XI

2055 Words
Hari pertama Davina di mansion berlalu dengan sangat cepat. Setelah menghabiskan siang hingga sore untuk syuting, mereka hanya diberi waktu dua jam untuk beristirahat sebelum satu per satu mereka harus mengungkapkan perasaannya bertemu dengan Bruno Ricardo dan Laura Bergman. Untuk sesi ini, mereka harus mengenakan kaus serta celana jin dari sponsor. Malang bagi Davina karena dia harus menunggu hampir empat jam sebelum gilirannya tiba. Berusaha tampak segar sementara matanya sudah menuntut untuk dipejamkan adalah perjuangan yang luar biasa. Beruntung David juga masih menunggu giliran hingga dirinya tidak sepenuhnya dia merasa bosan. Meskipun belum genap 24 jam sejak mengenal David, ada sesuatu yang membuat Davina bisa dengan bebas bercerita kepada pria itu tanpa ada perasaan takut atau khawatir. Topik percakapan mereka pun beragam, tidak terbatas pada dunia modelling. Satu yang sangat disukai Davina dari David adalah sikap sopannya. Bekerja sama dengan begitu banyak model pria membuat Davina bisa menebak dengan tepat sikap mereka hanya lewat percakapan singkat. Namun David berbeda. Pria yang kemudian Davina tahu punya darah Inggris dari ayahnya tersebut tampak seperti tercebur ke dunia model karena fisiknya yang memang sangat mendukung, bukan karena dia sangat menginginkannya. Ketika semunya selesai mendekati tengah malam, Davina benar-benar tidak lagi punya tenaga untuk melakukan apa pun kecuali tidur. Begitu dirinya kembali ke kamar, Lana masih terjaga. mereka mengobrol sebentar sebelum Lana tidur lebih dulu. Namun begitu dia membaringkan tubuhnya, matanya justru sulit terpejam. Davina pun memaksakan diri untuk tidur karena kontestan harus bangun sebelum pukul sepuluh pagi karena jadwal yang sangat padat akan dimulai. Dia tahu waktu istirahatnya akan banyak berkurang selama kompetisi, maka dia pun harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tubuhnya tidak kelelahan. Dia sengaja tidak menyetel alarm di ponselnya karena belum sempat bertanya ke Lana. Namun Davina yakin, kalaupun Lana bangun lebih dulu, dia pasti akan membangunkan Davina. Hanya saja, dia berharap bisa bangun lebih dulu hingga punya lebih banyak waktu untuk sekadar berolahraga kecil atau sarapan. Davina pun memang bangun lebih dulu. Ketika dia membuka mata dan mengecek waktu di ponselnya, jam baru menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit. Dia memandang Lana yang terlihat masih terlelap. Maka Davina pun bangun lebih dulu, menggosok gigi, membasuh wajah, dan mengganti pakaian tidurnya dengan baju renang. Sudah cukup lama dia tidak berenang dan ketika melihat kolam renang di mansion kemarin, hal pertama yang melintas di pikirannya adalah berenang. Dia mungkin akan memulai kebiasaan baru setiap pagi. Melingkarkan handuk besar untuk menutupi tubuhnya, Davina keluar dari kamar. Beruntung lantai di lorong kamar-kamar di lantai dua dilapisi karpet sehingga ketika dia tidak perlu khawatir langkahnya akan menimbulkan suara berisik. Begitu turun dari tangga, Davina tidak melihat siapa pun, baik di dapur maupun di common room. Peralatan serta perlengkapan syuting yang kemarin memenuhi ruangan, sudah sepenuhnya disingkirkan hingga mansion ini tampak seperti rumah pada umumnya. Davina menyusuri dapur dan beberapa ruangan lain yang tampaknya terkunci karena ditempeli kalimat DO NOT ENTER - STAFF ONLY untuk menuju kolam renang yang memang berada di dalam rumah. Begitu sampai di sana, Davina langsung menghampiri salah satu sun lounge dan meletakkan handuknya di sana. Dia kemudian melakukan pemanasan kecil sembari mengedarkan pandangannya. Lewat penjelasan Sylvia kemarin, atap kolam renang ini bisa dibuka, tetapi Davina tidak bertanya lebih lanjut bagaimana caranya. Baginya, dinding kaca yang mengelilingi kolam renang ini sudah cukup baginya. Setidaknya jika cuaca sedang dingin, dia tetap bisa berenang. Kolam renang ini cukup besar, dan Davina tidak tahu dia bisa melakukan berapa kali putaran. Namun setidaknya dengan menggerakkan badannya, akan membantu pikirannya untuk bisa lebih santai. Davina hanya berharap dia tidak membangunkan siapa pun jika berenang sepagi ini. Setelah tiga putaran, Davina pun berhenti tepat ketika atap di atasnya terbuka. Pandangannya langsung beralih ke arah dia masuk sebelumnya dan dia melihat salah satu model pria yang diingatnya bernama Roman. Kabar-kabarnya, jika Rashida menjadi model perempuan yang digadang-gadang untuk memenangkan The Pose, maka Roman adalah model prianya. Karena Davina tidak banyak bicara dengan Roman, dia tidak bisa menilai sifat pria tersebut. yang ditangkapnya, Roman sudah cukup lama bergelut di dunia model, bahkan sempat mencicipi London Fashion Week. Davina jadi ingin melihat portfolio pria tersebut untuk tahu seperti apa jika sedang berada di depan kamera. Tatapan mereka pun bertemu dan Davina membalas senyum yang disunggingkan Roman. “Good morning, Davina.” “Good morning, Roman.” Dari tiga belas kontestan The Pose selain David dan Lana, Davina masih kesulitan mengingat nama-nama mereka. Dia tidak lupa dengan Roman karena dari tujuh model pria yang mengikuti The Pose, hanya Roman yang punya cambang tipis. Dan bagi Davina, hal sesederhana itu cukup untuk membuatnya ingat dengan Roman. Beruntung pria itu tidak bercukur pagi ini. Dia yakin seiring dengan berjalannya waktu, dia akan ingat. Masih hari kedua, Davina, santai saja, ucapnya dalam hati. “Aku harap kamu tidak keberatan atapnya aku buka.” Davina menggeleng. “Aku nggak tahu gimana cara bukanya, makanya nggak aku buka,” balasnya seraya meringis. Roman tergelak. “Mau aku tunjukkan caranya?” “Yes, please.” Masih berada di kolam renang, Davina mengikuti Roman yang berjalan menuju pintu masuk. Menyangga dagunya di bibir kolam renang, Davina menyaksikan Roman yang tampak begitu jangkung hanya dengan mengenakan celana renang dan kaus tanpa lengan. “Kamu hanya perlu memencet tombol ini,” ujar Roman sembari menunjukkan satu buah tombol yang letaknya cukup tersembunyi. “Semudah itu.” Meski masih belum paham, Davina hanya mengangguk. Dia yakin bisa bertanya ke David nanti. “Thanks, Roman.” Tidak lama kemudian, Roman menanggalkan kausnya sebelum melakukan stretching kecil. Davina mencoba kembali berenang agar bisa mengalihkan pandangannya dari tubuh Roman yang seperti tidak nyata. Memang bukan hal baru bagi Davina melihat tubuh model pria yang begitu sempurna, tetapi tubuh Roman … proporsional. Sesuai dengan tinggi badannya dan tidak terlalu berotot hingga membuat Davina sering bergidik setiap kali melihat pria dengan otot yang kelewat besar. Davina pun menggerakkan kaki dan tangannya lebih cepat agar konsentrasinya tidak terpecah. Sekalipun bukan pemandangan yang baru, Davina tetaplah seorang perempuan yang imunnya akan melemah setiap kali melihat pria dengan wajah yang menarik dan tubuh yang proporsional. Kebanyakan model pria memang tidak punya tubuh yang sangat berotot karena ukuran pakaian yang dibuat desainer biasanya tidak akan muat. Setelah kembali melakukan dua kali lap, Davina memutuskan untuk menyudahi olahraganya pagi ini. Ketika dia sedang bersiap untuk keluar dari kolam renang, Roman masih berdiri sembari menekuri ponselnya. Davina hanya menggeleng pelan sebelum menghampiri sun lounge dan mengambil handuk. Mengeringkan tubuhnya, dia kembali menatap Roman. “Tidur nyenyak semalem?” Roman mengangkat wajahnya dan memberikan Davina seulas senyum. “Lumayan. Aku sudah beberapa minggu ini tidak bisa tidur dengan pulas.” “Kenapa?” “Gugup.” Mau tidak mau, Davina tertawa kecil mendengar pengakuan jujur Roman. Jika memang benar kabar yang didengarnya tentang Roman, Davina tidak melihat alasan pria itu harus merasa gugup. Davina yakin, tanpa mengikuti The Pose pun, karir Roman akan naik dengan sendirinya. “Kenapa tertawa?” tanya Roman seraya menaikkan alisnya. “Karena aku dengar karir kamu udah cukup mapan sebelum sampai di Milan. Aku merasa lucu kalau kamu masih gugup. Your career will take off eventually, even without having to be here.” “Davina … gugup itu bisa melanda semua orang. Dan tidak ada jaminan karirku akan naik tanpa The Pose. Ini adalah sesuatu yang besar dan juga berbeda. Aku rasa model mana pun tidak akan membuang kesempatan untuk menjadi bagian dari The Pose, terlepas seperti apa karir mereka ketika sampai di Milan.” “Fair enough,” balasnya. “Apakah kamu siap untuk pemotretan pertama kita hari ini?” Senyum di wajah Roman melebar. “I can’t wait to get back in front of the camera. It’ll be blast!” “Aku juga nggak sabar tema photoshoot pertama kita nanti.” Sejujurnya, Davina sangat tidak siap untuk menjalani pemotretan perdana hari ini. Namun dia tentu tidak akan menunjukkannya di depan Roman, atau pun di depan kontestan lainnya. Begitu kembali ke kamar, dia harus siap dengan tema apa pun yang akan diberikan kepada mereka nanti. *** Begitu Davina selesai sarapan, jam dinding di ruang makan sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tidak lama kemudian, satu per satu kontestan The Pose mulai bangun dan percakapan ringan pun mulai terjadi sembari mereka menyiapkan sarapan yang tentunya sangat sehat. Jika bisa, ingin rasanya Davina menikmati semangkuk bubur ayam saat ini. Suasana hatinya pasti akan langsung melonjak bahagia. Namun dia hanya makan buah-buahan dan juga roti tawar gandum serta segelas s**u. Baginya, menu sarapannya pagi ini akan cukup untuk membantunya melewati apa pun yang akan terjadi tepat pukul sepuluh nanti. Davina hanya bertukar beberapa kalimat dengan David sebelum kembali ke kamar untuk mulai bersiap. Beruntung dia tidak harus mengenakan make-up, setidaknya sampai tim make-up dari The Pose datang ke mansion. Davina memutuskan untuk mengenakan kemeja tanpa lengan berwarna abu-abu dan hotpants, agar memudahkannya berganti pakaian nanti untuk keperluan photoshoot. “Kamu kelihatan segar sekali, Davina,” puji Lana begitu teman sekamarnya tersebut keluar dari kamar mandi. “Tidur nyenyak semalam?” “Mungkin karena aku abis berenang tadi, terus mandi, dan sarapan,” jawab Davina. “Kira-kira tema untuk pemotretan pertama kita apa, ya?” “Aku nggak tahu, tapi yang pasti aku nggak sabar.” Lana membalas kalimatnya dengan sebuah senyum kecil. “At least the competition is going to officially started.” Davina mengangguk. “Karena memang untuk itu kita semua ada di sini, kan?” *** “Davina, don’t think about the traffic. They will not hit you. Focus on your chemistry with Julien!” Teriakan itu didengar Davina di antara riuhnya situasi di salah satu jalan utama Milan. Selain berusaha untuk tidak mengeluh karena sinar matahari yang memutuskan bersinar cukup terik hari ini, konsentrasi Davina pun beberapa kali terpecah. Selama karirnya menjadi model, baru kali ini Davina menjalan photoshoot di jalan raya ketika lampu lalu lintas berubah merah. Mereka hanya punya waktu sekian detik sebelum lalu lintas kembali berjalan. Bagi Davina, tekanannya bukan hanya dia dan kontestan lain menjadi tontonan siapa pun yang sedang lewat, tetapi juga waktu yang tidak banyak. Sementara itu, dia harus menunjukkan kemesraan dengan Julien, yang menjadi partner fotonya hari ini. Beberapa kali, fotografer bernama Damian tersebut mengingatkan Davina bahwa dia sedang berpose karena ekspresi wajahnya tidak cukup memuaskan Damian. Beruntung Davina dipasangkan dengan Julien karena pria itu tampak begitu sabar dan selalu menyemangati Davina. David pun melakukan hal yang sama setiap kali mereka harus berdiri di trotoar dan menunggu lampu lalu lintas berganti merah. Tema photoshoot pertama mereka adalah, The Decades of Love, di mana keempat belas kontestan dipasangkan dengan model yang bukan berasal dari negara yang sama dan harus bisa menunjukkan kemesraan layaknya dua orang yang sedang berpacaran dan sedang pergi untuk salah satu date mereka. Seolah itu belum cukup, ketujuh pasangan dibagi menjadi tujuh dekade yang berbeda. Beruntung Davina dan Julien mendapatkan dekade 60-an yang terkenal cukup fashionable dan chic. Hal itu pun membuat mereka mengenakan pakaian yang tidak terlalu merepotkan seperti gaun panjang atau bahan yang menyerap panas. Mereka dibebaskan memilih prop dan Davina serta Julien setuju untuk memilih satu keranjang berisi buah-buahan, roti, dan botol wine seolah mereka akan pergi piknik. Ketika sedang menunggu lampu lalu lintas berubah merah, Julien menatap Davina. “Davina, kamu ingin segera menyelesaikan pemotretan ini, kan?” Davina mengangguk. “Let’s give Damian what he wants and we’ll be soon out of here. I know you can do it, so don’t worry. I will not let any car hit you.” Kalimat terakhir Julien mampu membuat Davina tergelak dan hal itu pun kemudian membuatnya sedikit rileks. Tepat sebelum lampu berubah merah, Davina menatap Julien, berusaha meyakinkan partnernya bahwa dia akan melakukan yang terbaik. “Let’s do this!” “Davina and Julien, please get ready in three … two … one. Action!” Dan selama beberapa detik, Davina pun membayangkan wajah David dan bagaimana rasanya jika mereka benar-benar berpacaran. Hal itu cukup membantunya, dan Damian memutuskan bahwa dia sudah mendapatkan foto yang bagus. Davina dan Julien pun ber-high five setelah melihat hasil foto jepretan Damian. “We did it!” Diliputi perasaan lega, Davina pun memeluk Julien dengan penuh kebahagiaan. Meski tidak tahu hasilnya akan seperti apa ketika mereka semua dikumpulkan untuk malam eliminasi besok, Davina tahu bahwa dia sudah memberikan yang terbaik. Baginya, hanya itu yang perlu dilakukannya. Setidaknya sekarang, dia bisa menunggu di tempat yang teduh sementara model lain mendapat giliran. Senyum Davina pun terus mengembang bahkan ketika mereka masuk ke mobil untuk diantar pulang ke mansion.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD