"Membatalkan pernikahan ? "
"Ini tidak mungkin." Bisiknya, suaranya tercekat dan terasa asing di telinganya sendiri. Bagaimana bisa Mas Aqsa melakukan itu kepada ku, disaat semuanya sudah kita mempersiapkan bersama. Tidak.. tidak ini pasti salah, Mama Mika pasti salah tentang Mas Aqsa." Mina masih tidak menerima suara riuh ini tapi ada kebenaran yang tak terhindarkan olehnya.
"Mas Aqsa, kemana kamu.. ? jangan bercanda, aku tidak pernah melihat kamu begitu jahat kepada ku Mas..!" Gumam Mina.
"Bagaimana caranya aku benci sama dia Tuhan ? rasa benci itu ada dalam kurun waktu yang singkat untuknya, sedangkan rasa sayang ku kepadanya ada dalam kurun waktu yang lama, dua tahun ini hanya ada cinta yang besar aku berikan untuknya, begitu juga dia berikan untuk ku. Apa yang harus aku lakukan Tuhan, mana yang akan menang menurut mu ? Rasa Benci atau Rasa Cinta ?" Ucap Mina dengan kelu.
Mina tidak percaya ini akan terjadi dalam hidupnya, takdir hidupnya dihempas langsung menjadi sangat terpuruk.
"Tolong katakan kepada ku Tuhan bahwa kabar dari Mama tadi itu tidaklah benar terjadi. Aku tahu bagaimana Mas Aqsa selama ini, dia tidak akan menyakiti ku. Pasti ini cuma bercanda atau Mas Aqsa cuma ingin memberikan kejutan untuk ku." Dia mencoba mensugesti hal baik dalam pikirannya kembali.
Dengan segera Mina mengambil kunci Mobilnya, dan menghapus jejek air mata di pipinya.
Mina tidak menghiraukan panggilan Mamanya, yang panik melihat anaknya terburu-buru dalam kondisi kacau.
Mobil itu melaju kencang, membawa serta hati Mina yang hancur berkeping-keping dan secercah harapan rapuh yang ia genggam erat ini.
Rumah Mas Aqsa adalah tujuannya, gerbang terakhir antara sebuah kebenaran yang menyakitkan yang dia dengar tadi dan bayangan indah yang ia bangun selama ini. Dia hanya ingin tahu apa yang di ucapkan oleh Mama Mika tadi tidak lah benar.
Sesampainya Mina dirumah Dia mendapati keluarga dari Mas Aqsa berkumpul diruang tamu terlihat sibuk dengan ponsel mereka masing-masing disana entah siapa yang mereka hubungi seketika mereka beralih pandangan kepada Mina yang baru sampai.
Tatapan mereka sudah menunjukkan kebenaran.
Mama Mika langsung berlari memeluk calon menantunya itu saat Mina hadir dirumahnya.
"Mina, maafkan Mama ya Nak, Mama terpaksa harus mengabarkan berita buruk ini kepada mu. Pagi tadi Mama sangat kaget saat kamar Aqsa kosong dan meninggalkan surat di atas mejanya."
Mina mengurai pelukan itu.
"Aqsa sudah pergi Mina, Mama tidak tahu Aqsa kemana..?"
Jawaban seperti ini tidak ingin Mina dengarkan, hari pernikahan sudah di depan mata, semua sudah dipersiapkan, apa yang Mina akan lakukan tanpa ada Mas Aqsa di dalamnya.
"Kenapa Mas Aqsa tega sekali kepada Mina Ma.. ?"
Tangisan yang ia tahan selama dalam perjalanan tadi kini meledak, bukan lagi isakan, melainkan gemuruh pilu yang datang dari kedalaman jiwanya.
"Mama tidak tahu sayang, semuanya sudah mencari Aqsa dari tadi, bahkan ke tempat kerja, Hal yang mengejutkan yang baru kam tahu Aqsa sudah pindah, bahkan kami sudah menghubungi teman baik Aqsa semuanya tidak melihat Aqsa dan tidak menemukan keberadaan Aqsa."
"Mama juga bingung harus kemana Mama mencari Aqsa, sayang."
"Kenapa Mas Aqsa harus pergi Ma, kan bisa di omongin baik-baik kalau Mas Aqsa ada masalah ?"
Pertanyaan demi pertanyaan Mina lontarkan belum ada jawaban yang tepat untuk menenangkan hatinya.
Mama Mika memeluk Mina kembali, dia juga sedih dan kecewa atas perbuatan anaknya sendiri.
"Kita doakan semoga Aqsa cepat kembali ya sayang, mungkin dia butuh sendirian , Mama pernah mendengar ada yang menenangkan diri sebelum hari pernikahan itu wajar sayang, kita doakan Aqsa cepat kembali."
Mina hanya bisa menangis bagaimana dia bisa tenang tinggal menghitung hari lagi pernikahan mereka akan berlangsung, semua sudah dipersiapkan. Kenapa semuanya jadi hancur berantakan dalam sekejap mata. Harapan yang begitu besar kini meninggalkan lubang menganga, sebuah kehampaan yang terasa begitu nyata di hati Mina dia seperti manusia yang tidak memiliki arah, bingung dalam kesendirian. Apakah Mas Aqsa selingkuh di belakang ku ? Batin Mina lagi.
"Mina dan Mas Aqsa tidak pernah saling menyakiti selama ini Ma, kenapa sekali nyakitinnya Mina jadi hancur dalam sekejap mata di buat Mas Aqsa, Ma."
Orang-orang di sekitarnya Mama Mika dengan wajah yang sudah sembab mendengarkan ucapan Mina, mereka sangat suka kehadiran Mina dirumah ini. Apa yang terjadi dengan Aqsa, kenapa dia pergi begitu saja ? Pertanyaan itu menggantung begitu saja. Kepergian Aqsa tidak hanya meninggalkan luka di hati keluarga ini tapi memberikan luka untuk kedua keluarga besar. Apa yang harus mereka bilang sama orang-orang kalau Aqsa batal menikah ?
Mereka hanya bisa menatap tak berdaya pada sosok Mina, yang kini tampak begitu rapuh. Di mata mereka, Mina bukan hanya kehilangan calon suaminya, tetapi juga kehilangan bagian dari dirinya sendiri, sepotong masa depan yang kini harus ia kubur dalam-dalam. Hanya ada ratapan, dan janji-janji yang kini hanya akan menjadi debu untuk Mina.
Mina bangkit dari tempat duduknya.
"Ma, Mina boleh ke kamar Mas Aqsa ?"
"Iya Boleh sayang, ayo Mama antar. Lagian Mama belum buka surat dari Aqsa untuk mu Mina."
Mina masuk ke kamar Masing-masing Aqsa, melihat barang-barang Mas Aqsa terlihat ada yang tidak ada di dalam ini lagi. Dan secarik kertas di atas meja membuktikan semuanya.
"Mina ini surat dari Aqsa untuk Mina"
Mina mengangguk.
"Mama tinggal dulu ya, kalau ada papa bilang saja sama Mama, kami semua ada di luar.
Mina menerima surat itu dan dia menguatkan hatinya untuk membaca surat tersebut. Dia harus melihat secara langsung apa yang tertulis di surat ini.
Dear Mina,
Sayang maafkan Mas ya, surat ini mungkin sudah sampai di tangan mu itu berarti Mas sudah pergi meninggalkan mu sayang.
Aku terpaksa melakukannya, harus meninggalkan mu, dan gagal menjadi suami untuk mu sayang. Pasti Mina sedih Mas sudah menduga ini. Mas minta maaf sudah menjadi orang yang menghancurkan hidup Mina.
Ada alasan yang tidak bisa Mas jelaskan ini murni kesalahan yang tak terduga dari Mas, Mas tidak bisa membawa mu dalam masalah yang tidak Mina buat.
Mas sudah pergi jauh meninggalkan kota ini. Mas berharap Mina bisa bahagia walaupun kita berdua tidak bisa bersama lagi.
Tangis itu tak lagi bisa Mina tahan. Dia bawa surat itu ke d**a nya. Isak nya pecah, memenuhi ruang kosong yang ditinggalkan oleh bayang Mas Aqsa di dalam sini.
"Alasan yang tak bisa dijelaskan?" Itu bukan alasan, Mas. Itu adalah jurang, lalu kau dorong aku jatuh ke dalamnya."
"Mas aku tidak bisa menerima ini, kenapa kamu tega kepada ku Mas, kenapa harus cara seperti ini..?"
Mina memeluk lututnya, sementara air mata membasahi pipi hingga lehernya.
"Mina yang kau kenal, Mina yang kuat dan penuh tawa itu, kini hanyalah reruntuhan Mas."
"Gagal menjadi suami untukmu." Ya, kau benar-benar gagal. Kau tak hanya gagal menjadi suami untuk ku, Kau gagal menjadi rumah untuk ku Mas." Ucap Mina Sesenggukan dia seperti orang gila berbicara sendiri di kamar kosong ini.
"Mas Aqsa benar sudah pergi." Ucapan itu terlepas dari bibirnya. Kini terasa hampa, seperti udara yang mendadak beku. Aku berharap kebenaran ini hanya dusta. Tapi kenyataannya ada surat di tanganku dan ini tulisan tangan Mas Aqsa sendiri aku sangat mengenali tulisan ini. "Kau telah pergi Mas, meninggalkan ku dengan janji dan lubang menganga di d**a ku."
"Aku harus bagaimana.. ? Bagaimana mungkin aku bisa menikmati kebahagiaan sedangkan engkau sudah pergi Mas..! Kebahagiaanku sudah kau kemasi dalam koper yang kau bawa pergi itu. Kau menyuruhku berjalan di atas pecahan kaca yang kau sebar, dan berharap kakiku tidak terluka. Kamu benar egois Mas."
Keputusanmu yang 'tidak terduga' itu adalah serpihan tajam yang kini berserak di mana-mana, dan aku harus menginjakinya hingga berdarah-darah, demi menuruti harapan egoismu agar aku bahagia."
"Kamu benar egois Mas, Amat sangat. Kau memilih jalan termudah untuk dirimu sendiri, melarikan diri dari kesalahan yang tak bisa kau jelaskan. Kau pikir dengan pergi, semuanya selesai? Tidak, Mas. Justru di sinilah semuanya baru dimulai, perjuanganku untuk bernapas tanpa udara yang kau tinggalkan, usahaku untuk membangun kembali rumah dari debu yang tersisa."
"Mas, aku tak tahu harus bagaimana, tetapi satu hal yang pasti, Tangisku hari ini adalah perpisahan terakhir. Biarkan semua kekecewaan dan amarah ini aku tumpahkan disini, di kamar mu ini."
"Kau ingin aku bahagia? Baik. Akan ku buktikan, bahwa Mina akan menemukan kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan yang tidak akan pernah bisa kau sentuh, apalagi kau bawa pergi. Kebahagiaan yang tidak tergantung pada bayangmu yang pengecut."
***