Elina Kaneisha Sanjaya.

2725 Words
  Arjuna memakirkan mobilnya di basement, tadinya ia ingin memakirkan mobilnya di depan kantor, sama seperti sebelumnya, tapi Elina dengan tegas menolak dengan alasan kalau akan banyak pasang mata yang melihat kedatangan mereka dan Elina tidak mau itu terjadi.   Sebenarnya Arjuna sama sekali tidak masalah kalau orang-orang di kantornya tahu kalau ia dan Elina memiliki hubungan, tapi ternyata Elina belum siap untuk hal yang satu itu dan Arjuna tidak akan memaksa Elina untuk mengumbar hubungan mereka pada orang di luar sana.   Ketiganya keluar dari mobil secara bersamaan dan memasuki lift khusus yang akan membawa mereka menuju lantai di mana ruangan Arjuna dan Elina berada. Karena lift yang mereka naiki adalah lift khusus yang hanya bisa di akses oleh Arjuna selaku bos dan Elina selaku sekretaris Arjuna, jadi tidak akan ada karyawan yang memasuki lift tersebut saat lift bergerak naik.   "Bunda biar Kakak yang tekan tombol liftnya ," ujar Abhimanyu antusias.   Elina mengangguk, mempersilahkan Abhimanyu menekan tombol lift. Elina tidak perlu memberi tahu Abhimanyu lantai dimana ruangannya berada karena Abhimanyu sudah mengetahuinya.   "Ting...." Begitu pintu lift terbuka, ketiganya keluar dari lift dengan posisi Abhimanyu yang berada di tengah-tengah Arjuna dan Elina. Sebenarnya Abhimanyu ingin berlari, tapi tak bisa karena Arjuna dan Elina masing-masing menggenggam erat tangan Abhimanyu, mencegah agar Abhimanyu tidak berlari.   Arjuna tak kuasa untuk menahan senyumnya saat melihat betapa antusiasnya Abhimanyu saat melangkah. Arjuna melirik Elina yang juga sedang meliriknya, melempar senyum pada Elina yang membalas senyumannya, senyum yang mampu membuat detak jantung Arjuna berdebar dengan sangat cepat.   "Sudah sampai." Ucapan Abhimanyu membuat Arjuna dan Elina sadar kalau kini mereka sudah sampai di hadapan meja kerja Elina.   Arjuna mensejajarkan tingginya dengan Abhimanyu, mengusap dengan lembut puncak kepala Abhimanyu. "Om Juna kerja dulu ya, Kak Abhi sama Bunda."   "Abhi enggak boleh ikut?"   "Kak Abhi sama Bunda saja ya," sahut Elina cepat sebelum Arjuna menjawab pertanyaan polos Abhimanyu.   "Kak Abhi mau ikut sama Om Juna?" Arjuna mengabaikan jawaban yang Elina berikan pada Abhimanyu.   "Enggak usah Mas, biar Abhi sama aku aja ya." Elina melingkarkan kedua tangannya pada Abhimanyu, menolak dengan lembut ajakan Arjuna untuk membawa Abhimanyu ke ruang kerjanya.   Arjuna mengangguk paham, lalu memasuki ruang kerjanya sesaat setelah pamit pada Elina dan juga Abhimanyu.   "Eh, Kak Abhi mau kemana?" Elina mencekal pergelangan tangan Abhimanyu membuat langkah Abhimanyu sontak terhenti.   "Abhi mau main laptop," sahut Abhimanyu tidak sabaran.   Sama halnya dengan Arjuna, Elina juga mensejajarkan tingginya dengan Abhimanyu, merangkum wajah Abhimanyu dengan kedua telapak tangannya. "Bilang apa dulu sama Bunda?"   "Bunda, Abhimanyu mau main laptop ya," ujar Abhimanyu dengan fokus mata yang tidak tertuju pada Elina, melainkan tertuju pada meja kerja Elina di mana laptop miliknya berada.   "Kak Abhi, lihat mata Bunda." Barulah fokus Abhimanyu tertuju pada manik hitam Elina yang selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang.   "Bunda, Abhi mau main laptop." Abhimanyu kembali mengulang ucapannya dan begitu mendapat persetujuan dari Elina, Abhimanyu segera mengecup pipi kanan dan kiri Elina, membuat tawa Elina lolos.   Elina pun segera menggendong Abhimanyu, mendudukan Abhimanyu di kursi yang jauh lebih kecil dari miliknya di susul dirinya yang duduk di kursi dan mulai bekerja, kembali mengerjakan tugasnya yang sempat tertunda.   1 jam berlalu dan selama rentang waktu tersebut, Abhimanyu sama sekali tidak merengek pada Elina, membuat Elina bisa fokus pada pekerjaannya.   Elina melirik Abhimanyu yang sejak tadi fokus bermain dengan laptopnya sendiri Elina menggeser kursinya mendekati Abhimanyu, menatap layar laptop milik Abhimanyu dengan tatapan sendu.   "Seperti keluarga bahagia," batin Elina begitu melihat gambar apa yang Abhimanyu buat.   Meskipun Elina sudah tahu gambar apa yang Abhimanyu buat, Elina tetap akan bertanya pada Abhimanyu karena komunikasi dengan anak seperti Abhimanyu sangat penting, terlebih komunikasi Abhimanyu tertinggal dari anak-anak lain yang seumuran dengannya jadi Elina harus sering mengajak Abhimanyu untuk menjalin komunikasi dua arah.   "Kak Abhi membuat gambar apa?" Elina mengecup puncuk kepala Abhimanyu membuat Abhimanyu sontak meliriknya dengan telunjuk yang tertuju pada layar laptopnya. "Ini Om Juna," jawabnya sambil menunjuk sebuah gambar pria yang ia buat, lalu beralih menuju gambar seorang anak kecil yang berada di tengah-tengah gambar pria dan wanita dewasa. "ini Abhi dan Ini Bunda," lanjutnya dengan senyum mengembang. Gambar terakhir yang Abhimanyu tunjuk tentu saja gambar Elina.   "Pintarnya anak Bunda." Pujian yang baru saja Elina berikan tak ayal membuat Abhimanyu senang.   "Gambarnya bagus?"   "Bagus, gambarnya bagus banget," jawab Elina dengan senyum mengembang, senyum yang kini juga menghiasi wajah Abhimanyu.   "Gambarnya di simpan ya Kak, biar enggak hilang." Abhimanyu mengangguk lalu menyimpan gambar yang baru saja ia buat.   Abhimanyu kembali fokus menggambar di laptopnya dan Elina memilih untuk kembali fokus pada pekerjaannya, tak mau mengganggu Abhimanyu yang kali ini sedang fokus menggambar pesawat.   Saat jam pulang kantor tiba, Elina memilih untuk pulang menggunakan mobilnya sendiri, menolak tawaran Arjuna yang berniat untuk mengantarnya dan Abhimanyu pulang.                                           ***   Beberapa hari kemudian.   1 minggu yang lalu, Elina di panggil oleh Miss Bella dan kali ini Elina kembali di panggil pihak sekolah dengan kasus yang berbeda. Jika sebelumnya Elina di panggil karena Abhimanyu memukul salah satu temannya saat jam kelas Misa Bella berlangsung, maka kali ini Elina di panggil pihak sekolah karena Abhimanyu mengamuk, kesal karena tempat pensilnya rusak.   Dengan langkah tergesa-gesa, Elina berjalan menuju ruang bimbingan konseling di mana Abhimanyu berada. Di sana Abhimanyu tidak sendiri tapi bersama dengan salah satu guru yang sejak dulu sudah handal dalam menangani Abhimanyu jika sedang mengamuk.   "Tok... Tok... Tok...." Dengan tidak sabaran Elina mengetuk pintu di hadapannya dan begitu mendapat sahutan dari dalam, Elina segera membuka pintu tersebut.   "Kak Abhi."   Abhimanyu menoleh pada asal suara, lalu menghampiri Elina yang baru saja tiba. "Bunda, tempat pensil Abhimanyu lusak," ujar Abhimanyu seraya menunjuk tempat pensilnya yang sudah rusak.   Elina berjongkok agar tingginya bisa sama dengan Abhimanyu, mendekap dengan erat tubuh Abhimanyu. "Sabar Kak Abhi, Kak Abhi tidak boleh marah-marah," tutur Elina lembut. Elina mengusap punggung Abhimanyu naik turun dengan gerakan lembut, mencoba untuk meredakan emosi Abhimanyu yang belum sepenuhnya hilang.   "S-sesil lusak tempat pensil Abhi," ujar Abhimanyu kesal yang kini kembali menangis. Tadi tangis Abhimanyu sudah reda dan meredakan tangis Abhimanyu bukanlah perkara mudah, terlebih tadi Abhimanyu sempat mengamuk.   "Nanti Bunda perbaiki ya tempat pensilnya."   "Enggak mau!" Tolaknya tegas. "T-tempat pensilnya sudah l-lusak," lanjut Abhimanyu di sela isak tangisnya.   Elina memejamkan matanya, dalam hati terus merapalkan doa agar emosi buah hatinya ini segera mereda. "Ya sudah kalau Kakak tidak mau, nanti kita beli yang baru ya," bisik Elina penuh kelembutan. Abhimanyu hanya mengangguk dan tangisnya tak kunjung reda meksipun Elina sudah mencoba untuk menghiburnya.   Elina memilih membawa Abhimanyu pulang karena jika sudah emosi seperti sekarang ini, akan sangat sulit untuk Abhimanyu bisa ikut kembali belajar bersama teman-temannya yang lain.   Sebenarnya Elina ingin mendengar penjelasan Bu Aini tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi itu tidak memungkinkan karena Abhimanyu terus merengek minta pulang.   Begitu Elina sampai di loby sekolah, Elina di kejutkan oleh sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti tepat di hadapannya dan ternyata mobil tersebut milik Arjuna.   "Maaf, Mas datang terlambat." Arjuna merasa bersalah karena tidak bisa menemani Elina untuk pergi ke sekolah Abhimanyu, tadi saat Elina pergi ke sekolah Abhimanyu, ia sedang rapat dan ia tidak mungkin pergi begitu saja di tengah-tengah rapat yang sedang berlangsung.   "Tidak apa-apa Mas." Bagi Elina, Arjuna sudah mau datang untuk menjemputnya dan Abhimanyu saja sudah lebih dari cukup.   Arjuna membuka pintu mobil, mempersilahkan Elina untuk memasuki mobil di susul dirinya yang duduk di samping Elina. Setelah mengatakan kemana tujuan mereka selanjutnya, mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang.   Awalnya Elina protes karena Arjuna malah akan membawanya pulang, bukan kembali ke kantor, tapi Arjuna tetap kekeh ingin membawa Elina pulang dengan alasan 'kasihan Abhimanyu kalau harus ikut ke kantor, dan akhirnya Elina pun pasrah, untung saja pekerjaannya di kantor tidak terlalu menumpuk jadi ia tidak akan terlalu memberatkan Arjuna.   "Biar Mas yang gendong Abhimanyu." Tanpa menunggu persetujuan Elina, Arjuna mengambil alih Abhimanyu dari gendongan Elina. Kali ini Arjuna membawa supir jadi ia bisa memangku Abhimanyu.   Abhimanyu yang sudah hampir terpejam sontak terbangun, mendongak untuk melihat siapa yang kini memangkunya. Begitu melihat siapa yang memangkunya, mata Abhimanyu kembali berkaca-kaca dan selang beberapa detik kemudian ia kembali menangis.   "Loh, kok Kak Abhimanyu menangis, kenapa?"   "T-tempat pensil Abhimanyu di lusak sama Sesil," adu Abhimanyu dengan manja.   "Ya sudah, nanti kita beli lagi ya."   "Yang banyak ya," sahut Abhimanyu dengan polosnya.     Arjuna dan Elina sontak tertawa begitu mendengar permintaan Abhimanyu. "Iya, nanti Om Juna belikan Kak Abhi tempat pensil yang banyak, Kak Abhi mau tempat pensil gambar apa?"   "Balbie."   "Barbie?" Ulang Arjuna mempertegas.   "Iya yang balbie."   "Barbie bukannya untuk anak perempuan ya?" Tanya Arjuna entah pada siapa tapi Arjuna menatap Elina dan Abhimanyu secara bergantian.   "Iya, tapi Kak Abhi maunya barbie, enggak mau yang lain." Akhirnya Elina yang sejak tadi diam memperhatikan interaksi antara Arjuna dan Abhimanyu bersuara.   "Yang lain jelek, Kak Abhi maunya balbie," sahut Abhimanyu.   "Kata siapa yang lain jelek?"   "Kata Abhi," sahut Abhimanyu seraya menunjuk dirinya sendiri.   "Menurut Om Juna, lebih bagus tempat pensil yang gambarnya robot-robotan dari pada barbie, kalau barbie itu untuk anak perempuan."   "Kalau lobot untuk anak laki-laki?" Tanpa ragu Arjuna mengangguk. "Iya, kalau robot untuk anak laki-laki, barbie untuk anak perempuan."   "Ya sudah, Abhi mau yang lobot."   "Pintar," puji Arjuna seraya mengecup puncak kepala Abhimanyu. Dengan manja, Abhimanyu kembali menyandarkan kepalanya di d**a bidang Arjuna dengan mata yang secara perlahan terpejam dan hanya dala. Ini hitungan detik Abhimanyu kembali tertidur.   Arjuna menoleh, mendapati Elina yang kini berwajah masam. "Kenapa?" tanyanya penasaran.   "Kamu cuma butuh hitungan menit agar dia mau beli tempat pensil yang gambar robot-robotan, tapi kalau sama aku mana mau dia," sahut Elina dengan nada merajuk.   "Cie yang cemburu," ledek Arjuna seraya menjawil gemas hidung mancung Elina. Elina hanya merenggut, enggan menanggapi ledekan yang Arjuna tunjukan padanya, memilih untuk membelai puncak kepala Abhimanyu.   "Mas, Abhi tidur ya?" tanya Elina memastikan.   Arjuna mengangguk. "Iya dia tidur, pulas banget lagi," jawabnya bergumam.   "Iya lah pulas, tadi habis nangis, pasti capek banget," lirih Elina seraya mengusap lembut punggung tangan Abhimanyu.   "Jadi, kenapa dia nangis?" Arjuna ingin tahu lebih detail tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Abhimanyu.   "Belum tahu Mas, Bu Aini belum sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi karena tadi Abhimanyu merengek minta pulang," jelas Elina lirih.   Arjuna mengangguk dan setelahnya tidak ada yang bersuara, takut kalau mereka mengobrol maka Abhimanyu akan merasa terusik dan itu terjadi sampai mereka sampai di kediaman kedua orang tua Elina.   "Assalamu’alaikum." Arjuna dan Elina secara kompak mengucapkan salam begitu keduanya memasuki kediaman kedua orang tua Elina. Samar-samar keduanya mendengar suara televisi, membuat keduanya yakin kalau Indra dan Indira sedang menonton televisi bersama.   "Wa’alaikumussalam." Indra dan Indira yang mendengar suara langkah kaki mendekat lantas menoleh pada asal suara dan senyum di wajah Indira mengembang dengan sempurna begitu melihat Arjuna, Elina dan Abhimanyu yang kini ada dalam gendongan Arjuna.   "Pak, Bu," sapa Arjuna seraya menganggukan sedikit kepalanya sebagai bentuk tanda sopan. Arjuna tidak bisa menyalami Indra atau pun memberi Indira salam jarak jauh dengan kedua tangannya karena kini ia menggendong Abhimanyu.   Indra dan Indira membalas sapaan Arjuna, lalu mengalihkan perhatiannya pada Abhimanyu yang kini ada dalam gendongan Arjuna.   "Abhimanyunya tidur?"   "Iya Bu, Abhi tidur." Elina menjawab dengan pelan pertanyaan Ibunya karena takut kalau tidur pulas Abhimanyu terusik.   "Ya sudah bawa ke kamarnya, pasti berat banget." Kali ini giliran Indra yang bersuara.   "Iya Pak, ayo Mas," sahut Elina seraya melangkah menuju kamar Abhimanyu sesaat setelah menyalami kedua orang tuanya. Setelah pamit pada Indra dan Indira, Arjuna mengikuti langkah Elina, menuju kamar Abhimanyu. Sejujurnya, ini kali pertama Arjuna memasuki kamar Abhimanyu.   Nyaman, itulah yang ada dalam benak Arjuna begitu ia memasuki kamar Abhimanyu. Setelah membaringkan Abhimanyu dan memastikan kalau Abhimanyu tidak akan terbangun, Arjuna dan Elina kembali ke ruang tamu di mana Indra dan Indira berada.   "Pak, Bu, Juna pamit pulang ya." Tidak enak sama tetangga kalau Arjuna terlalu lama berada di kediaman orang tua Elina.   "Enggak mau makan malam bersama?"   Arjuna sontak menggeleng. "Terima kasih Ibu atas tawarannya tapi Juna mau pulang saja." Sebenarnya Arjuna ingin sekali makan malam bersama dengan keluarga Elina tapi ia sudah punya janji akan makan malam bersama dengan kedua orang tuanya.   "Ya sudah tidak apa-apa. Elina antar Nak Juna sampai depan ya." Seperti yang Indira katakan, Elina mengantar Arjuna sampai teras depan.   "Mas pulang ya, jangan lupa makan."   Hari sudah beranjak Isya, Elina sendiri sedang menonton televisi, sedangkan Abhimanyu sedang pergi bersama dengan Indra. Elina tidak tahu kemana Indra membawa Abhimanyu pergi karena saat keduanya pergi, ia sedang membantu ibunya memasak.   "Nak."   Elina yang sejak tadi asyik menikmati cemilannya dan menonton televisi lantas menoleh dan mendapati Indira yang kini duduk di sampingnya.   "Ada apa Ibu?" Kini fokus Elina tertuju pada Indira.   "Boleh Ibu tanya sesuatu?" Tanpa ragu, Elina mengangguk. "Boleh, Ibu mau tanya apa?"   "Hubungan kamu sama Nak Arjuna itu mau di bawa kemana? Kalian serius kan? Karena kalau cuma main-main saja, sebaiknya tidak usah. Ingat! kalian sudah sama-sama dewasa."   "Mas Arjuna serius kok Bu." Arjuna sudah sering meminta ijin padanya untuk datang menemui kedua orang tuanya dengan tujuan melamarnya, bukankah itu artinya kalau Arjuna serius menjalin hubungan dengannya?   "Syukurlah kalau kalian berdua memang serius dalam menjalani hubungan ini." Indira sedikit merasa lega meskipun ia belum sepenuhnya bisa merasa lega. "Apa Nak Arjuna suka macam-macam?"   Tubuh Elina menegang kaku begitu mendengar pertanyaan yang Indira lontarkan, pertanyaan yang sama sekali tidak pernah Elina duga. Elina tidak langsung menjawab pertanyaan Indira, karena ia takut. Jika Elina jujur pada Indira, Elina takut kalau Indira akan memarahinya tapi jika ia tidak jujur maka ia berdosa karena sudah membohongi Ibunya.   "Paling cuma cium bibir aja Bu," lirih Elina dengan kepala tertunduk. Kini kedua tangan Elina saling meremas sebagai pertanda kalau ia gugup dan juga takut, bahkan tanpa Elina sadari, ia terus menggigit bibir bawahnya.   Elina mendongak memberanikan diri untuk menatap Indira yang terdiam sejak ia memberi jawaban atas pertanyaan yang tadi sempat Indira ajukan. "Ibu kenapa diam? Ibu marah sama Elina? Maaf ya Bu," lirih Elina.   "Bisa jelaskan secara spesifik, cium bibirnya saling melumat atau hanya kecupan?"   Elina kembali menunduk, tidak berani menatap Indira. "Hanya kecupan Bu, tidak lebih dari itu."   "Tatap mata Ibu kalau sedang berbicara dengan Ibu, Elina," titah tegas Indira.   Elina kembali mengangkat kepalanya, menatap Indira yang sedang menatapnya dengan sorot mata tegas.   "Yakin tidak lebih dari sekedar kecupan?"   "Iya Bu," jawab Elina dengan lugas.   Indira mendesah, merasa lega. "Apa Nak Arjuna tidak pernah melamar kamu?"   "Sudah Bu, tapi Elina tolak."   "Kenapa di tolak?"   "Elina belum siap untuk kembali berumah tangga Bu," cicit Elina dengan kepala yang lagi-lagi tertunduk. "Sebenarnya Mas Arjuna ingin melamar secara langsung pada Bapak dan Ibu, tapi Elina tolak karena Elina takut," lanjut Elina lirih.   "Takut kenapa?"   "Elina takut kalau kedua orang tua Mas Arjuna dan keluarganya tidak merestui hubungan Mas Arjuna sama Elina."   "Memangnya kenapa?" Indira ingin tahu apa yang membuat Elina merasa ragu.   "Sebenarnya Mas Arjuna itu bos Elina di kantor Bu, lebih tepatnya dia pemilik perusahaan yang kini menjadi tempat Elina kerja."   "Astagfirullah, kenapa baru bilang sekarang?" Irina tentu saja terkejut dengan fakta yang baru saja ia ketahui.   Sekarang bukan hanya Elina yang merasa ragu, tapi juga Indira. Bukan apa, Indira cukup tahu diri, keluarganya bukan keluarga berada terlebih ada trauma mendalam di benaknya dan juga Elina.   Keluarga mantan suami Elina juga termasuk golongan orang kaya dan selama Elina menjalani rumah tangga dengannya, Elina banyak mendapat tekanan batin karena selalu di banding-bandingkan dan banyak anggota kelurga mantan suami Elina yang juga berkata kalau Elina tidak pantas atau layak menjadi bagian dari keluarga besar mereka dan itu membuat kepercayaan diri Elina menurun.   Bukan hanya Elina tapi Indra dan Indira dan juga kerap kali menjadi bahan gunjingan keluarga besar mantan suami Elina, mereka mengatakan kalau keluarga mereka sudah mengguna-guna Damar agar Damar mau menikahi Elina, padahal itu sama sekali tidak benar.   "Ya Allah, kalau memang Arjuna dan Elina berjodoh, maka persatukanlah keduanya." Doa Indira dalam hati.   "Orang tua Nak Arjuna belum tahu tentang hubungan kalian."   Elina menggeleng. "Belum Bu," jawabnya lesu.   Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa Elina tidak sepenuhnya yakin pada Arjuna, karena sampai saat ini, Arjuna belum memperkenalkan dirinya pada keluarga atau kedua orang tua pria itu, membuat Elina sempat berpikir kalau Arjuna tidak serius padanya meskipun pikiran negatif itu sudah sering kali ia buang jauh-jauh dari pikirannya.   "Elina takut Bu, takut kehilangan Mas Juna," lirih Elina sendu. Irina mendekap erat tubuh Elina, mengusap dengan penuh kasih sayang punggung Elina, mencoba menenangkan Elina dengan sentuhannya.   Elina sudah teramat sangat mencintai Arjuna dan ia tidak mau kehilangan lagi untuk kali kedua karena kehilangan orang yang teramat sangat kita cintai itu sangat menyakitkan dan Elina tidak mau itu kembali terulang.                                              ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD