1 - SEPTIME

1975 Words
Duduk di pojok Septime dengan menu set makan siang yang sudah hampir tandas, Amara menatap Jacques yang hari ini tampak mempesona dengan kemeja lengan panjang abu-abu tua yang digulung hingga siku dan celana panjang hitam. Meski tampak terlalu suram untuk langit yang begitu biru, Amara tidak keberatan sama sekali. Amara pun membiarkan pria itu memilih menu untuknya karena dilandasi alasan yang dia sendiri tidak pahami, dia percaya dengan penilaian Jacques. Dalam perjalanan dari Moulin Rouge ke apartemen Amy, beberapa kali Amara mencuri pandang ke arah Jacques. Sekalipun pria itu sudah terang-terangan tidak menginginkan imbalan, Amara merasa ucapan terima kasih yang diucapkannya tetaplah tidak cukup. Saat apartemen Amy berjarak beberapa menit, sebuah ide muncul dalam benak Amara. Dia meminta Jacques menemaninya makan siang, sekaligus melihat sisi lain Paris yang tidak banyak orang lihat—tentu saja jika Jacques tidak sibuk serta mendapatkan hari libur. Dia yakin tawaran itu akan sulit ditolak. Dugaannya memang benar. Jacques menyanggupinya dengan antusias. Setelah bertukar nomor telepon, mereka berpisah dan senyum Amara selalu tersungging tiap kali dia teringat Jacques. Setelahnya mereka jadi cukup rajin bertukar pesan singkat, termasuk membiarkan pria itu menentukan tempat pertemuan mereka selanjutnya. “Suka tempatnya?” Saat Jacques mengusulkan agar mereka makan siang di Septime, Amara mengiyakannya dengan cepat. Dia tidak tahu banyak soal tempat makan atau bistro di Paris kecuali yang tertera di Trip Advisor atau rekomendasi yang diberikan Amy. Tanpa mencari informasi lebih dulu seperti yang biasa dilakukannya, Amara percaya dengan pilihan Jacques. Meski tidak keberatan untuk datang ke Septime dengan Metro, Jacques bersikeras menjemput Amara. Menggunakan keselamatannya sebagai alasan, Amara berpikir sikap Jacques terlalu berlebihan untuk seseorang yang baru dikenal. Namun dia sungguh tidak keberatan menghabiskan waktu lebih banyak dengan pria berambut cokelat dan jangkung itu. Amara tidak perlu lagi memikirkan keselamatannya jika harus naik Metro. Kejadian beberapa hari lalu masih cukup membuatnya takut. Amara menanggapi pertanyaan Jacques dengan anggukan. “Sama seperti bistro yang biasa aku lihat di internet, tapi ini lebih terasa Paris karena nggak banyak turis. Thank you for taking me here.” Jacques mengangguk. “Aku sering ke sini karena suka dengan atmosfernya. Selalu mengingatkanku dengan suasana di rumah. Belum lagi makanan mereka yang memang enggak ada duanya di Paris.” Bagi Amara, Septime memang seperti sebuah anomali. Di antara bangunan-bangunan yang tampak membosankan dan tidak terawat dengan warna cat kusam di Rue de Charonne, Septime tampak menonjol dengan warna hijau yang memenuhi bagian depan bistro. Masuk ke dalam, tempat ini tertata rapi dengan meja-meja serta kursi kayu yang diatur acak sehingga mampu menampung dua orang sampai dengan enam orang dengan jarak yang masih wajar. Tidak adanya sekat di Septime menjadikan tempat ini terlihat lapang dan hangat. Amara mewanti-wanti Jacques untuk tidak membayar apa pun. Sekalipun tampak keberatan, Jacques akhirnya mengalah. Makan siang yang disajikan pun ditata indah hingga Amara tidak berhenti mengarahkan kamera ponselnya. Ini pertama kali Amara makan siang ditemani orang asing di negara yang asing pula. Beruntung, Jacques ternyata jauh dari kata membosankan. Terlebih menu yang dipilih Jacques sungguh memanjakan lidah Amara. Meski tidak lahir di Paris, pria dengan tinggi hampir mencapai 190 sentimeter itu besar di Paris. Amara memang menyerahkan akhir pekan itu kepada Jacques. Ketika Jacques bertanya apa yang belum dilihatnya di Paris, Amara membalas agar Jacques memberinya kejutan. Jacques membawa Amara ke Pâtisserie Viennoise untuk menikmati chocolat chaud atau cokelat panas yang bersinonim dengan Paris selain Eiffel dan belanja. Tempat yang terletak di 8 Rue de l’École de Médecine itu sempat membuat Amara terkesiap. Deretan roti serta kue terpampang begitu jelas hingga untuk sesaat, Amara takut akan kalap ingin mencoba semuanya. Mereka hanya memesan cokelat panas sans Chantilly atau tanpa whipped cream seperti yang Jacques sarankan dan empat buah macarons Noisette. Amara sampai harus memejamkan mata ketika lidahnya merasakan macaron terenak yang pernah dia makan. Septime adalah tujuan utama mereka dan Amara jelas lega karena tempat ini jauh lebih lapang dibandingkan Pâtisserie Viennoise. Selain bisa duduk dan memperhatikan Parisians berjalan dengan tergesa-gesa, Amara pun bisa mengumpulkan tenaga sebelum Jacques membawanya ke destinasi berikutnya. “Kita mau ke mana setelah ini?” tanya Amara sementara mereka menunggu bill. “Sudah sempat ke Père-Lachaise?” “Père … Lachaise?” Amara sengaja mengulang kata itu dengan pelan karena dia takut salah melafalkannya. Jacques tidak berkomentar banyak, jadi Amara menganggap pria itu hanya bersikap sopan. “Mungkin kuburan paling terkenal sedunia.” Mendengar kata kuburan, Amanda langsung bergidik. Orang waras mana yang jauh-jauh datang ke Paris untuk ke kuburan? “Kuburan? Kita … ngapain ke sana?” Jacques sontak tergelak melihat ekspresi Amara yang jelas tidak menyangka akan mendengar kata kuburan. “Beberapa tokoh terkenal dimakamkan di sana, seperti Edith Piaf, Jim Morrison, Oscar Wilde, sampai Chopin. Jangan bayangkan kuburan di sana seperti di Indonesia yang dengan dengan kesan horor dan menakutkan. Aku bisa jamin, kamu pasti suka Père-Lachaise. Berada di sana enggak jauh beda dengan ada di Louvre atau museum karena nisan-nisan yang ada sudah seperti karya seni. Aku yakin Père-Lachaise memang terlihat bukan seperti tempat yang wajib dikunjungi di Paris, tapi aku jamin, kamu enggak akan melupakannya.” Meski ragu menguasai Amara, dia akhirnya menyetujui usul Jacques karena dari dua tempat yang sudah diusulkan pria itu—Pâtisserie Viennoise dan Septime—Amara menyukai keduanya. Lagipula kuburan tetaplah bukan tempat yang akan ditujunya seorang diri. Mumpung ada yang mengajaknya, kenapa tidak? Amara pun yakin, Jacques tidak akan mengusulkan tempat itu jika memang tidak pantas dikunjungi. Amara lebih mempercayai pendapat Jacques tentang Paris daripada ketakutannya akan kuburan. “Kamu yakin tempatnya nggak angker?” Lagi-lagi Jacques menunjukkan deretan gigi putihnya. “Enggak akan ada hantu-hantu seperti urban legend yang ada di Indonesia, Mara. Aku percaya kamu akan menikmatinya. Aku beberapa kali ke sana dan enggak pernah kesurupan, mimpi buruk, atau mengalami sial. Orang Paris enggak percaya dengan hal-hal seperti itu. Père-Lachaise akan membuat kamu lupa sedang berada di Paris.” Memamerkan senyum, Amara mengangguk. “Aku percaya kamu. Tapi awas kalau nanti malam aku sampai mimpi buruk.” “Aku jamin kamu akan tertidur pulas. Kalau kamu sampai mimpi buruk, aku akan bertanggung jawab.” Meski tidak paham maksud kalimat terakhir pria itu, Amara membalasnya dengan sebuah anggukan. “Yuk!” ajaknya agar mereka segera meninggalkan Septime. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pramusaji saat keluar dari Septime, mereka menuju mobil Jacques yang diparkir tidak jauh dari sana. “Aku terkesan dengan bahasa Indonesia kamu yang masih sangat lancar.” “Aku masih bicara dengan Ibu pakai bahasa Indonesia sampai sekarang meski masih enggak begitu paham bahasa informal. Aku juga masih berhubungan dengan teman-teman yang aku kenal waktu kuliah dan mereka kebetulan dari Indonesia. Aku enggak mau kehilangan kemampuan bicara bahasa Indonesia meski aku tahu itu bukan bahasa yang umum dipelajari bagi sebagian besar orang.” “Kamu sendiri sudah pernah ke Indonesia?” Jacques mengangguk. “Dulu dua tahun sekali pasti pulang ke Bandung, tetapi sudah lama kami enggak pulang. Kalau ke Indonesia lagi, aku mau menghabiskan lebih banyak waktu di sana untuk menjelajah pulau-pulaunya. Ada begitu banyak tempat yang ingin aku datangi, tapi sayangnya belum ada waktu untuk itu pergi selama itu karena pekerjaan.” “Harus kabarin aku kalau suatu saat nanti kamu main.” “Pasti,” jawab Jacques dibarengi sebuah senyum.   ***   Ternyata Père-Lachaise memang jauh dari kesan seram dan angker dalam bayangan Amara. Tempat itu adalah kuburan paling luas yang pernah dikunjungi Amara. Sejak memasukinya, matanya sudah disajikan patung-patung yang identik dengan Eropa klasik. Selain itu, Père-Lachaise bukan hanya rapi dan bersih, tapi juga rimbun. Beberapa bagian bahkan seperti memasuki hutan karena tanaman-tanaman yang telah berusia ratusan tahun. Berada di sini membuat Amara lupa bahwa dia masih berada di Paris. Tempat ini memang jauh dari hingar bingar Champs-Élysées yang dipenuhi butik-butik terkenal atau kawasan Eiffel yang sesak oleh turis. Meski melihat beberapa manusia datang bergerombol, ketenangan Père-Lachaise tetap terjaga. Mereka seperti paham bahwa tempat ini tetaplah sebuah pemakaman sekalipun banyak orang terkenal yang dikuburkan di sini. Amara pun tidak banyak berbicara kecuali Jacques memulainya. Bersama pria itu tak ubahnya seperti pemandu wisata yang didapatnya secara cuma-cuma. Meski nisan dan nama-nama yang ditunjukkan Jacques sebagian besar terdengar asing, sulit bagi Amara untuk tidak terpesona dengan pengetahuan luas yang dimiliki pria itu. Jacques seperti sosok dalam film serta novel yang mustahil menjelma ke dunia nyata. Dia terlalu sempurna untuk menjadi manusia yang punya sisi negatif. Jika dia datang ke Indonesia, Amara yakin banyak produser yang ingin memakai jasanya untuk iklan produk atau mengubahnya menjadi artis, apalagi dia punya darah Indonesia. “Kamu pernah kepikiran jadi model?” Pertanyaan itu memang muncul tiba-tiba dan tanpa sebab. Wajar bila Jacques menghentikan langkah untuk menatap Amara. “Model? Apa yang membuat kamu berpikir aku bisa menjadi model, Mara?” “Di Indonesia, kamu pasti bisa menjadi model atau artis. Kamu tinggi, ganteng. Banyak wanita akan tergila-gila dengan kamu.” “Aku jelas enggak akan pindah ke Indonesia meski ditawari iming-iming seperti itu. Di Prancis—atau di Paris—sendiri, ada begitu banyak pria yang jauh lebih menarik daripada aku, Mara. Lagipula, jadi model di sini bayarannya tidak banyak. Pekerjaanku sekarang lebih bisa menjamin masa depanku dan memberiku kepuasan batin.” “Sudah lama kerja di Atlas Group?” Amara menyebutkan nama jaringan hotel tempat Jacques bekerja. “Sudah hampir 4 tahun.” Amara mengangguk paham. Dia sendiri sudah jadi bagian Kenanga Group hampir tiga tahun. “Nggak pernah mau pindah ke jaringan hotel lain yang lebih besar?” “Mungkin beberapa tahun lagi. Aku masih menikmati waktuku di Atlas.” Mereka berhenti di sebuah nisan dari batu granit abu-abu lengkap dengan patung Yesus saat disalib yang direbahkan dari batu berwarna hijau. Ada satu vas hitam besar bertuliskan EP dengan tinta emas. Di sekelilingnya terdapat beberapa buket bunga yang masih tampak segar. Sekarang Amara tahu alasan Jacques berhenti di sebuah kedai bunga dan membeli satu buket bunga mawar merah muda. Meletakkan buket yang dipegangnya di atas nisan, pandangan Jacques hanya terpaku pada satu hal yang ada di depan mereka. “Kenapa mawar merah muda, Jacques?” “Kamu enggak kenal Edith Piaf?” Amara menggeleng. “Aku nggak begitu familier dengan artis-artis dari Prancis.” “Dia mungkin penyanyi paling terkenal di Prancis. Setiap orang di sini tahu siapa Edith Piaf. Dia meninggal saat usianya 47 tahun setelah bertahun-tahun dia menggantungkan hidupnya pada alkohol dan obat pereda nyeri. Sekitar 100 ribu orang menghadiri pemakamannya di sini, di Père-Lachaise.” Jacques lantas berjalan pelan ke bagian depan nisan dan menunjukkan ke Amara tulisan yang tertera di sana. Ada gambar tangan yang tertangkup seperti sedang berdoa dengan tulisan berbahasa Prancis, Dieu reunite ceux qui s’aiment. Amara menatap Jacques, berharap bisa mendapatkan penjelasan tentang arti kalimat itu. “Itu baris terakhir dari salah satu lagu Edith Piaf yang berjudul Hymne A L’Amour. Artinya Tuhan akan mempertemukan kembali mereka yang saling mencintai. Dia menulis lagu itu setelah kekasihnya meninggal dalam kecelakaan pesawat.” Amara sontak terdiam. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kisah seperti itu tentang Edith Piaf. Amara berjanji akan mencari tahu tentang kisah hidup wanita itu setibanya nanti di apartemen Amy. Namun saat ini, berdiri bersisian dengan Jacques di depan makam Edith Piaf, Amara merasakan koneksi yang tidak mampu dijabarkannya. Mustahil bagi Amara untuk jatuh hati dengan Jacques mengingat ada Ryan yang telah 3 tahun mengisi hidupnya. Mengingat Ryan, ada perasaan bersalah yang menyusup dalam diri Amara. Dia meyakinkan diri bahwa Jacques masih bersikap sopan layaknya teman. Tidak sekali pun Jacques melakukan sesuatu yang tidak pantas. Mengingat tidak ada kejadian yang harus membuatnya dibayangi rasa bersalah, Amara menepis pikiran itu. Membaca kembali lirik lagu yang tertera pada pusara di depannya, Amara berkata, “Aku suka arti lirik lagu itu. Sederhana, tapi begitu dalam.” Jacques hanya tersenyum. “Mau lihat nisan-nisan yang lain?” Menyadari dia tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini seorang diri, Amara mengangguk. “Kamu tahu banyak soal tempat ini.” “Aku besar di sini, Mara. Kamu pun akan tahu banyak hal kalau tinggal di sini lama.” Mendekap buket bunga mawar putih yang tadi diberikan Jacques, kekaguman Amara akan sikap rendah hati Jacques pun semakin bertambah. Dia jelas tidak akan melupakan perjalanannya ke Paris kali ini. “Terima kasih sudah mau mengajakku jalan-jalan dan menunjukkan tempat-tempat yang nggak akan aku datangi seorang diri, Jacques.” “Aku senang kamu menikmatinya.” “Nanti aku bisa cerita ke teman-teman bahwa pengalamanku di Paris berbeda dari kebanyakan orang.” Jacques tertawa pelan. “Sudah pernah naik ke Eiffel?” Amara menggeleng. Niatnya melakukan itu tertunda karena panjangnya antrian hingga dia memutuskan untuk menundanya. Namun mendengar pertanyaan Jacques, rasa penasaran itu kembali muncul. “Aku males liat antriannya.” “Kalau pergi dengan aku, kita enggak perlu antri. Aku dulu sempat bekerja di sana, enggak lama, tapi orang-orang di kantor masih ingat aku.” Jacques menghentikan langkah untuk menatap Amara. “Shall we?” “Kalau nggak perlu antri, aku nggak bisa nolak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD