Bab 17. Bergunjing

987 Words
Tiap malam aku melihat kalender itu. Kalender yang terpasang di kamar foster care ini. Tinggal besok waktu persidangan Ibu. Sepanjang malam aku melihat kalender itu. Melupakan kantuk dan tidak bisa memejamkan mata. Menjadikanku tertidur ketika jam pelajaran bahkan ujian.  Besok juga hukumanku berakhir. Hukuman membersihkan toilet. Selanjutnya selama tiga hari, aku diskors tidak boleh mengikuti pelajaran. Tapi tetap absen dan berada di ruang hukuman dan bimbingan ke ruang masing-masing guru.  Ketika aku membuka lokerku untuk memasukan buku-buku. Aku melihat disekelilingku sudah penuh oleh kerumunan para siswa. Mereka terkikik-kikik. Pandangan mereka terbagi antara memandangku dan layar ponsel mereka. Si usil dan pembuat onar Matt mendatangiku. Menyeruak dari kerumunan. Ia berada tepat di sampingku. Ia berkata sambil menutup hidungnya "Kenapa bau sekali?" "Aku belum mandi, ujarnya menirukan suara wanita" "Bagaimana bisa mandi, antreannya panjang sekali, masih dengan suara wanita." "Ditambah lagi,  anak-anak kecil ini bergantian mengompoliku," ujarnya tertawa.  Teringat kembali ketika pertama kali aku mendapat tugas untuk membersihkan toilet. Ketika Kate dan Lucy turut serta membantu. Sialan. Mereka berdua. Pasti mereka berdua yang menyebarkan cerita itu. Membuatku jadi bahan tertawaan.  Siang harinya saat hendak duduk untuk makan siangku, aku bingung hendak duduk dimana. Tidak ada bangku kosong untukku. Jeff memalingkan muka saat tatapan mata kami berdua bertabrakan. Kate tertunduk. Lucy pura-pura tidak melihatku. Segera aku palingkan muka karena aku tidak mau  melihat Thania atau Clara. Tidak ada bangku yang tersedia untukku. Akupun melangkahkan kaki menuju toilet.  Memakan taco dan nachos di sana. Betapa roda berputar. Beginilah diriku. Menyedihkan. Aku terus makan dengan menutup toilet dan menjadikannya dudukan. Makanku terganggu karena mendengar tawa cekikikan dari balik pintu. Terlihat Bayang-bayang di balik pintu. Kelihatannya ada beberapa orang yang berkerumun. Benar saja Thania menyembulkan wajahnya dari bawah pintu yang didesain ada celah di bawahnya.  "Gotcha..." Selanjutnya ia menarik tong sampah sehingga berderit. Ia menaiki tong sampah dan memfotoku dari atas. "Fotomu akan terpajang di buku tahunan kelulusan kita," Mereka tertawa. Selanjutnya mereka melempari keripik tortila dari atas sana. Mereka bersahut-sahutan, berteriak.  "Makanlah ini" "Setelah itu jangan lupa bersihkan" "B*tch" Tidak terlihat Kate. Apapun itu, aku tidak ingin terpedaya oleh Kate atau si bodoh Lucy. Aku hanya diam saja. Menelan kepahitan demi kepahitan. Inilah hukuman yang harus aku terima. Disamping pak Kepala Sekolah juga memberi teguran yang cukup keras kepadaku. Teringat hukuman dari sekolah yang masih aku jalani. Aku hanya ingin semua ini berakhir.                                                              *** Ketika malam sekitar jam 10 aku terbangun karena tidur terlalu cepat. Kamarku dan kamar-kamar lainnya sudah redup. Sudah mematikan lampu utama dan digantikan oleh lampu tidur. Ketika hendak ke kamar mandi yang terletak di luar kamar aku mendengar suara tertawa mengejek. “Anak baru itu, kasihan sekali dia. Tidak bakal ada yang mau mengadopsinya. Umurnya tanggung,” ujar Brandon dengan suaranya yang volumenya melebihi suara film di televisi. “Dia akan membusuk di sini selama berapa tahun?” tanya Milly “Sebentar usianya berapa 16 thn?” tanya Milly lagi.  “Bongsor sekali ya dia, kukira sudah 20 tahun,” ujar Brandon. “Dasar otak m***m,” Milly terkekeh. “Siapa yang m***m, memang dia bongsor, bukan yang tidak-tidak,” ujar Brandon dengan cepat. “Bilang saja kau menyukainya,” ujar Milly. “Tidak, dia bukan tipeku,” jawab Brandon. “Kamu selalu mengubah arah pembicaraan. Siapa coba yang m***m,” ujar Brandon lagi. “Enam belas tahun berarti masih sekitar lima tahun lagi ya dia akan lama disini, ujar Milly” “Yup, lima tahun yuck. Membusuk di sini, ujar Brandon.” “Semoga aku mendapat pekerjaan yang lebih baik tidak lama lagi,” ujar Milly sambil mengganti saluran televisi. “Ayo taruhan dia atau kamu yang lebih dulu keluar dari sini,” tantang Brandon. “Ha ha ha tidak mungkin lah dia kabur, dia kan anak yang penakut tidak berani dia menatap mataku,” ujar Milly. “Kamu menyukainya ya?” tanya Milly. “Tidak,” jawab Brandon tegas. “Begitupun aku entah kenapa, dia seperti memiliki energi gelap dan jahat,” ujar Milly. “Mungkin itu berasal dari ibunya,” uajr Brandon. “Kamu tahu kenapa dia ada disini?” tanya Milly. "Kamu kan tahu aku paling malas membaca file," ujar Milly lagi. “Akan kuceritakan, ibunya di penjara karena membunuh suaminya. Ibunya dikabarkan punya penyakit jiwa,” terang Brandon. “Hih mengerikan. Bibit yang buruk,” ujar Milly. "Sudah lewat jam kerjaku, aku pulang dulu ya. Hati-hati piket malammu," ujar Brandon. "Okay, kamu juga stay safe." Menjijikan. Aku menggepalkan tanganku. Meremasnya keras. Tidak mempedulikan sakitnya ketika kuku melukai telapak tanganku. Mendengar mereka berbicara seperti itu di belakangku. Lihat saja apabila bertemu denganku selalu bermanis-manis. Memuji-mujiku. Tenang saja aku tidak akan membusuk di tempat ini. Kalianlah yang membusuk di tempat ini. Di manapun.                                                      ***  Persidangan  Keterangan terdakwa. Saat itu aku baru saja pulang belanja sekitar pukul 18.00. Sewaktu di dapur, Halbert meminta  aku memberikan uang untuknya. Katanya aku tidak pandai mengatur keuangan. Ia meminta uang itu untuk membeli whiski. Aku tidak memberinya. Ia mengancamku. Aku ketakutan dan membawa pisau  dapur kemudian aku  berjalan mundur  sambil tetap menakut-nakutinya dengan pisau. Aku masuk ke dalam kamar Angel yang posisinya paling dekat dan satu garis lurus dengan dapur. Aku mengunci dengan menggunakan kunci slot pada kamar Angel. Ia mendobrak paksa sehingga pintunya rusak. Ia mencoba mencekikku tapi tidak berhasil. Ia berhasil mencakar wajahku.  Aku ketakutan saat itu. Aku melayangkan pisau untuk membela diri tidak kusangka itu mengenai  d**a kanannya. Meski sudah terkena, dia masih berdiri tegak menatapku penuh amarah. Sedetik kemudian ia maju berusaha meraih diriku. Rambutku berhasil ia tarik. Aku meronta mencoba melepaskan diri darinya dengan membabi buta menusukkan pisau kearahnya. Itu begitu cepat  terjadi. Ketika ku tersadar. Ia sudah terkapar bersimbah darah.                                                                                                                                                    Aku menutup mata. Diriku seakan tertarik kembali pulang kerumahku. Mengalami kejadian saat itu...                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD