14 - FINALLY ARRIVED

2193 Words
Meski matahari sore tampak begitu terik dari balik jendela pesawat, Jacques tidak ingin melewatkan pemandangan Bali dari udara. Berlindung di balik kacamata hitam Snowdon wayfarer-nya, tatapan Jacques tidak beralih sedikit pun saat Bali bagian selatan mulai tampak membesar. Jacques mengabaikan pengumuman untuk mengenakan sabuk pengaman karena dia tidak pernah melepasnya—kecuali jika harus ke toilet—hingga dia tidak perlu mengecek apakah sabuk pengamannya telah terikat kencang atau tidak. Sejak meninggalkan Paris, Jacques menggunakan sebagian besar waktunya untuk memejamkan mata dan membaca lagi beberapa laporan tentang The Ocean yang dikirimkan Michael. Terlebih perjalanan dari Paris menuju Hong Kong yang memakan waktu hampir dua belas jam membuat dirinya bosan setengah mati. Empat jam layover di Hong Kong setelah mendarat di sana pukul setengah tujuh pagi membuat tubuh Jacques memberontak. Sekalipun telah mengonsumsi kafein dalam jumlah yang cukup, matanya tetap susah untuk diajak terjaga. Hingga kemudian dia ketiduran tidak lama setelah pesawat take off dari bandara Hong Kong. Dia tidak tahu separah apa jetlag yang akan dirasakannya begitu tiba di Bali nanti. Jacques sungguh tidak sabar untuk benar-benar merasakan udara Bali setelah hampir dua puluh jam terkungkung di dalam pesawat dan bandara. Meski makanan yang disajikan di dalam pesawat lebih dari cukup untuk mengenyangkan perut, Jacques tetap merasa perlu makan. Dia berharap bisa menikmati makanan Indonesia nanti. Senyum Jacques mengembang saat pesawat mulai landing dan begitu roda pesawat menyentuh runway, Jacques mengembuskan napas lega. Tidak ada yang membuatnya senang kecuali sampai di tempat tujuan dengan selamat. Meski penerbangannya dari Paris sempat tertunda satu jam, tidak ada insiden berarti yang merusak perjalanan Jacques. Terlepas dari beberapa turbulensi ringan, Jacques bisa menyimpulkan bahwa penerbangannya ke Indonesia kali ini sungguh menyenangkan. Dia bangkit dari tempat duduknya di kelas bisnis—meski tidak keberatan duduk di kelas ekonomi, Michael bersikeras agar dia mendapat servis paling memuaskan hingga tidak ada pilihan lain bagi Jacques untuk menerimanya—dan segera mengambil ransel dari dalam overhead compartment. Duduk di kelas bisnis berarti dia bisa keluar lebih dulu hingga dia tidak menungu lama untuk segera keluar dari burung besi tersebut. Memasuki bandara utama di Bali, telinga Jacques langsung disambut musik gamelan yang keluar dari pengeras suara. Dia segera menuju toilet untuk mengganti pakaiannya yang telah kusut dengan pakaian yang lebih pantas. Dia memang sengaja menyimpan beberapa potong kemeja dan celana di dalam ransel karena dia takut kopernya tertinggal. Pengalaman itu membuatnya berjaga-jaga agar tidak kebingungan soal pakaian jika memang kopernya entah tersangkut di mana. Mengganti kaus yang dipakainya tidak lama setelah sampai di Hong Kong dengan kaus polo abu-abu muda serta melengkapinya dengan blazer serta celana jin berwarna biru gelap, Jacques merasa lebih segar karena tidak mengenakan pakaian yang lusuh. Tidak lupa dia membasuh wajahnya untuk menghilangkan sedikit kantuk yang masih tersisa. Dia hanya menyemprotkan sedikit parfum Acqua di Gio agar bisa menutupi badannya yang pasti menguarkan aroma tidak sedap karena sejak meninggalkan Paris, dia sama sekali belum mandi. Setelah merasa tampilannya cukup, dia segera keluar dari toilet untuk ikut antri di bagian imigrasi dengan orang-orang asing lainnya yang datang ke Bali dengan berbagai tujuan. Sembari menunggu antrian berkurang, Jacques menyalakan ponsel yang memang dia matikan. Dia janji akan mengabari Kinan begitu sampai di Bali. Dia sudah ber-video call dengan Kinan saat di Hong Kong, jadi dia akan kembali menghubungi kekasihnya setibanya di hotel nanti. Jacques hanya mengirim pesan singkat yang mengabarkan bahwa dia telah sampai di Bali dengan selamat sebelum mengirimkan swafoto wajahnya yang menunjukkan kebosanan karena menunggu. Jacques sebenarnya bukan penggemar selfie, tetapi dia tahu Kinan mengharapkannya. Setelah antrian sampai pada gilirannya, Jacques menunggu dengan cemas, berharap tidak akan dihujani berbagai pertanyaan yang membuatnya tertahan lebih lama di imigrasi. Dia menjawab beberapa pertanyaan umum—seperti tujuannya datang ke Bali—sebelum mendapatkan stempel dari petugas imigrasi yang kemudian mengulurkan kembali paspor Jacques sembari memberinya ucapan selamat datang di Bali. Bergegas menuju tempat pengambilan koper, Jacques menunggu hampir dua puluh menit sebelum melihat dua koper berukuran besar miliknya. Tanpa kesusahan, dia segera menurunkannya dan menggunakan troli, dia segera menuju pemeriksaan barang. Setelah meletakkan barang-barang bawaannya untuk diperiksa—Jacques memastikan hanya membawa satu botol wine—dan lolos, dia segera mendorong trolinya menuju pintu keluar. Dia tidak tahu siapa yang menjemputnya hingga kebisingan yang menyapa pendengarannya dengan bertubi-tubi sempat membingungkannya. Matanya dengan teliti mencari namanya dan senyum yang terpasang saat menemukan pria yang mengangkat papan nama bertuliskan The Ocean dan juga JACQUES ROMAINE, senyum Jacques mengembang. Namun saat langkahnya mendekati pria tersebut, senyum yang sebelumnya begitu lebar menghiasi wajahnya, perlahan surut menyadari bahwa ada orang lain yang berdiri di samping pria yang diduganya adalah pegawai The Ocean. Selama beberapa detik, pandangan Jacques Romaine dan Amara Prasojo bertemu. Jacques jelas tidak menyangka akan menemukan Amara berdiri dengan rok terusan bermotif bunga menunggunya di pintu kedatangan. Dia sejujurnya tidak mengharapkan akan bertemu Amara secepat ini. Karena ketidaksiapan tersebut, Jacques sempat berpikir sapaan seperti apa yang bisa dikatakannya. “Welcome to Bali, Mister Jacques. My name is Amara, and this is our driver, Pak Gede, and we will assist you to The Ocean,” sambut Amara sembari mengulurkan lengan. Jadi ini yang kamu inginkan, Mara, bersikap formal di depanku, batin Jacques. Dengan cepat, Jacques pun menyambut uluran tangan Amara dan menggenggamnya sedikit lebih erat. Berbulan-bulan, Jacques hanya bisa membayangkan rasanya bersentuhan kembali dengan Amara. Meski yang terjadi saat ini jauh dari kata intim, namun merasakan kulit mereka saling bersentuhan, membuat seluruh ingatan tentang malam itu kembali mencecarnya. Dia tidak tahu apa yang sedang berkecamuk dalam benak Amara saat ini, tetapi Jacques memastikan wanita di depannya yang kecantikannya justru semakin tidak terbendung ini tampak tidak terlalu antusias berjumpa dengannya. Tidak ada tatapan penuh permohonan seperti yang Jacques lihat malam itu di sisi sungai Seine. Yang ditangkapnya hanyalah sebuah formalitas dan sedikit kebencian yang tidak dipahami Jacques. Ah, aku bisa bertanya nanti apa yang sebenarnya dia pikirkan, ucap Jacques dalam hati. “Thank you for picking me up, Amara. I really appreciate it,” balas Jacques tidak kalah formal. Jacques kemudian menyalami Pak Gede dan kembali mengucapkan terima kasih karena telah menjemputnya. Mereka lantas menunjukkan Jacques di mana dia harus keluar dan mereka berjanji akan menunggunya. Jacques lantas menyusuri lorong pendek yang dipenuhi toko-toko duty free sebelum dia sampai di ujung yang langsung disambut oleh teriakan agresif para sopir taksi yang menawarinya transportasi. Pak Gede dengan cekatan mengambil alih troli yang sebelumnya didorong Jacques. Pria yang ditaksir Jacques berusia di akhir 30-an tersebut dengan cekatan berjalan lebih cepat di depannya dan Amara sehingga memberinya waktu untuk mengatakan sesuatu. “Aku senang bisa bertemu kembali dengan kamu, Mara. Aku enggak menyangka sama sekali kalau kamu yang menjemputku di bandara. Merci. Terima kasih.” “Bagaimana penerbangan tadi?” Jacques menangkap kalimat Amara bukan hanya sangat formal, tapi juga dingin dan tanpa emosi. Dia sungguh tidak tahu apa yang merasuki Amara hingga wanita anggun di sampingnya ini seperti merutuki keputusannya datang menjemputnya di bandara. “Kamu enggak perlu jemput aku kalau memang enggak mau.” “I didn’t have a choice. If I had known that you would be the Director of Marketing, I would’ve never said yes to the offer.” Jacques jelas tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu. Semua bayangan yang dimilikinya bahwa Amara akan senang bertemu dengannya kembali, runtuh seketika. Wanita yang berjalan bersamanya ini sungguh berbeda dengan wanita yang ditemuinya di Paris. Jacques menyangka mereka berpisah dengan baik-baik, karena praktis setelah pagi itu mereka tidak berhubungan lagi, Jacques menduga-duga apa yang sekiranya dia lakukan hingga pantas mendapat perlakuan seperti ini dari Amara. “Aku enggak tahu masalah kamu dengan aku apa, Mara, tapi aku harap kamu akan menjelaskannya nanti.” Saat Pak Gede membuka pintu penumpang dan mempersilakan Jacques serta Amara masuk sementara dia mengatur koper Jacques di belakang, Amara menatap pria di sampingnya tajam. “Aku pasti menjelaskannya hingga tuntas. Kamu nggak usah khawatir.” Keinginan Jacques untuk meminta penjelasan lebih banyak dari Amara ditahannya. Dia tidak ingin merusak pertemuan pertama mereka dengan pertengkaran. Mengembuskan napas, Jacques menata duduknya hingga nyaman sebelum memasang sabuk pengaman. “Okay, Mara, as you wish.”   ***   Senyum Jacques sesekali terpasang di wajahnya saat mereka kembali dari La Lucciola. Obrolannya dengan Amara berlangsung lebih santai dan tanpa kebencian sama sekali. Setelah mengetahui alasan wanita itu bersikap begitu dingin saat menjemputnya di bandara tadi, Jacques memahami sepenuhnya. Jika dia berada di posisi Amara, kemungkinan besar dia akan melakukan hal yang sama. Jacques pun dengan serius menjelaskan bahwa dia pun tidak tahu Amara akan bekerja di The Ocean—terlebih sebagai bawahannya—sampai dia menerima tawaran dari Michael. Namun Jacques pun menerangkan dia tidak punya niat mundur dari tawaran tersebut karena ini kesempatan yang jarang didapatnya. Jacques pun menerima posisi ini murni karena ingin menantang dirinya bekerja di negara asal sang ibu. Amara sepertinya percaya dengan alasan Jacques karena percakapan mereka menjadi lebih menyenangkan sesudahnya. Terlebih lagi saat Amara dengan tegas meminta mereka agar bersikap profesional tanpa sekali pun menyinggung soal kebersamaan mereka di Paris. Selain itu, Amara pun menggunakan kekasihnya sebagai cara untuk memberitahu Jacques bahwa apa yang terjadi di Paris tidak akan terulang. Demi mendapatkan kepercayaan Amara, nama Kinan pun harus diucapkannya. Meski tidak ada kebohongan yang dilontarkannya, Jacques sebenarnya tidak ingin membawa Kinan dalam obrolan mereka. Namun semuanya sudah terjadi. Jacques jelas sadar bahwa kehadiran Amara akan punya potensi untuk mengacaukan pekerjaannya, tetapi dia telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak merusak hubungan profesional mereka. Baginya, permintaan Amara sangat bisa dipahami sekalipun dia sendiri tidak yakin akan bisa bertahan lama. Bagaimana mungkin aku bisa bekerja dengan tenang jika harus bertemu Amara setiap hari? tanya Jacques tanpa bisa menemukan jawaban. “Kamu bisa tinggal di The Ocean sampai menemukan tempat yang cocok untuk ditinggali. Aku yakin Bu Rani atau Pak Michael sudah memberitahu kamu soal itu.” Jacques mengangguk. “Aku akan segera melihat-lihat pilihan yang sempat dikirimkan kepadaku agar enggak terlalu lama tinggal di hotel.” “Kan enak nggak perlu capek-capek ke kantor kalau tinggal di hotel, Pak Jacques,” sahut Pak Gede yang disambut gelak oleh Jacques. “Saya merasa enggak punya kehidupan pribadi kalau tinggal di tempat saya harus kerja, Pak Gede. Dua hal itu harus terpisah, enggak bisa dijadikan satu.” Pak Gede hanya mengangguk mendengar jawaban itu dibarengi sebuah senyum. “Kamu pasti capek.” “Sangat capek, Mara. I’ve always hated long flight.” “Kamu nggak perlu datang ke kantor—maksudku ruangan marketing—besok kalau memang masih lelah. Kami pasti maklum kamu perlu istirahat. Adaptasi dulu aja.” “I should be fine tomorrow, if not … well, I’ll let you know. Michael masih di Jakarta?” Kali ini giliran Amara yang mengangguk. “Lusa baru pulang dan welcome dinner rencananya akan diadakan Jumat ini. Mungkin minggu ini kamu bisa bersantai lebih dulu. Persoalan tentang strategi marketing The Ocean sudah 65% dikerjakan, dan nggak perlu buru-buru.” “Mara, can we not talk about work right now? My mind is still drifting.” Sulit bagi Jacques menahan senyum saat mendengar suara tawa Amara sebelum wanita itu meminta maaf karena telah menyinggung soal pekerjaan. Setidaknya, salah satu kerinduan Jacques akan Amara telah terobati, yaitu mendengar suara tawanya. Dia yakin akan mampu membatasi diri agar tidak terjadi sesuatu yang akan dia sesali nanti. Dia harus mengingatkan diri setiap hari bahwa hubungannya dengan Amara bukan hanya sebagai pegawai The Ocean, tetapi juga bawahannya. “Apakah kamu juga tinggal di hotel?” Amara menggeleng. “Aku menyewa rumah nggak jauh dari hotel.” “I see … jadi apakah Pak Gede akan mengantar kamu pulang lebih dulu?” “Kita langsung ke hotel.” “Mara, bukan itu pertanyaanku. Aku peduli dengan keselamatan kamu jika harus pulang malam-malam begini. Is it safe here?” “Aku bawa mobil, kamu nggak perlu khawatir,” tukas Amara hingga membuat Jacques terdiam. “I hope you won’t misunderstand my intention next time, Mara, because you need to remember that you’re in my team and I always take care of them, no matter what.” Jacques sengaja mengucapkan kalimat itu agar Amara tahu bahwa terlepas dari affair singkat mereka di Paris, dia akan tetap peduli dengan Amara sebagai bawahannya. Dia tidak ingin Amara salah sangka bahwa perhatiannya adalah salah satu cara untuk merampasnya dari Ryan. “I’ll be fine. Thank you.” Obrolan mereka terhenti tepat ketika Pak Gede menghentikan mobil di depan tangga menuju lobi. Menawarkan diri untuk membantu membawa kopernya, Jacques justru tidak diizinkan membawa apa pun. Menaiki tangga dengan Amara berada beberapa langkah di belakangnya, Jacques tidak ingin terlalu memikirkan sikap Amara malam ini. Pikiran dan fisiknya terlalu lelah untuk berargumen. Maka dia memutuskan akan segera naik ke kamar, mandi—berendam di bathtub terdengar sangat menggoda—dan merebahkan diri di tempat tidur yang sesungguhnya. Begitu langkahnya menginjak lobi, napas Jacques tertahan. Meski tidak bisa menyaksikan Samudra Hindia dengan warna biru yang memanjakan mata, Jacques bisa merasakan semilir angin dan suara ombak yang menyambutnya. Senyumnya mengembang lebar, dan selama beberapa detik, Jacques berdiri terpaku seperti terbius oleh suara samudra yang lama tidak didengarnya. Ketika menyadari beberapa orang berdiri menunggunya, Jacques segera menghampiri mereka. Dia menyalami satu per satu tanpa ada niat untuk mengingat nama mereka sebelum disodori satu minuman dingin yang langsung melegakan tenggorokannya. Setelah berbasa-basi sebentar, Jacques siap untuk naik ke kamar karena tubuhnya tidak lagi bisa menahan lelah. Mendekati Amara, dia memandang wajah wanita yang tampak begitu sederhana tapi menguatkan kecantikan di depannya. “Sekali lagi, terima kasih telah menjemput saya di bandara, Amara. Semoga kita bisa bercakap-cakap lagi kalau lelah saya sudah hilang,” ujar Jacques sembari mengulurkan tangan. Amara dengan cepat menyambutnya. “Tentu saja, Pak Jacques. Selamat beristirahat kalau gitu. Sampai ketemu lagi.” Jacques melontarkan senyum tipis sebelum dia membalikkan badan dan mengikuti salah satu staf yang namanya sudah tidak lagi diingatnya menuju ke tangga yang akan membawanya ke kamar. Dia tidak lagi peduli dengan ucapan wanita yang dia taksir berada di awal 40-an ini karena untuk terakhir kalinya, dia menoleh ke belakang dan menyaksikan Amara masih berdiri di tempat yang sama. Aku enggak sabar untuk bicara lagi dengan kamu, Amara, harap Jacques dalam hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD