First Meet

1240 Words
Bagaimana dia bisa tahu? Sma Kristal memang mempunyai dasi dan almet yang cukup berbeda dari sekolah sekolah pada umumnya. Karena dasi dan almet sekolah ini akan berbeda-beda warna di setiap jurusan maupun angkatan. Maka dari itu seluruh siswa di wajibkan memakai almet dan dasi pada saat istirahat, upacara dan saat pulang sekolah untuk menjaga identitasnya. Jadi, semua siswa siswi bisa tahu hanya dengan melihat seragamnya saja. Termasuk Agatha yang sudah diberitahukan oleh kepala sekolahnya kemarin pada saat pertama kali ia mendaftar di sekolah ini. Tatapan Agatha tak lepas dari cowok itu. Sebenarnya ada sedikit keraguan di diri Agatha ketika merasakan aura tidak enak yang berasal dari kakak kelas itu. Namun bagaimana lagi, Agatha sudah terlanjur kecemplung kenapa tidak basah sekalian, bukan? Bodo amatlah. Dengan sedikit keberanian, Agatha berjalan mendekati kakak kelas itu dengan senyum yang malah terlihat kikuk. “Halo, Kak.” Tidak di gubris, kakak kelas itu tetap berjalan lurus tanpa melihat Agatha. Arah mata Agatha tertuju pada telinga cowok itu. Ternyata dia pake earphone, pantas saja tidak mendengar panggilan Agatha. Dengan nekat Agatha dan keyakinan yang besar, Agatha merentangkan kedua tangannya, mencegat kakak kelas itu. ”Tunggu, Kak.” Sekilas Agatha melihat kakak kelas itu terlonjak kaget sebelum dia mengubah raut wajahnya kembali, menjadi datar kembali. “Em, permisi kak, maaf udah ganggu jalan kakak. Aku cuma mau tanya perpustakaan dimana ya, kak? aku udah cari-cari tapi ga-" Nyali Agatha seketika menciut ketika melihat tatapan tidak suka dari kakak kelas ini, bahkan dia tidak lagi melanjutkan ucapannya. Heh, apa dia salah? bodoh! Iyalah Agatha, lo udah halangin jalan dia! dan lo masih nanya apa salahnya? Agatha merutuki diri sendiri, meski begitu dia berusaha tersenyum seramah mungkin. Menunggu respon cowok itu. Namun, cowok itu hanya bergeming. Menatap tajam pada Agatha. Cewek itu meremas kedua tangan, malu. Apa yang harus dia lakukan? Tubuhnya mati kaku di sini! tiba-tiba manik mata Agatha bergerak memperhatikan penampilan kakak kelas ini. Mulai dari seragam sekolah yang berantakan, dasi yang tidak berbentuk selayaknya dasi, baju seragam dikeluarkan, dan memakai sepatu hijau neon? Tidak salah sepatu? Warnanya kontras sekali. Menurut Agatha penampilan orang ini sangat urak-urakan dan terkesan.. badboy? Apa dia salah tanya orang? Namun ada hal yang menarik perhatian Agatha, sekaligus membuatnya terheran-heran adalah… Manik mata Agatha pindah ke sebuah benda yang ada di tangan cowok itu. Kakak kelas satu jurusan dengannya itu membawa sebuah pocket book matematika di tangan kirinya. Lagi-lagi sangat kontras dengan penampilan cowok itu. Tumben sekali seorang siswa berpenampilan badboy seperti ini membawa sebuah pocket book. Apakah dia membacanya? Atau mungkin pocket book itu hanya untuk pajangan di tangannya saja? Yang dia tahu badboy itu pasti tipikal siswa yang malas belajar dan sering membolos sekolah. Mata Agatha naik, melirik kearah name tag di seragam kakak kelas itu. Tertulis 'Azka a.d.' di sana “Oh, jadi namanya Kak Azka," gumam Agatha dalam hati. Kakak yang dia tahu bernama Azka itu tiba-tiba menurunkan earphone dari telinga, menatap tak bersahabat pada Agatha. ”Ganggu lo," tekan Azka. Tanpa disangka Agatha, kakak kelas itu kembali memasang earphone dan berlalu begitu saja dari hadapan Agatha. Agatha melongo menatap kepergian kakak kelas itu. Ia Mengerjap-ngerjapkan mata, tanpa sadar tangan itu naik, menunjuk dirinya sendiri. "Gue di cuekin?" Ucapnya linglung. Saat Agatha tersadar. Senyum yang tadi terbentuk perlahan memudar. Ia merengut kesal. Bisa-bisanya ucapannya di abaikan begitu saja bagaikan angin lalu yang menjadi sebuah hama di telinga cowo itu. "Ishh! Sombong banget sih," gerutu Agatha yang tentu saja hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri. Benar dugaannya dia sudah mencium aura aura kasih, eh salah! Aura yang tidak enak dari kakak kelas itu, seharusnya ketika dia sudah kecemplung Agatha harus cepat cepat naik lagi bukannya menunggu basah kuyup. Malah jadi di Begini’kan. Dia memutuskan untuk mencari perpustakaan sendiri tanpa mau bertanya lagi. Sudah kapok. *** “Ada ya orang kayak gitu.” “Niatnya kan cuma mau nanya! eh, malah di cuekin.” “Kalo ada orang lain juga ogah kali nanya dia.” "Baru aja jadi kakak kelas udah sombong, gimana jadi calon suami, EH! " Itulah sekiranya gerutuan kesal dari Agatha sepanjang perjalanan. Entah kemana tujuan kaki melangkah. Sampai akhirnya kaki itu berhenti di pintu yang cukup unik, Agatha melihat palang yang berada di atas pintu menunjukkan tulisan 'PERPUSTAKAAN' “Itu perpustakaan?!” Jadi dia hanya perlu belok kanan setelah tangga, tapi dia malah memutari satu gedung ini? Sungguh sangat meringankan beban Agatha! ”Akhirnya ketemu juga, di cari-cari taunya malah ngumpet disini,” Agatha mengamati pintu perpustakaan dari atas sampai bawah. Pintu ini persis pintu pintu dengan ukiran rumit jaman dulu, terkesan klasik namun ada kesan tuanya di setiap ukiran itu. Agatha membuka pintu itu dan memasuki perpustakaan. Di sana Agatha bisa melihat ada sebuah pondium kecil yang di atasnya terdapat meja panjang dan kursi yang biasa di pakai guru di sekolah ini. Di sana pula sudah duduk seorang guru. Beruntung sekali Agatha tidak lagi mencari guru itu. Segera Agatha menghampiri sang guru. “Permisi, Bu,” sapa Agatha, ketika sampai di depan meja guru perpustakaan. “Iya, ada apa?” Guru itu bangun dari duduk. Dari tinggi guru ini, Agatha hanya sebahunya. Padahal Agatha tidak terlalu pendek termasuk standar tinggi cewek pada umunya. Berarti memang guru ini yang ketinggian. Dengan perawakan yang tinggi dan sedikit berisi menurut Agatha guru ini cocok sekali menjadi guru perpustakaan. “Nama Saya Agatha, Bu. Saya anak baru di kelas sepuluh ipa dua ingin mengambil buku pelajaran untuk saya sendiri, Bu.” Guru itu sempat mengamati Agatha dari atas sampai bawah. Risih? Ya tentu saja. Agatha risih di perhatikan sampai begitunya oleh sang guru, tapi dia hanya bisa diam. “Oh, kamu anak didik dari Bu Siska, ya? Kamu wali kelas Bu Siska, bukan?” Nada ceria itu membuat prasangka Agatha sirna begitu saja. Oh, ternyata guru itu mengamati Agatha hanya untuk memastikan saja. Agatha sudah salah menduga. Agatha mengangguk secara spontan. “Iya, Bu.” Sang guru tersenyum lebar. Terlihat cukup bersahabat. “Baik, tunggu sebentar ya saya carikan dulu bukunya,” ujarnya Bu Mian sambil berlalu, mengambil list daftar mata pelajaran yang ingin dicari olehnya. Sepergian guru itu, Agatha diam sesekali mata itu menelusuri sudut sudut perpustakaan. Agatha mengingat baik baik tata letak perpustakaan ini. Perpustakaan ini memiliki dua lantai yang mungkin terhubung dengan lantai ruang guru? Karena lantai guru juga berada di sana. Ada pula bilik tersendiri di pojok tengah kanan untuk siswa siswi yang ingin menggunakan laptop atau ponsel mereka di perpustakaan ini, Sebab bilik itu sudah dilengkapi dengan stop kontak di setiap mejanya. Manik mata Agatha pindah menyusuri bagian kiri perpustakaan, ternyata itu seperti tempat untuk siswa siswi kerja kelompok. Meja di bagian itu cukup panjang dan tidak ada bangku di sana melainkan ada benda seperti bantal bantal empuk untuk mereka duduk. Jadi mereka duduk di lantai yang sudah disediakan bantal untuk mereka duduk di sana. Sama seperti meja meja yang sering dia temui dia drakor. Terlihat sangat nyaman sekali. Agatha yakin sekolah ini sangat menjunjung tinggi kenyamanan siswa siswinya, sudah tercermin dari setiap fasilitas yang diberikan sekolah untuk murid Sma Kristal. “Perpustakaannya gede juga ya. Banyak juga yang ke sini, biasakan anak murid pada males ke perpustakaan. Tapi gak heran sih, siapa juga yang gak betah disini udah kayak berasa di istana buku,” batin Agatha mengomentari isi ruangan perpustakaan. Selagi Agatha memuji perpustakaan, Bu Mian datang bersama dengan seorang siswa yang mengikuti Bu Mian dari belakang sembari membawa buku-buku paket. Agatha menatap cowok itu. Nafas Agatha serasa berhenti sejenak. It-itu bukannya!…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD