Bab 50. Sesuatu di Gang

1021 Words
                                                                                       ANGEL Aku harus cepat...aku harus cepat... Aku terbangun dan melupakan mimpiku... Sepertinya tadi malam aku bermimpi buruk Dua hari sebelumnya juga... Tapi aku lupa... Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan otak anehku... Mungkin sekarang aku mulai berubah menjadi manusia normal... Ah entahlah... Aku bergegas memakai mantelku dan menutup pintu depan seketika udara dingin menyambut ujung hidungku, membuatnya berair. Malam sebelumnya setelah aku melihat berita tentang pembunuhan Sarra, aku langsung menelepon Miss Philly mengabarkan kalau aku demam dan esok hari-berarti hari ini, aku tidak masuk kerja. Rencanaku akan mengunjungi apartemen yang diliput di televisi dimana mayat Sarra terlihat ditutupi kantong pembungkus mayat. Aku kenal tempat itu, Bangunan warna-warni norak itu. Letak bangunan itu berada di perbatasan antara Prisscot selatan dan Prisscot utara. Lebih dekat dengan Prisscot selatan, dekat dengan sekolahku dan Sarra dulu, dekat dengan rumahku dan Sarra. Dulu. Masa lalu. Teringat sewaktu bersama Sarra, kami berdua setiap melewati bangunan itu pasti tidak lupa untuk menoleh dan menertawakannya. Ironi. Mengingat beberapa tahun setelah menertawakannya, Sarra tinggal di apartemen itu dan mati mengenaskan di situ. Membayangkannya saja sudah membuat bergidik. Sarra. Kenapa? Kenapa harus Sarra.  Masih terdengar suara anjing menyalak. Suaranya terdengar sayup-sayup. Tidak salah lagi, itu pasti suara Dixie, anjing mungil yang ditemukan Scarlet dan dipelihara olehnya. Pertanda aku berjalan masih tidak jauh dari markas satu darah. Ketika sampai pada gang di depan rumah kosong dan tempat pengolahan limbah daur ulang yang tidak terpakai lagi, terasa ada yang mengikutiku. Aku berjalan dengan langkah kaki lebar-lebar. Sementara langkah kaki yang berada di belakangku makin lama makin kencang terdengar suara derap langkahnya. Pertanda semakin dekat. Aku berjalan dengan sedikit berlari. Langkah kaki di belakangku juga memiliki ritme nada yang sama. Apakah ia berlari juga? Aku tidak berani menolehkan muka, sekedar melihat apakah benar ada orang yang berjalan di belakangku dan apakah memang tujuannya untuk mengikutiku. Serasa keberanianku dipadamkan oleh suara langkah kaki berat itu. Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kenapa pagi begini tidak terlihat satu orang pun. Padahal saat ini, aku berharap orang yang dapat menolongku atau sekedar membuat orang di belakangku mengurungkan niat jahatnya kepadaku. Kegelisahanku sedikit memudar ketika mata ini melihat ujung gang ini sudah dekat, hanya beberapa langkah saja. Sudah tidak terdengar langkah kaki berdebam yang membuntutiku. Aku benar-benar lega. Aku memperlambat langkah kakiku. Mulai berjalan dengan kecepatan normal pada umumnya. Sampai tangan besar mencengkram bahuku. Kuat-kuat.  "AAAaaaahhhhh," teriakanku bergema. Ternyata dia tepat di belakangku. Aku meronta. Dia, sosok itu berhasil memberhentikan langkahku. Selagi ia belum membungkam mulutku, aku ambil kesempatanku untuk terus menjerit. Akankah aku bernasib seperti Sarra. Aku menutup mata ketika sosok di belakangku memutar badanku. Kini aku berhadapan dengan sosok itu. Ia menghembuskan nafasnya. Terdengar begitu kuat. Hidungnya sejajar dengan kepalaku. Ia menggoncang-goncangkan badanku. "Angeeeel," serunya. Dia tahu namaku. Dia...tunggu dulu, sepertinya aku mengenal suara itu. Suara berat dan langkah kaki berat. Dia jauh lebih tinggi dariku. Dia... Aku membuka mata dan ternganga kaget. "Tommy?" Dia memicingkan mata.  "Kamu kenapa? sedari tadi mengikutiku? Oh my God, Tommy..." Aku menjatuhkan diri di jalan. Terduduk lemas. Hatiku lega ketika mengetahui bahwa sosok yang terdengar suara langkah kaki beratnya itu ternyata Tommy.  "Kamu mau kemana? sepagi ini? bukannya butuh dua jam lebih siang jika kamu kerja di tempat makan pancake itu?" "Aku...aku...oh aku," aku bingung menjawabnya. Ditodong berbagai pertanyaan sekaligus seperti itu ditambah kondisiku masih belum sepenuhnya pulih dari serangan guncangan yang memicu adrenalin akibat stres, tertekan dan takut pada saat bersamaan. Tommy mengubah posisi, ia duduk di depanku.  "Kamu lupa ya ada janji dengan agen properti?" "Ha agen properti?" Agen properti siapa? batinku. Seingatku orang yang aku kenal berprofesi sebagai agen properti adalah Jason Voorhello. Tapi tidak, tunggu. Dia sudah ogah-ogahan menjadi agen properti, hidup dari komisi penjualan. Walau sebagian besar orang mendamba pekerjaan itu, bagi Jason itu membosankan. Ia lebih memilih menjual gadis-gadis atau perantara para gadis untuk kerja di dunia malam. Walau santer terdengar kabar ia sudah keluar masuk rumah tahanan kepolisian namun tidak sampai diadili apalagi dijatuhi hukuman penjara, berbekal koneksi yang kuat dan penghargaan masa lalu karena turut membantu kepolisian, terutama polisi bagian narkoba.  "Hei Angel, iya betul agen properti masa kamu lupa sih pembicaraan kita bertiga seminggu yang lalu," ujar Tommy lagi. Ia memperhatikanku dengan sorot wajah prihatin dan simpati. Ia menarik tanganku dan mengangkat badanku. Sementara otakku terus bekerja, mengingat pembicaraan seminggu yang lalu. memutar memori yang saat ini terasa sulit. Ada yang tidak beres dengan sel-sel kelabu pada otakku. Samar-samar aku mengingat raut wajah Hannah sambil menyendokan salad ke mulut mungilnya. Tommy di sebelahnya dengan menggigit pizza. Iya itu, malam itu , di mana hanya ada kami bertiga. Ketika aku berkata meminta masukan mereka bagaimana kalau aku bekerja sebagai stripper. Dan mereka menyetujuinya dan seakan mendorongku untuk melakukannya.  Sebelumnya aku menceritakan impianku memiliki rumah mungil dengan penataan yang artistik, rapi dan menyenangkan. Lalu aku ralat lagi karena itu tidak mungkin aku dapatkan dalam jangka waktu dekat ini. Kemudian membayangkan sewa apartemen, rasanya biasa saja, bukan sesuatu yang aku damba-damba. Kemudian Tommy menyarankan untuk sewa saja, baik rumah atau apartemen. Untuk rumah di Prisscot utara termasuk mahal dibandingkan dengan daerah lain. Begitupun harga sewa rumah di Priscot utara. Aku tergugah begitu melihat gambar rumah trailer yang dididesain unik dan tidak sumpek layaknya ruangan dengan atap pendek dan ukuran luas yang kecil. Rumah trailer itu memiliki satu ranjang yang terletak di bagian atas ruangan di bawahnya bisa dimanfaatkan menjadi tempat bersantai dan ada dapur serta kamar mandi di pojok ruangan. Cantik sekali. Waktu itu juga Tommy bercerita kalau ia punya kenalan seorang agen properti dan memiliki trailer bagus yang siap untuk disewa. Tunggu jangan bilang hari ini Tommy akan mengajakku ke agen itu. Aku punya rencana lain. Sial. Terlambat. Tommy berkata, "Ayok Angel sebentar saja temanku sudah siap menunjukkan trailer itu untukmu. Sayang kalau melewatkannya." Tommy sudah menyeret lenganku, setengah terpaksa aku menurutinya. Rencanaku tertunda. Tidak gagal. Belum. Hanya saja belum sekarang. Sehabis menuruti keinginan Tommy, aku akan ke sana. Mencoba menguak keberadaan Sarra selama ini, kenapa ia tidak pergi dari Prisscot seperti yang diceritakan oleh satu darah. Bagaimana ia dibunuh? Siapa yang membunuhnya? Tunggu aku Sarra. Aku akan menyelidikinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD