Bab 23. The Past

1112 Words
Ketika mataku terbuka, aku melihat mereka mengelilingiku. Aku berbaring di sofa cokelat masih di ruangan yang sama. Seketika petir berkilatan di luar dan guntur menggelegar. Hujan tercurah dengan derasnya. Menambah kelembapan pada tempat ini. "Sudah baikan?" tanya si cewek cempreng. "Sepertinya kamu belum makan?" tanya Tommy. "Lah tadi katanya sudah makan," ujar si cewek anggun. Billy beranjak. Ia lalu menyodorkan pizza.  "Makan ini," ujar Billy. Sepotong pizza dengan aroma keju dan sosis. Perutku berbunyi. Aku memakannya lahap. "Kenalkan namaku Scarlet," ujar cewek cempreng. Ia tersenyum. Menjulurkan tangannya. Segera aku membalas juluran tangannya. Memperlihatkan deretan gigi rapinya. Rambutnya sebahu berwarna pirang, memiliki tampilan curly wave dengan poni yang  diwarnai sebagian dengan warna ungu dan pink pastel. Sepertinya ia orang yang menyenangkan. Entah kenapa ia mengingatkanku pada Lucy. Senyum polosnya. Sifat cerianya dan apa adanya. Ia melirik pada cewek anggun di sebelahnya. Semacam kode agar memperkenalkan diri juga. Si cewek anggun tampaknya paham namun sedikit enggan. Ia tetap melipat tangannya di d**a. "Aku Hannah," ujarnya sambil berlalu dariku. Dingin. Dengan suara berat dan dalamnya. Kebalikan dengan Scarlet, ia sangat tertutup. Mengenakan kaos turtle neck yang menutupi lehernya.  Perkenalannya datar. Ia tidak mau berjabatan tangan. Ia pergi begitu saja, menuju ke kamar yang berukuran paling besar. Ia mengenakan kemeja dan jaket tebal. Rambutnya cokelat gelap hampir ke hitam yang dipotong pendek seleher. Penampilannya tidak neko-neko.  "Cepat sekali makanmu habis," ujar Tommy. "Aku ke tato studio ku dulu ya, ada janji dengan seorang pelanggan," ujar Tommy lagi. Ia berteriak ke arah kamar yang berukuran paling besar. Pamit pada Hannah. Ia mengangkat alisnya kepadaku sebagai tanda berpamitan. Tangan besarnya memukul pelan pundak Billy sambil berkata, "ceritakan semua padanya." Ia telah siap menggunakan mantel hujan. Bersiap menembus badai dan segera berlalu dari hadapan kami. Scarlet duduk di sofa yang sama denganku. Billy menarik kursi bulat bulu-bulu, agar sejajar denganku.    "Jam kerjanya sangat tidak beraturan, sangat beda dengan pacarnya," ujar Scarlet dengan mata mengikuti Tommy.  "Pacarnya?" tanyaku. "Hannah pacar Tommy," ujar Scarlet diikuti dengan anggukan kepalaku.                                                                                                                                                                      Billy mulai bercerita sesuai dengan amanat Tommy, "kami berempat merupakan perkumpulan satu darah. Tommy, Scarlet, Hannah, Billy-aku. Dimana ketuanya adalah Tommy dia sebagai pelindung dari perkumpulan ini. Tommy sudah berada di jalanan sejak ia berumur 11 tahun, ia tidak mengenal ayah kandungnya. Ibunya kerap bergonta-ganti pacar sejak ia kecil. Kenapa kami bergabung karena kami semua memiliki keterikatan yang sama. Orang tua yang mengabaikan kami, hidup dalam drama rumah tangga, terseret dalam kekerasan, hukuman demi hukuman. Siksaan demi siksaan ketika kami kecil." "Intinya perkumpulan satu darah terdiri dari sesama remaja yang memiliki background keluarga yang kacau," ujar Scarlet menyimpulkan. "Kalau aku, sejak kecil ayahku suka memukuliku dan melakukan kekerasan padaku. Ada baiknya sekarang aku jadi sosok yang lebih kuat dan jagoan. Ha ha," ujar Billy dengan tawa skeptis. " Bagaimana dengan ibumu?" tanyaku. " Ibuku depresi sampai suatu saat ibuku tidak sanggup. Ia memilih bunuh diri. Meninggalkan aku di usia 13 tahun. Aku kabur dari rumah ketika berumur 14 tahun," ujar Billy datar. Sepertinya ia sudah berdamai dengan masa lalunya.  "Hannah, cewek yang baru saja masuk kamar itu yang paling memiliki hidup normal. Ia  memiliki kedua orang tua lengkap. Orang tuanya cenderung mendorong anak-anaknya agar menjadi anak yang pintar secara akademisi. Berorientasi pada nilai-nilai akademik dan sangat kolot . Acapkali juga dengan memaksanya untuk mengerahkan semua kemampuannya dalam pendidikan. Ia merasa sangat tertekan. Mimpinya hanya satu, ia sangat tertarik pada farmasi, dan ia ingin jadi ilmuwan. Sewaktu Senior High School, dia mengenal Tommy dan jatuh cinta padanya. Mulai saat itu dia hanya ingin bersama dengan Tommy, dia pun mengambil pendidikan dibidang farmasi dan menjadi apoteker, dia tidak ingin meneruskan kuliah lanjutan dan menghapus impian konyolnya menjadi ilmuwan," ujar Billy. "Dia bucin, yang ada dipikirannya cuma mendamba cinta," ujar Scarlet. "Hannah masuk ke perkumpulan ini karena tergila-gila pada Tommy, sungguh lelaki yang beruntung," ujar Billy. "Kalian masih lebih baik Bill, aku tidak mengenal orang tua sejak ia lahir, ibuku mati karena melahirkanku, aku anak pembawa sial," ujar Scarlet sambil menghela nafas berat. "Bagaimana dengan ayahmu?" tanyaku.  "Ayahku sudah lebih dulu meninggal kecelakaan ketika aku dalam kandungan," jawab Scarlet.  "Kakak dari ayahku atau pamanku yang mengasuhku sampai usiaku 13 tahun, setelah itu aku kabur dari rumah pamanku." "Mengapa?" tanyaku penasaran. "Aku merasa paman terutama istri dari pamanku hanya terpaksa mengasuhku, aku acap kali mendapat perlakuan berbeda dengan ketiga anak mereka yang lain," cerita Scarlet menggebu-gebu.                             Mendengar cerita mereka, kegetiran mereka membuatku terpancing untuk bercerita, "tujuanku datang kesini untuk bertemu Sarra." Mereka berdua berpandangan. "Sarra menceritakan tentang perkumpulan ini dan mengatakan bahwa kalian mengasyikkan, namun sedari tadi aku tidak menemukan Sarra. Dimana dia? Apa kalian mengenalnya? " Billy menjawab, "memang Sarra pernah bergabung bersama kami, namun ia pergi ke kota lain, sebuah kota yang jauh lebih besar dan gemerlap. Kota Highland. Sarra melakukan itu untuk mengejar cita-citanya menjadi pemain Broadway." "Wow, suatu kemajuan. Aku tidak tahu kalau Sarra punya passion itu," ujarku. "Sarra pergi bersama Kim. Selama ini Kim yang mendorongnya melakukan hal tersebut. Sarra mencintai Kim dan Kim pun demikian," ujar Scarlet. "Bagaimana fisiknya? Seharusnya yang menjadi pacar Sarra orang yang sangat tampan," ujarku. "Kim ehm sangat cantik. Mereka pasangan lesbi," ujar Scarlet.  Haa... Sarra. Really? Bagaimana bisa? Ia sedari dulu menyukai cowok tampan. Tipe-tipe Jeff. Sarra tergila-gila pada Jeff. Akh Jeff lagi.  Jeff lagi. Kenapa namanya selalu teringat. Hal itu  menimbulkan tanda tanya dan sedikit kecewa. Tidak menemukan Sarra. Sekalinya mengetahui info tentang Sarra, malah yang didapat info yang jauh diluar perkiraan yang selama ini aku pikirkan. Bagaimana bisa Sarra lesbi? Sewaktu sekolah dulu Sarra bukan seorang penyuka wanita. "Bagaimana keadaan orang tuamu?" tanya Billy. "Ibuku dipenjara karena membunuh Ayahku..." Ada jeda yang sangat lama disana. Aku biarkan kalimatnya menggantung.  Mereka penasaran. Scarlet memajukan badannya. Menyimak apa yang selanjutnya keluar dari mulutku. "Tidak Ibuku tidak bersalah, aku yang membunuhnya..." air mataku menetes sederas hujan di luar sana. Scarlet mendekatiku. Ia memelukku. Aku menangis lama di pelukannya. Billy mengusap-usap rambutku. Mencium lembut kepalaku yang tertunduk. Di luar badai masih belum reda seakan-akan mengamuk menuruti sakit hatiku ini.    Walau baru beberapa jam aku bersama mereka. Aku merasa aku menemukan rumah. Mereka sangat bersahabat, sangat terbuka terutama Billy dan Scarlet. Scarlet berkata, "kamu boleh bergabung bersama kami."  "Tujuanku kesini untuk mencari Sarra sebenarnya, entahlah di luar juga badai tidak kunjung reda," ujarku setelah tangisku reda. "Tidur di sini sajalah. Kamu bisa pakai kamarku," ujar Billy.  "Tidak usah Billy. Biarkan aku tidur di sini...di sofa ini," ujarku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD