16. Sesuatu yang Samar

1043 Words
Aku terbangun di kamar dalam kondisi berselimut. Aku tak ingat apa yang terjadi semalam. Hanya .... Mama dan papa yang pergi ke pesta dan bilang tidak akan pulang. Kemudian, makan malam dengan Liam? Dia memasak untukku, bukan? Setelahnya, apa yang terjadi? Aku membuka selimut, mengintip bagian tubuh yang tertutup. Normal! Tak terlihat tanda-tanda pelecehan seksual. Apakah semalam hanya mimpi? Aku berlari ke dapur untuk mencari jejak kejadian semalam. Akan tetapi, aku tak mendapati apa pun. Semuanya bersih. Sangat bersih. "Sinta, tumben kamu bangun langsung ke tempat cuci piring?" tanya mama mengagetkan aku. "Loh, Mama di rumah? Enggak nginep hotel?" tanyaku keheranan. Aku ingat dengan pasti bahwa mama dan papa berkata akan menginap di hotel. "Enggak, kok! Kami pulang sehabis pesta!" kata mama santai sambil meracik adonan hotcake. Aku kemudian teringat daging giling yang dibuat Liam kemudian segera membuka kulkas. Namun, daging gilingnya utuh. Tak terjadi apa pun. Apakah semalam memang mimpi? Bila hanya mimpi, mengapa rasanya begitu nyata? Namun, di sudut hati yang lain, aku merasa lega. Entah apa yang terjadi bila semalam bukan mimpi. Seingatku, Liam semalam hendak mencium. Aku menolak. Namun, bisakah aku melawan bila Liam menginginkan lebih? Bisa jadi, saat ini dia telah merebut segalanya dariku. Untunglah, semua hanya mimpi. Mungkin, aku perlu istirahat. Namun, ingatanku teringat sesuatu. Aku memesan makanan. Seharusnya ada sampah makanan bukan? Namun, semua yang di dapur sangat bersih. Aku menatap mama yang tampak bersenandung riang. Beliau memang bersikap seolah-olah tak terjadi apa pun. "Mama, apakah semalam Mama berencana menginap di hotel, lalu pulang?" selidikku. Aku yakin mama tak akan jujur bila dilihat dari gelagatnya yang sekarang. Apalagi beliau ratu akting. Namun, bila aku mendeteksi keraguan di jawaban mama, pastilah semalam terjadi sesuatu. "Siapa yang menginap? Ada keperluan apa memangnya, Sin?" tanya mama tanpa ada keraguan. Ok, aku percaya. Memang tak terjadi apa pun. Setelahnya, aku kembali ke kamar tanpa berniat membantu mama menyiapkan sarapan. Lagi pula, sebentar lagi Mbak Ina, pembantu paruh waktu di rumahku, akan datang membantu mama untuk membereskan semuanya. *** Rama masih belum muncul di butik. Karena itulah, aku masih merasa ada ganjalan. Apakah aku harus menemui Rama? Atau harus konsisten dengan keputusanku untuk menata ulang kehidupan kami? Agar tak ada lagi ketergantungan? Entahlah. Akan kupikirkan nanti lagi. Sekarang, aku harus memastikan sesuatu yang lebih penting. Aku mampir ke sebuah klinik dokter kandungan. Janji sudah kubuat pagi tadi. Antrian panjang membuatku sadar bahwa menjadi ibu hamil itu tak hanya berat kerena harus mengandung kehidupan di dalam rahim, tetapi juga karena dokter tega membuatnya mengantri begitu lama minimal sekali setiap bulan. Ketika tiba giliranku, asisten dokter memintaku melepas celana dan berbaring di bangku khusus. Pantas saja, di awal mereka bertanya apakah aku sedang menstruasi atau tidak. Sungguh, pemeriksaan ini membuatku merasa tidak nyaman. Namun, aku tak punya pilihan karena ingin memastikan apa yang terjadi semalam. Perasaan risihku semakin menjadi tatkala kakiku diminta mengangkang. Dokter berjilbab putih memintaku untuk rileks. Namun, siapa yang bisa? Aku perawan yang tak pernah sekali pun melakukan hubungan. Sungguh sulit dipercaya bahwa aku meminta dokter ini melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan pertama kali oleh orang yang aku mau. Untunglah aku memilih dokter wanita. Bila tidak, sudah kupastikan aku akan lari dan membatalkan tes keperawanan ini. Bukan berarti aku meragukan keprofesionalan mereka. Namun, semua wanita pasti mengerti mengapa aku akan melakukan hal itu bukan? Oh, aku tak bisa menjelaskannya lebih lanjut. "Rileks, ya! Biar nggak sakit." Dokter di sebelahku masih mencoba menenangkan. Aku hanya mengangguk dan memejamkan mata ketika sebuah alat bantu dipasang di bagian pribadiku. Sakit. Rasanya aku ingin menjerit. Tanpa sadar, kuremas tangan asisten dokter di sebelahku. Kurasakan dia berjengit, tapi menahan diri. "Rileks, ya! Tunggu sebentar," ujar sang dokter memintaku menunggu. Entah apa lagi yang dilakukan sang dokter. Aku tak mau tahu. Aku hanya ingin jawaban! "Masih utuh!" Lega rasanya ... Terima kasih, Tuhan! Terima kasih! Terbayarkan rasanya penderitaan beberapa menit lalu. Sekarang hanya perasaan lega yang tersisa. Jadi, semalam memang tak terjadi apa pun. Mungkin memamng hanya halusinasi. Atau sekadar mimpi. *** Aku pulang agak terlambat dengan perasaan sangat senang. Papa dan mama menunggu dengan wajah cemas. "Kamu ke mana saja?" tanya mama sangat khawatir. Tak seperti biasanya. "Jangan keluar selarut ini lagi kalau nggak sama Rama!" protes Papa yang memang tak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku tersenyum mencemooh sedikit. "Pa, nanti kalau Sinta nikah, apa yang ngawal juga masih Rama?" Pertanyaanku membuat papa dan mama terdiam. Wajah mereka seolah-olah terluka dengan luka yang tak bisa dijelaskan. "Sinta, kamu marah ke Papa?" tanya Papa memelas. "Liam memang agak obsesif, tapi dia orang baik, Sayang. Hanya berbeda kebiasaan dengan kita." Papa menjelaskan panjang lebar, berusaha membela calon menantunya yang kurang ajar. "Sudahlah, Pa! Semua sudah terlanjur!" kataku singkat. "Sinta ke kamar dulu, Pa!" Aku berjalan cepat menuju kamar, karena emosiku meluap. Hatiku yang rapuh ini hanya bisa mengingat kebaikan orangtuaku semasa kecil. Aku tak mengerti mengapa orangtuaku yang sekarang serasa menjadi tokoh antagonis di dalam hidupku. Kubanting badan ke kasur. Meredam emosi yang terbakar. Aku harus mandi! Aku hendak mengunci pintu dan betapa terkejutnya diri ini saat melihat ada sedikit noda gelap di sudut pintu. Seperti noda darah. Ada apa gerangan? Tidak mungkin darahku bukan. Aku pun memaksa isi kepala untuk bekerja keras. Tadi malam, pasti terjadi sesuatu tadi malam. Aku pun berlari ke dapur, berlari menuju kulkas, mengecek tanggal yang tertera di sterofoam daging. Benar! Ini adalah daging yang baru dibeli tadi malam. Daging yang baru! Kakiku mendadak terasa lemas. Jadi, yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Liam memang ke rumah, hingga aku tak ingat apa pun setelah kejadian makan. Aku hanya ingat kami hendak berciuman dan aku berhasil menolak. Apakah Liam memasukkan obat ke makanan atau minuman yang dibuatnya? Bila benar begitu, saat ini, kedua orangtuaku pasti sedang berusaha menutupi kejadian semalam. Namun, aku selamat bukan? Aku masih perawan bukan? Apakah orangtuaku datang di saat yang tepat sebelum Liam melakukan sesuatu kepadaku? Ataukah ada hal lain yang mencegah Liam untuk melanjutkan perbuatan bejatnya? Aku bersimpuh di lantai dapur. Air mataku mengalir perlahan. Kejadian semalam memang mengerikan. Namun, aku bersyukur karena setidaknya Tuhan telah menolongku, entah bagaimana caranya. *** Note: Hi, Pembaca! Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya! Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih! Inget, tap love biar nggak hilang. Love you all!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD