Bab 39. Sugarland Club

1049 Words
"Apa maksudmu Sagi? apa yang terlambat?" Bruce bertanya dengan suara tersengal-sengal. Ia menyesal akhir-akhir ini kurang berolahraga. Pekerjaan yang beberapa tahun terakhir ini terasa membosankan, baru kali ini ia merasa adrenalinnya meletup-letup. Menguras tenaga, energi dan pikiran. Seperti puzzle, menyatu kepingan-kepingan untuk dapat mengungkap pembunuh. Ia terus mencari kepingan yang hilang. Ketika menunggu jawaban Sagitany, seseorang yang sedari tadi dicarinya muncul di hadapannya. Sam Hucht. Ia tengah berbincang dengan seseorang yang tingginya di bawah rata-rata orang dewasa pada umumnya. Sepertinya Sam tidak mengetahui keberadaan Bruce di tempat itu. Ia fokus bertanya pada pria pendek itu. Bruce berjalan mendekatinya. Dari alat yang menempel di telinga, Bruce mendengar Sagitany berbicara, "dia sudah mematikan ponselnya. Posisi terakhir ada di tempat itu, Sugarland Club." "Ok terima kasih Sagi." "Ehm Bruce, ini...sudah jam lewat dari jam kerjaku, apa aku boleh pulang?" tanya Sagitany sedikit tidak merasa enak. Itu menjelaskan mengapa ia sejenak menggantung kalimatnya. "It's Okay Sagi, tugasmu sudah cukup untuk hari ini. Sekali lagi terima kasih. Pulanglah," ujar Bruce dengan penuh penekanan pada ujung kata terakhirnya. Bagaimanapun ia butuh kehidupan pribadi. Meski Sagitany paham betul, ponselnya harus tetap menyala selama 24 jam dan ia siap di panggil apabila ada tugas mendadak jam berapa pun. Awal-awal Sagi sering bergurau kalau lebih baik ia mendirikan tenda di dalam kantor kepolisian itu. Setelah 3 tahun ia menjalani pekerjaan itu, ia merasa telah terbiasa dan mulai menikmati. Teman-teman kantor yang baik dan lucu. Terutama dengan Kent, ia merasa sangat cocok. Dengan Bruce, ia sangat segan padanya. Sosok Bruce yang terkadang keras kepala, taktis, dan sangat rasional membuat Sagi merasa hormat padanya tanpa diminta. Bruce juga perhatian tidak melupakan sisi kemanusiaan. Membuatnya semakin betah.   "Hai Sam dari mana saja kamu?" tanya Bruce. "Bruce, kenalkan ini Jason. Dia punya informasi yang penting," ujar Sam. "Coba ceritakan Jason," perintah Sam yang hanya dipandangi hening oleh Jason. Sudah sekitar satu menit berlalu. Jason masih tetap menutup mulutnya rapat. Pelototan mata Sam tidak membuatnya berbicara. Ia tetap bergeming sampai akhirnya membuka mulutnya dan berkata, "aku kan sudah mengatakan semuanya tadi. Tapi aku rasa dia pria yang melankolis tidak mungkin mampu melakukan hal sekeji itu." "Semua bisa saja terjadi, yang awalnya kita anggap tidak mungkin ternyata sebaliknya." Bruce bersikap biasa pada Sam. Tidak ada drama marah-marah atas kejadian siang hari di rumah orangtua Jessica. Kejadian yang membuatnya hampir di tolak masuk. Ada hal yang esensial sebenaranya pertama ketidakpatuhan Sam sangat mengacaukan koordinasi, kedua membuang banyak waktu, tidak efesien.  "Iya bisa saja," ujar Sam merasa mendapat dukungan. Hal yang membuat Jason mengangkat bahunya. Ia tetap terdiam Seakan malas berbicara hal yang sama untuk kedua kalinya. Sam mengalah ia berkata, "Jason tadi bercerita bahwa ia melihat orang terakhir yang bersama dengan Chyrstal." "Bagaimana ciri-cirinya?Mungkin kamu bisa ke kantor polisi besok, supaya tim penggambar sketsa bisa bekerja dan itu mempermudah kita mencarinya."  "Bagaimana kamu bisa ada di sini Bruce? kamu menguntitku?" tanya Sam.  "Tidak adakah tuduhan yang lebih fantastis daripada hanya tuduhan menguntitmu?" Dibalas cengiran Sam. "Aku boleh pulang?" tanya Jason celingukan memotong percakapan tidak bermutu para polisi di depannya. "Oke, hei kami butuh dirimu besok di kantor polisi," Sam menekankan tiap katanya. "Oke Sam, kita sudah lama bekerja sama," ujar Jason berlalu sambil menggandeng wanita mungil yang memakai selendang bulu pink. Bulu-bulunya ada yang berterbangan mengenai hidung Sam. "Haaaatchiiii" "Maaf," terdengar suara lembut yang menggetarkan hati para pria. Bruce memandangi Jason dan wanitanya sampai sudut matanya tidak dapat melihat mereka berdua. Tertutup dinding tebal. Ia merasa curiga pada Jason. Ada sesuatu yang disembunyian pria pendek itu. Sesuatu yang menyalahi aturan. Sesuatu yang melanggar hukum. "Apa wanita itu tidak terlalu muda?" tanya Bruce pada Sam. "Dari mana? kalau kutebak umurnya 21 tahun. Menggoda sekali ya dia," cengir Sam yang sedetik kemudian raut wajahnya berubah setelah lawan bicaranya memandangi tajam ke arahnya. Mereka tidak dalam satu frekuensi yang sama. "Hei kamu belum menjawab, kenapa kamu datang ke sini Bruce?" tanya Sam mengalihkan topik pembicaraan. Melupakan momen canggung. "Petunjuk Sagi, dia bilang nomor ponsel yang terakhir menghubungi Chrystal terakhir kali aktif di lokasi ini. Kemudian tidak lama mati." "Betul dugaanku. Pasti pria itu. Jason bilang namanya John. Hanya itu yang ia tahu." "Paling tidak, besok ia bisa memberikan ciri-ciri fisiknya pada Morgan. Supaya Morgan dapat menggambar sketsa wajah pria itu. Kita dapat mengerahkan anggota kepolisian untuk meringkusnya." "Apa tadi dia datang ke sini? berbincang dengan Jason?" Bruce memanggil pelayan dan ia memesan soda lemon. Tidak ingin ia minum-minuman keras, apalagi disaat sedang bertugas.  "Iya, tepat ketika aku datang pria itu pergi. Kebetulan yang b******k sekali." "Kebetulan juga kamu sudah datang lebih awal ke rumah Mrs Greener tanpa memberitahuku. Bukannya kesepakatan pembagian tugasnya tidak seperti itu," ujar Bruce dengan nada tenang, seperti tidak ada emosi. Hal itu menambah kerikuhan sekaligus respek pada Bruce. Sam menunduk menyadari ia bersalah. "Jangan lakukan seperti itu lagi. Kita itu satu tim, bukan aku, kamu tapi tim. Tujuan kita menangkap pelaku secepatnya. Lupakan tujuan lain," tegur Bruce sekali lagi. "Siap Bruce, aku tidak akan mengulanginya lagi. Sebagai pemula dalam bidang ini aku harus belajar banyak padamu." "Ayok, kita pulang. Besok pagi pekerjaan nonstop menanti," ujar Sam lagi.  "Oke,kamu pulanglah duluan. Aku ingin mengecek toilet terlebih dahulu." Bruce membuka bilik toilet satu persatu. Ia juga mengecek tempat sampah di toilet itu. Membuka penutup atas tempat tuas tangki toilet. Tidak ada benda yang ia cari.  "Oke," ujar Sam.                                                                                                                                                          Dengan gontai Bruce berjalan keluar kelab. Berdiri di sana menyalakan korek dan menghisap dalam-dalam rokok filternya. Berdiri diam di sana sampai hisapan terakhir rokoknya yang sudah mengecil. Putung rokok dijatuhkan ke tanah. Dengan ujung kakinya ia gesek-gesekan untuk memadamkan apinya. Setelah mati sepenuhnya, putung itu ia pungut dan buang ke tempat sampah. Tempat yang sesuai. Ia menelisik isi tempat sampah yang nyaris kosong terlihat dengan mudah benda yang ia cari. Ia mengambil ponsel itu dengan sarung tangan plastik yang selalu ada dalam kantung mantelnya dan memasukkannya dalam plastik bersegel yang selalu ia bawa. Ia menatap langit yang bergemuruh dengan kilatan yang menyambar-nyambar. Besok merupakan hari panjang untuknya. Semoga besok hari baik. Cukup dua korban. Jangan ada lagi. Ia berjalan dalam hujan menuju mobil kesayangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD