Bab 14. Insecure

1206 Words
Peralihan musim panas ke musim gugur, Prisscot 5 Mei 2005. Aku berjalan terus berjalan. Tidak peduli angin malam yang berhembus dengan kencang. Malam ini bulan meringkuk berselimutkan awan. Semakin menambah kegelapan. Masih kudengar bunyi jantungku. Berkelebatan kejadian yang baru saja aku alami. Seperti menonton potongan-potongan video. Kejadian mengerikan itu berlangsung sangat singkat. Bagaikan berlangsung hanya dalam satu tarikan nafas. Masih tidak percaya hal itu nyata adanya. Mimpi...tolong bilang ini cuma mimpi. Ini bukan kejadian nyata yang aku alami. Sayangnya tidak. Seperti tertampar oleh realita. Ini nyata dan harus aku alami. Apakah semua akan baik pada waktunya nanti. Kapan? Bagaimana? Seperti Apa? Aku sungguh-sungguh tidak bisa membayangkannya. Gelap. Seketika duniaku gelap. Seperti apa masa depanku. Seperti apa keadaan ibuku nanti.  Jika ia harus meringkuk di penjara. Bagaimana penyakitnya. Apakah aku harus berterimakasih atas pengorbanan ibuku. Akankah para penyelidik percaya dengan sandiwara yang dimainkan ini. Oh Tuhan... Kenapa ini terjadi, kenapa ini menimpaku.       Angin malam bertiup kencang menerbangkan benda-benda kecil di jalanan. Hoodie yang aku pakai sudah berulang kali terlepas. Aku pasang kembali. Sedikit bisa menghalangi dari kedinginan yang teramat menusuk. Aku mematikan ponsel dan memasukan ke dalam saku. Terdengar suara angin seperti siulan. Beberapa anjing menyalak. Sudah dekat dengan kompleks perumahan. Sepi sekali trotoar malam ini. Udara dingin akhir-akhir ini membuat siapapun tidak betah berlama-lama diluar. Tidak siapapun, terkecuali aku. Udara yang sangat dingin kali ini membuat siapapun lebih memilih berada dalam rumah berperapian. Menikmati hangatnya cokelat panas atau meringkuk dalam selimut tebal diatas ranjang yang empuk. Sepertinya alam bersekutu. Menghukumku.  Memasuki sebuah kawasan lingkungan pemukiman mendadak hatiku merasa lega. Kurang dari satu jam aku berjalan. Tepatnya lima puluh lima menit. Dengan langkah kaki 5.781 langkah. Berjalan kaki ini sedikit membantu untuk menghilangkan kecemasanku. Berjalan kaki mampu meningkatkan hormon endorfin dalam otak yang membuat diri kita merasa lebih baik. Endorfin sendiri merupakan penghilang rasa sakit yang alami dari dalam tubuh. Selain itu juga meningkatan rasa bahagia pada otak. Bahagia? belum mungkin aku harus mengelilingi dunia dengan berjalan kaki sehingga bisa bahagia. TIdak... cukup berikan aku lupa. Bagian mengerikan dalam hidupku harus dihapus. Andai saja itu bisa.  Aku berhenti berjalan ketika aku melihat rumah dengan atap serasi dengan tembok yang dilapisi batu berwarna cokelat natural. Halaman depannya luas dengan rumput hijau yang terpotong rapi. Dari balik tirainya terlihat sekumpulan remaja tertawa. Mereka berpesta. Seseorang dari dalam sana berdiri tertegun melihatku. Ekspresi mata yang tadinya hampa itu berubah bersinar ketika melihatku dari balik jendela. Ia bersorak-sorak, memberitahu teman-temannya bahwa aku datang. Seseorang itu Jeff. Ia berlari membuka pintu. Memelukku.  Mataku berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi kabur dan gelap. Denging panjang terdengar di telingaku. Samar-samar aku melihat Jeff membopongku dan menggotongku ke sofa kulit berwarna hijau tua. Mereka merubungiku dan aku menangis terus menangis.     "Ada apa Angel?" tanya Jeff     "Apa yang terjadi?" tanya Clara     "Kami kira, kamu tidak datang," tanya Laura     "Wait, Angel akan aku hangatkan sup. Hey Clara kamu punya sup kan," ujar Lucy. Mereka semua memandangi Lucy. Aku memegang tangan Lucy dan berkata "Aku tidak lapar," ujarku patah-patah. Aku tidak sanggup menjelaskan apa yang terjadi pada mereka. Toh nantinya mereka akan mengetahuinya.     "It's Okay beb...ssst...ssst."     Aku terus menangis dengan Jeff memelukku.  Aku tengah mengaduk-aduk spagetti di kantin sekolah. Tidak memakannya hanya terus mengaduk. Memutar-mutarkan spagetti dengan ujung garpu. Warna sausnya merah, seperti darah Halbert. Sementara anggota cheerleader dan Jeff tertawa.      "Kalian harus melihat muka t***l Lucy," ujar Clara sambil menunjukan layar ponselnya satu persatu kepada kami. Lucy teriak mencoba meerebut ponsel dari tangan Clara. Aku hanya menanggapinya sekilas. Seketika berubah menjadi hening tatkala seseorang laki-laki  berdiri di depanku.      "Apa benar kamu Angel Lorianne Haris?"     "Iya, ada yang bisa ku bantu?"     "Aku ingin mengabarkan tentang kejadian tadi malam yang terjadi di rumahmu."        "Ada apa, apa yang terjadi?" tanyaku terkejut. Berusaha sebaik mungkin untuk terkejut. Pria itu melirik ke arah teman-temanku. Mereka merasa tidak nyaman. Clara berdiri sambil membawa nampan berisi makanan. Diikuti oleh mereka semua. Jeff yang meninggalkanku paling terakhir. Mereka merangsek menuju bangku para pemain baseball. Setelah mereka semua pergi. Tinggal aku berdua. Rambut rapi di sisir klimis kebelakang, badan tegap walau sudah berusia sekitar lima puluhan awal. Sepertinya ia polisi. Detektif lebih spesifiknya.      "Aku detektif Bruce dari divisi kriminal bagian pembunuhan." Tepat sekali. Selanjutnya perutku seperti tertonjok. Tanganku seketika dingin. Aku mengangguk perlahan tanpa mengeluarkan sepatah kata menanggapinya. Tenggorokanku terasa kering. Mendambakan jus buah segar yang tersaji di depanku. Aku hanya berani melihatnya. Aku takut hal-hal kecil yang kulakukan di depannya akan membuatnya mencurigaiku.     "Kamu ingin aku beritahu nanti di kantor polisi atau sekarang?"     "Sekarang, ada apa? apa yang terjadi. Tolong bilang ibu baik-baik saja."     "Ibumu baik-baik saja. Terdapat luka-luka gores kecil pada wajahnya"     "Ayahmu meninggal. Ibumu sekarang berada di sel tahanan di kantor polisi."     "Tidak mungkin, ini tidak mungkin," aku menangis. Menutup wajahku.Kamu bisa mengunjungi ibumu. Mungkin nanti, kamu akan kami mintai keterangan lagi. Detektif itu berlalu. Jeff dan gerombolannya mengerubungiku.                                                                                             ***     Aku berada dalam sebuah ruangan dimana kaca berukuran besar dan memanjang menjadi salah satu pembatas ruangannya. Di dalam ruangan ini terdapat meja berukuran besar dengan empat kursi. Disebelahku duduk Nancy-pengacara dari negara yang mendampingi ibuku,dan Mrs Anderson-perlindungan anak. Sementara di hadapanku duduk seorang pria muda dengan tatapan beady-eyed     "Berapa usiamu?"     "Enam belas."     "Bisa kamu ceritakan tadi malam."  Otakku sempat membeku sesaat. Sebelum mengingat skenario yang sudah kususun bersama ibu.      "Aku berada di rumah waktu itu sekitar jam 18.00, sampai aku mendengar pertengkaran kedua orang tuaku dari dapur. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku pergi menuju rumah Clara yang sedang mengadakan pesta. Sepanjang jalan aku menangis karena hampir setiap hari aku mendengar kedua orang tuaku bertengkar. Aku berhenti sejenak di taman kota.  Menangisi pertengkaran orang tuaku. Setelahnya aku menginap di rumah Clara tidak tahu hal itu sampai keesokannya ketika makan siang di kantin aku mendengar berita itu dari detektif Bruce."     "Apakah kamu sering menginap di rumah teman?"     "Akhir-akhir ini sering."     "Bagaimana dengan ayahmu, seperti apakah dia?"     "Dia sangat temperamen, suka mabuk-mabukan dan seringkali bertengkar dengan ibuku."     "Kalau ibumu?"     "Dia orang yang sangat penyayang. Aku tidak habis pikir dia bisa melakukan itu."     "Bagaimana dengan kondisi kesehatannya?"     "Setahun belakangan ini, ia divonis menderita sindrom morgellon. Aku sendiri tidak mengerti seperti apa sebenarnya sindrom itu. yang aku mengerti kondisi ibu sering mengeluhkan gatal sehingga tidak dapat konsentrasi. Ia juga mudah lupa."  Setelah tanya jawab berakhir, tatapannya berubah menjadi simpati. Selanjutnya hidupku berubah. Aku masih sekolah. Kegiatan rutinku menjalani persidangan demi persidangan. Didatangi orang dari lembaga sosial yang menangani anak-anak tanpa orang tua berusia dibawah 21 tahun. Didatangi detektif dan para polisi. Dan aku tidak punya wali lainnya selain ibuku yang tengah meringkuk di rumah tahanan menjalani persidangan demi persidangan. Perlahan aku menarik diri dari pergaulan. Dari anggota cheerleader, dari Jeff, dari siapa pun.  Aku ditampung di foster care, semacam panti asuhan yang memfasilitasi adopsi anak-anak dibawah umur, sampai berusia dua puluh satu tahun. Penghuninya Kebanyakan berusia sembilan sampai sepuluh tahun. Tidak ada seumuranku. Keadaannya membosankan. Sampai disuatu hari ketika berjalan hendak menyebrang, aku melihat Sarra sedang diujung jalan menaiki bus. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD