2. Gigitan Sayang

1357 Words
"Kalau begitu, masih ada kesempatan buat saya, dong!" sebuah suara nge-bass seorang lelaki di belakangku, mengalihkan perhatian semua orang. Saat aku menoleh, aku terhenyak dengan penampilan orang asing di hadapanku. Tampak sosok tinggi, kekar atletis. Hidungnya mancung, berjenggot tipis, dan bermata biru jernih. Bibirnya yang terbelah di bagian bawah, sedang tersenyum ke arahku, membentuk lesung pipit di sisi kiri. Sungguh, aku tak yakin bahwa yang kulihat adalah manusia ataukah elf. "Kenalkan. Saya Liam, rekan bisnis Ardi," kata lelaki tampan itu mengulurkan tangannya padaku. Matanya memandangku lekat penuh kekaguman, seolah mengatakan 'Kamu benar-benar cantik. Kenalan, dong'. Wanita mana yang tidak terlena bila ditatap dengan pandangan seperti itu? Namun, belum sempat aku menyambut uluran tangannya, tiba-tiba Rama menyambar tangan Liam dan menggenggamnya erat. "Saya Rama. Teman Ardi dan Rania. Senang berkenalan dengan Anda," ujarnya mantap, menatap Liam dengan penuh percaya diri. Hei, apa maksudnya ini? Para wanita yang melihat keduanya saat ini pasti merasakan jantung mereka berdegup terlalu kencang, karena melihat dua orang sangat tampan sedang berjabat tangan, sekaligus ingin saling membanting. Sungguh pemandangan yang sangat khas di mata para penggemar drama seri Asia Timur, kan? Hanya saja, wajahku yang sedang melongo bercampur jengkel ke Rama karena merusak suasana romantis sebelumnya, akan membuyarkan drama ini. "Oh, ya. Kita habis ini ada meeting untuk tema rancangan kita bulan depan lho, Sin. Ayo buruan pulang," ajak Rama sembari menarik lengan kananku agak memaksa dan segera pergi meninggalkan Liam yang masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Teman-teman yang tadinya diam, kini mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. Entah apa yang mereka bicarakan tentang kami bertiga. Semoga bukan tentang sesuatu yang buruk yang akan muncul di media massa esok hari. *** "Kamu ngapain sih, Ram. Narik-narik aku kayak gitu tadi?" protesku ngambek karena kehilangan kesempatan untuk berkenalan dengan bule ... siapa tadi namanya ... Liam? Entahlah. Yang jelas, dia gantengnya minta ampun. Enggak ada duanya. Berbeda aura dengan Ardi. Di mana lagi aku akan menemukan bule yang pintar berbahasa Indonesia? Kapan lagi ada bule yang tertarik mendekatiku, yang enggak bisa bahasa Inggris dengan baik? "Jelas-jelas dia maunya kenalan sama aku. Kok kamu yang menyambar gitu, sih? Teman-teman cewekku aja enggak kayak gitu kelakuannya. Enggak bakalan mereka main rebut gitu ...." "Justru itu, Sin. Kita kan nggak tahu siapa dia. Bahaya kalau kamu diapa-apain sama dia," jawab Rama kesal karena aku protes. Lagi-lagi... Tidak tahukah Rama kalau aku sebal dengan kelakuannya yang over-protektif. Seolah-olah aku ini adiknya, atau bahkan anak perempuannya? Kalau seperti ini terus, kapan aku bisa dapat pacar dan menikah? Menikah? Jauh panggang dari api. Laki-laki mana pun akan malas mendekat kalau ada bodyguard yang rela bekerja tanpa gaji. Pengawal khusus yang rela bertugas walau tak disuruh. Polisi yang bertugas di luar jam kerja. Atau apalah itu mereka menyebutnya saat ini .... Aaarrrgghhh! Frustrasi sekali rasanya. Mengapa Rama enggak mengerti juga kalau setiap hari usiaku bertambah. Aku membutuhkan pendamping hidup suatu saat nanti. Berkeluarga dan memiliki anak. Tentunya aku harus mulai menginvestasikan waktu mulai dari sekarang, 'kan? Kalau tidak, bisa-bisa aku akan menjadi perawan selamanya seperti candaannya. Tentu saja aku tak ingin candaan Rama tentang 'perawan tua' berubah menjadi kutukan! Karena rasa marah yang tak terbendung, akhirnya aku meluapkan semua rasa kesal ini. Aku menggigit pergelangan tangannya yang masih menarik lenganku dengan sepenuh hati. Aku mengabaikan Rama yang menjerit keras. Sedalam mungkin kubenamkan gigi-gigiku ke dalam otot tangannya yang keras dan liat. Sial, andai saja aku ini serigala, tubuh se-atletis dia pun pasti tertembus. "Aaaarrrgghhh!!!" jerit Rama kesakitan kesekian kalinya. Dia melepaskan genggaman tangannya dari lenganku, "Apaan sih, Sin!!! Kamu ini cewek apa binatang buas???" "Tau, ah!!! Sebeelll!!" pekikku sambil berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Rama. "Rama jeleeek!" seruku mengumpat tanpa berbalik sedikit pun. Walau sejujurnya ada sedikit perasaan bersalah karena membuatnya kesakitan seperti tadi. Namun, perasaan bersalah yang hanya sedikit itu tertutupi dengan rasa sebal yang sangat mendominasi saat ini. "Sin, tunggu! Kamu mau kemana?" panggil Rama sambil memegangi tangan kirinya yang kesakitan. Sukurin ... semoga berdarah, infeksi, bedrest seminggu biar aku nggak perlu ketemu dia. Bebas ... aku akan berburu pria tampan tanpa ada yang menghalangi. "Sin, mobilnya ada disini!!!" panggilnya terus-menerus agar aku kembali ke sana, pulang bersamanya. "Kamu pulang sama aku, 'kan?!" "In your dream!" balasku kesal dan terus menjauh darinya. Mengapa harus pulang dengannya? Memangnya aku enggak bisa pulang sendiri? Setelah jauh dari Rama, aku pun memesan taksi dari aplikasi untuk menjemput di mini market tempat mengistirahatkan kaki. Aku meneguk soda dingin untuk menghilangkan haus dan rasa besi dari mulut. Sepertinya tadi aku menggigit terlalu dalam sampai dia berdarah. Sakit banget atau enggak, ya? Sudahlah. Untuk apa punya badan kekar kalau gigitanku saja enggak sanggup menahan. Luka sedikit sekali-kali enggak terlalu berlebihan, 'kan? Kuteguk lagi soda sambil menunggu taksi datang .... *** Sudah dua hari ini aku tidak pergi ke butik karena sengaja menghindari Rama. Aku tunjukkan kalau aku benar-benar kesal padanya. Biar tahu rasa anak itu. Ratusan panggilan dan pesan WA darinya tak kuhiraukan. Siapa suruh dia selalu seenaknya sendiri begitu. Sok banget mengatur-ngatur aku. Aku ini sudah dewasa! Sampai kapan dia mau momong aku? Adiknya juga bukan .... Rama bahkan sampai nanyain kabarku ke mama sampai-sampai mama tahu kalau kami lagi berantem. Karena mama terus-terusan menyuruhku berbaikan dengan Rama, jadinya aku ngambek juga ke mama. Sebagai hasilnya, dengan sukses aku mengurung diri selama dua hari ini di kamar. Hanya keluar di pagi buta dan larut malam untuk mengusung cadangan makanan ke kamar. Seperti tikus yang mengendap-endap karena gengsi bila terpergok. Tiba-tiba, ada panggilan di Skype-ku. Aku cek, ternyata dari Rania dan Ardi. Untuk apa mereka meneleponku saat asyik berbulan madu? Kemudian aku jadi teringat kalau belum meminta maaf karena pulang duluan sebelum pesta pernikahan mereka selesai. Tanpa pamit pula. Teman macam apa aku ini? "Hai, love birds ... maaf banget ya, aku pulang duluan pas pesta kalian ... anu, waktu itu ...," "Hehehe ... enggak apa-apa kok, Sin. Liam udah cerita," potong Rania sambil tersenyum manis seperti biasa. Tidak. Mungkin lebih manis daripada biasanya. "Liam?" tanyaku sambil mencoba mengingat siapa temanku yang bernama Liam. Liam yang mana ya? "Liam, temanku yang dari Amrik. Bule yang pedekate ke kamu," kata Ardi. Ooh, ternyata maksudnya si bule ganteng itu. Aku sampai lupa namanya gara-gara berantem dengan Rama. "Iya, dia pengennya kenalan sama kamu, Sin. Tapi Rama justru yang ge-er," kata Rania. "Dari dulu kayak gitu kan ya? Waktu kamu deketan sama Ardi juga." "Iya, sih," kataku mengenang masa-masa melakukan pendekatan ke Ardi. Saat itu aku dan Ardi hendak nonton di bioskop, eh, tiba-tiba Rama datang untuk merusak acara. Jadinya, dia ikut dan duduk diantara aku dan Ardi. Oh! Benar-benar bencana! "Kamu yakin Rama normal, Sin? Apa dia straight?" tanya Rania serius. Ardi yang sedang minum kopi malah jadi tersedak dan batuk-batuk. Perhatian Rania teralihkan ke suaminya. "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Setelah batuknya mereda dan meyakinkan Rania bahwa dia baik-baik saja, Ardi pun angkat bicara. "Rara sayang, kamu jangan sembarangan bikin gosip begitu. Masa Rama dibilang nggak normal?" tanya Ardi sambil mengelus Rania dengan kedua tangannya. Ingin kumatikan Skype-ku detik ini juga. Sedang kesal karena penyakit jomblo akut, mereka berdua malah seenaknya pamer kemesraan di depan gadis malang ini. Ketika Ardi hendak mendaratkan bibirnya di kening Rania, aku pun segera berdehem keras. Melindungi diri dari penderitaan adalah kewajiban setiap insan. Bukankah begitu saudara-saudara? "Eheemm ... get a room, love birds!! Kasihan ada jomblowati di sini!!" bentakku merajuk. Rasanya mereka ini lebih berdosa padaku daripada Rama. Mereka yang tersipu-sipu malu segera melepaskan diri satu sama lain. Kemudian mereka meminta maaf padaku karena telah membuat gadis yang jomblo nestapa ini baper. "Intinya, Sin. Rama itu kan lama banget temenan sama kamu. Jauh lebih lama daripada aku dan Ardi. Tapi selama itu dia nggak pernah pacaran, dan selama itu juga dia kayak imun ke kamu yang cantik banget gitu," kata Rania dengan cepat penuh semangat. "Mungkin dia itu enggak suka sama perempuan—" Ardi menutup mulut Rania agar tidak meneruskan bicaranya. Rania meronta ingin melepaskan diri. "Mmphhm .... Mpphhh ...." "Sin, sebentar ya, Rara harus dihukum, nih karena telah memfitnah Rama yang tidak bersalah," kata Ardi padaku sambil terus menutup mulut Rania. "Kamu tenang aja, yang jelas Rama normal. Sangat normal. Aku jamin seratus persen. Byee, Sinta!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD