? Iya dia soleh dan sopan keliatannya, tapi aku... " Ia seketika memperhatikan dirinya sendiri. Berbeda dengan Yastri yang sudah berhijab sedari remaja, ia malah belum menutup auratnya. Itu pun tak pernah dipermasalahkan oleh kedua orangtuanya. Mereka tidak pernah memaksa Yasna, katanya setiap wanita punya waktu untuk menutup auratnya dan itu sesuai dengan keinginan hatinya. Jika Yasna belum menutup auratnya, itu berarti dia masih belum ingin.  "Seorang wanita perlahan akan berubah menjadi lebih baik mengikuti imamnya nanti. Kamu sekarang pun sudah baik hanya belum disempurnakan saja. Jadi biarkan Razan menyempurnakan kamu dan menjadi imam kamu, Yasna. Tante yakin, dia pria yang baik dan lembut. Malah dia nggak pernah pacaran sebelumnya." Yastri tersenyum mengerti dengan kecemasan yang Yasna rasakan. "Toh kamu juga berpendidikan kok, hanya beda jurusan. Tapi kan yang penting seorang ibu itu berpendidikan agar kelak bisa menunaikan menjadi madrasah pertama untuk anak-anak kalian nanti. Kamu juga cerdas kok. Inget kan kalo kamu pernah lulus tes kedokteran tapi kamu malah lebih memilih kuliah manajemen?" Yasna mengangguk kecil. Sejak kecil ia memang sudah tergolong pintar. Itu pun berkat ibunya yang juga adalah seorang sarjana yang kemudian mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga. Sementara ayahnya pun adalah seorang guru. Waktu baru lulus SMA dia iseng ikut tes kampus jurusan kedokteran dan lulus, tapi Yasna merasa tidak ingin memberatkan kedua orangtuanya dan malah memilih kuliah jurusan manajemen dengan mendapat beasiswa penuh. Merantau di ibukota sendiri hingga kuliahnya selesai dan lanjut bekerja di tempat yang sama dengan tantenya.  "Umurmu juga sudah dua puluh tiga tahu. Sudah cukup untuk menikah." "Tapi Razan saja masih kuliah, bagaimana bisa dia ngajak seorang anak perempuan menikah sementara dia sendiri masih menuntut ilmunya?" tanya Yasna yang tampak ragu. Ia tidak mau kelak menjadi beban bagi Razan dan keluarganya. Terlebih jika Razan masih kuliah spesialis, itu berarti dia masih dibiayai keluarganya, kan? Kalo mereka menikah, masa iya semua bebannya ditanggung oleh keluarga pria itu juga? "Jangan salah. Razan itu punya bisnis loh. Dia punya bisnis properti yang sudah dikelolanya sejak lulus kuliah kedokteran. Meski sekarang bisnis itu dibantu oleh asistennya, tapi itu sudah menjadi bisnisnya Razan. Dia saja kuliah spesialis dari hasil bisnis itu, bukan dari orangtuanya." Yasna merasa begitu takjub dengan sosok Razan. Bagaimana bisa pria itu kuliah kedokteran dan juga mengurus bisnis sekaligus? Pasti sangat melelahkan. "Sudah. Yang penting niatkan dulu untuk menikah. Urusan rejeki jangan dikhawatirkan. Jika pria itu bertanggung jawab, dia tidak akan pernah membuatmu terbebani atau menganggap kamu sebagai beban." Yastri seakan tahu apa yang sedang Yasna pikirkan. "Razan itu pria yang baik, Yasna. Jarang-jarang kan bisa ketemu pria seperfect itu. Udah ganteng, calon dokter, pintar, mandiri pula. Kurang apa lagi hayoo?" Ia menggerlingkan matanya membuat wajah Yasna mendadak memerah.  "Ih tante! Ya udah deh Yasna mau siap-siap pulang dulu. Tapi lain kali jangan aku yang terakhir tahu dong. Berasa kena prank hari ini." Yasna mencebikkan bibirnya lalu beranjak dari tempatnya dan menyalami punggung tangan Yastri dengan sopan. "Iya iya, maaf ya. Ya udah kamu hati-hati." "Oke, Tante. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Yasna pun keluar dari ruangan Yastri dan berjalan menyusuri lobby rumah sakit untuk menuju ke ruang kerjanya lagi. Ia hanya merapihkan mejanya dan mematikan komputernya sebelum akhirnya keluar dari sana sembari membawa tasnya. Namun saat ia baru keluar dari ruangannya, kedua bola matanya membulat melihat kehadiran pria yang dalam beberapa menit pertemuan sudah mengubah banyak hal di hidupnya. "Razan." Razan yang tadinya sedang menyandarkan punggungnya di dinding sembari memainkan ponselnya menoleh ke arah Yasna. Pria itu pun memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya dan berjalan menghampiri Yasna. "Aku sengaja menunggumu." "Eh?" Yasna merasa sangat tidak nyaman ketika Razan tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi 'aku' dan 'kamu'. "Maaf. Sepertinya kamu tidak nyaman ya." Razan mengusap tengkuknya. Ternyata dia pria yang pemalu juga meski lebih sering terlihat cuek. "Eh, nggak apa-apa kok. Jadi nggak kaku kalo panggilannya aku kamu," ucap Yasna yang berusaha menyembunyikan kegugupannya. Untung saja tubuhnya tidak gemetaran saat ini. Rasanya malu sekali berdiri di depan pria yang menurutnya begitu sempurna. Bahkan beberapa pasang mata tampak memperhatikannya sekarang. Pasti setelah ini akan banyak gosip menyebar. Dinding saja mendadak punya telinga kalo soal gosip menggosip. "Baiklah. Aku ke sini untuk mengantarmu pulang dan sekalian ingin lebih banyak mengobrol lagi. Karena nanti malam aku akan kembali ke asrama."  "Oh ya udah deh. Yuk." "Mau ke cafe dulu? Ada rekomendasi nggak? Biar nyaman ngobrolnya." "Oh ada. Nggak jauh dari sini kok." Razan mengangguk lalu ia pun berjalan lebih dulu ke arah mobilnya yang terparkir. Dengan sopan pria itu membuka satu pintu penumpang di depan untuk Yasna. Gadis itu hanya tersenyum kecil dan masuk ke dalam. Ia lalu berjalan ke kursi pengemudi dan masuk ke sana.  Hanya butuh sepuluh menit perjalanan mereka sampai di sebuah cafe yang bangunannya berwarna biru dan putih. Sekilas aroma vanilla langsung menyambut kedatangan mereka yang ternyata di dalam cafe itu terdapat aneka cake yang sangat cantik.  Sepertinya cafe ini adalah cafe favoritnya Yasna, sehingga gadis itu langsung saja memesan makanan di kasir. "Saya pesan tiramisu slice dan matcha latte satu. Kamu mau apa, Razan? Di sini semua cakenya enak. Aku sih rekomendasiin cheese cake blueberrynya." "Ya udah cheese cake blueberry satu sama americano satu. Ini untuk membayarnya," ucap Razan yang langsung menyodorkan kartu berwarna hitamnya ke arah pegawai kasir. "Eh, kok kamu yang bayar?" Yasna memutar tubuhnya dan menatap Razan. Razan hanya diam sampai kasir itu kembali menyerahkan kartu beserta struk pembeliannya. "Nggak apa-apa. Yuk duduk." Ia pun memilih duduk di bagian luar. Apalagi sore hari begini dan udara cukup bersahabat. Cafe ini juga letaknya tidak terlalu dekat dengan jalan besar jadi jauh dari kebisingan dan polusi. Rekomendasi cafe yang Yasna berikan memang benar-benar bagus.  Yasna tampaknya masih tidak suka dengan Razan yang membayarinya tadi. Terlihat bibir gadis itu mengerucut hingga duduk di depannya. "Kan aku yang ngajakin ke sini, masa kamu yang bayarin," gerutunya. Razan mengulum senyum. Biasanya para wanita akan senang-senang saja saat dibayarin oleh pria, tapi Yasna malah menggerutu. "Anggap saja sebagai bentuk pertanggung jawaban pertama aku sebagai calon suamimu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD