Bab 35. Jason Voorhello

1108 Words
                                                                                            JASON   Gadis-gadis sialan. Harusnya mereka bisa memberiku lebih banyak uang. Aku yang mengenalkan mereka pada keran uang. Begitu dapat, mereka dengan enak mendepakku. Bisa-bisanya tidak membagi komisi. Terlebih anak ingusan itu. Huh. Anak baru itu bergaya paling cantik. Baru dapat satu pelanggan tetap saja sudah bangga. Awas ya. Anak baru itu harus dapat pelajaran. Tunggu saja kamu. Chrystal.                   Ketika hendak keluar dari bar ini. Aku melihat satu permata tertidur di pojokan. Ia menelungkupkan Kepalanya di atas meja. Dengan beberapa botol vodka, rum, bir, whiskie tergeletak di sampingnya.  Ia barang bagus. Aku sempat melirik ke arahnya sebelum ia tumbang. Jam menunjukan pukul 4 dini hari, waktunya bar ini untuk tutup. Seorang pelayan mencoba membangunkannya. Ia tidak bergeming. Kali ini diganti dengan sosok berkepala plontos dan badan besar. Berukuran Tiga atau empat kali lipat tubuhku. Si kepala plontos dan badan besar itu seorang penjaga bar. Ia mengoyang-goyangkan tubuh si permata mabuk itu dengan kasar. Permata itu bergumam. Tidak jelas. Ah. Si cantik. Pundi-pundi uangku selanjutnya. “Hey kenapa kalian kasar pada makhluk cantik ini?” tanyaku sambil mengernyitkan alis. “Mau kamu apakan Jason?” tanya si badan besar. “Dia salah satu gadisku,” ujarku mengarang. “Masa? Aku tidak pernah melihat dia bersamamu atau menjadi wanita penghibur,” ujar Si badan besar menggaruk-garuk kepala botaknya. “Sudahlah Spur, biarkan dia membayar tagihannya,” ujar pelayan bar memudarkan ekspresi lugu si badan besar. “Nah pintar kau anak muda.” Aku tersenyum menepuk-nepuk punggung bagian bawahnya. “Berapa tagihannya?” Ia menyebutkan harga dan aku membayarnya dengan uang pas. “Silahkan kau bawa pulang Jason,” ujar si pelayan. “Aku tidak peduli kamu mau apakan, yang penting pembayarannya terselesaikan. Kalau tidak, bisa disuruh ganti rugi aku atau potong gaji bulan depan, terdengar lebih menakutkan dari film horror manapun.” Aku tidak kuat membopong tubuh wanita muda ini. Awalnya tubuhnya menyandar ke tubuhku. Aku berusaha mengheretnya. Hanya dapat berpindah beberapa meter. Aku tidak kuat. Aku memanggil Spur-si badan monster, “Hei Spur, tolong bantu aku bawa gadis ini, dan tolong berhentikan taksi,” ujarku. Rambut brunnette-nya tersibak memperlihatkan pipinya yang cantik. Kalau di lihat-lihat ia masih sangat muda. Sepertinya belum 20 tahun. Dari mukanya malah seperti remaja berumur 16 tahun. Sangat cocok ini dengan kriteria John. Biar sekalian aku tawarkan dan aku tagih juga kekurangan untuk pembayaran Chrystal. Seenaknya meniduri gadis-gadisku tanpa menyisihkan komisi untukku.                                                                                            Supir taksi bolak balik melihat ke kaca spion, melirik ke arahku dan gadis mabuk ini. Kayaknya dia curiga padaku. Di leher gadis ini terdapat kalung bertuliskan nama Amy. Rupanya itu namanya. Anak manis.  "Akhir-akhir ini banyak isu mengenai kejahatan yang semakin merajalela di Prisscot," ujar supir taksi melirik tajam ke arahku. Mencoba ice breaking. Mencairkan suasana hening. Tersirat ada nada mencurigaiku. "Begitulah zaman sekarang, ada-ada saja," ujarku dengan nada tidak senang. Matanya bagaikan elang terus mengawasiku sampai aku memintanya berhenti. Tepat berada di depan bangunan apartemen tua.  "Bob...Bob, tolong aku angkat Amy, dia mabuk," ujarku meneriakan nama Bob, si penjaga apartemen. Ia sering kubantu dan berhutang budi banyak padaku. Pekerjaannya sebagai penjaga apartemen ini juga berkat jasaku. koneksiku banyak. Aku kenal siapapun. sebut saja pemilik kelab, bar manapun aku pasti punya kontak dan sering berhubungan dengan mereka. Makanya hanya aku yang bisa membuat mereka bisa mendapat uang. "Bob," teriakku dengan mengeraskan suaraku. Kepalaku melongok ke arah bangunan apartemen. Dari jauh terdengar suara derap langkah tergopoh-gopoh bergerak menuju arahku. " Mr Verhelo, mohon maaf saya tadi habis dari kamar mandi," ujar Bob sedikit terengah-engah. "Hah lama sekali, cepat bawa gadisku ini naik ke atas," ujarku mendengus kesal. Sambil membopong gadis berambut ungu, ia berkata, "Gadis ini berbeda dengan gadis yang biasanya?" tanya Bob dengan sangat hati-hati ia bertanya. Sepertinya rasa penasarannya lebih menguasainya daripada rasa segan padaku. " Ya, aku akan menolongnya," ujarku sambil membuka kunci apartemen. "Tolong letakkan dia di sofa hitam itu." Jari telunjukku menunjuk sofa hitam besar yang terletak tengah sehingga menjadi paling dominan dalam ruangan ini.   Sepanjang malam ia meracau tidak jelas. Aku sedang membuatkan sup pengar untuknya ketika ia mengangkat kedua tangannya tinggi dan menguap kencang. Kedua matanya kebingungan melihat apartemen ini. Aku memperhatikannya dari dapur. Tidak ada penghalang antara dapur dan ruang tamu. Ketika mata kami bertubrukan ia berkata setengah menjerit, " Siapa kamu?" Aku berusaha menenangkannya, "Ssst, tenanglah. Kamu ada di tempat aman," ujarku sambil mendekatinya. "Bagaimana bisa aku ada di sini?" Ia melongok ke dalam selimut yang membungkus badannya. Wajah pucatnya seketika berangsur- angsur normal ketika melihat baju dan pakaian tadi malamnya masih melekat di sana. "Tenanglah, aku bukan si c***l. Aku menyelamatkanmu dari amukan penjaga dan pelayan bar," ujarku sambil beranjak meninggalkannya kembali menuju dapur. "Kenapa mereka bisa berbuat seperti itu?" tanya gadis itu. "Kamu tidak membayar yang kamu minum dan masih belum sadar ketika bar sudah tutup, honey," ujarku. "Kenapa kamu mau menolongku?" gadis itu berjalan mendekatiku. "Agar kamu mau jadi pekerjaku." "Apa aku bisa punya uang banyak untuk membeli alkohol?" gadis itu sudah berdiri di belakangku. "Tentu bisa, kamu bisa membeli segalanya." Aku memonyongkan bibirku dan menutup mataku. Aku harap ia mengerti isyaratku. Bibirku di kecup pelan oleh gadis itu. Ketika aku membuka mata, ia berlutut agar sejajar denganku.  "Makan sup pengar ini, biar kau tak pusing," ujarku menyurungkan mangkuk kecil. "Memangnya kamu mau bekerja menjadi apapun?" tanyaku sedikit tak percaya. "Apapun, p*****r pun tak apa-apa, asalkan aku punya banyak uang," ujar gadis itu. Huh kukira dia gadis yang luhu. Ternyata tidak. Sama sekali tidak. Tak apalah cocok dengan yang aku mau. Aku menyodorkan tanganku. Ia membalas sodoranku. "Jason Voorhello." "Amy Leslie." "Ada satu orang yang mau membayarmu mahal dan kamu merupakan tipenya." Bola mata Amy berubah membesar menunjukan ketertarikan. Aku mengamit tangan Amy dalam keramaian kelab. Selendang bulu-bulu warna pink menempel di pungungnya menutupi punggung dan dadanya yang kecil. "Mana orangnya?" tanyanya gelisah. "Sebentar, biasanya sebentar lagi dia datang," keringatku menetes dari dahi. "Apa kamu belum janjian dulu?" tanyanya. Sial sedari kemarin, John b******k itu tidak mau menjawab pesan dan teleponku. "Sudah," ucapku berbohong. Bersamaan dengan itu, ujung mataku menangkap sosok berambut cokelat tua memeluk seorang gadis yang sangat kukenal. Aku berjalan ke luar kelab dengan mata terkunci pada sasaranku. Di belakangku, Amy meneriakiku, "mau kemana kamu Jason?" tanyanya yang tak kuhiraukan. Aku terus berjalan keluar dan melihat John membukakan pintu untuk Chrystal disertai kecupan. Cuih. Seenaknya melupakan jasaku. Mereka berdua menaiki mobil Jeep Cherokee tahun 2000-an awal dan pergi meninggalkan kelab. Awas saja ya Chrystal, akan kuhukum dan membuatmu menjerit tanpa ampun.                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD