Bab 1. Jadilah Kejam

1065 Words
# Ranya berdiri dalam diam menatap lurus ke arah pemandangan kota Jakarta yang terhampar di depannya. Kota yang tidak pernah tidur kata orang-orang. "Saat ini film yang dibintangi oleh artis muda pendatang baru, Ranya Kirana menduduki peringkat satu dalam daftar film Box Office dengan angka penjualan tiket terbesar tahun ini membuat orang-orang mulai pada si cantik Ranya Kirana yang popularitasnya mampu melejit dengan cepat ..." Suara pembawa acara berita Infotainment terdengar dari layar TV berukuran besar di ruangan tersebut. Saat itu sudut bibir Ranya tampak melengkungkan senyuman dingin. Sorot matanya terlihat semakin kelam. "Belum cukup. Aku harus lebih terkenal dan lebih baik lagi. Tidak ada yang akan tersisa untuk seorang Ardina Atmaja bahkan meski kau menggunakan seluruh koneksi keluargamu untuk itu," gumamnya pelan. Tangannya yang ramping perlahan meraih gelas anggur di atas meja kecil di dekatnya. Menyesapnya perlahan sambil memejamkan matanya. Saat itu raut wajahnya berubah dari tenang menjadi gelisah. "Tidak ada yang boleh tersisa," gumamnya lagi. Meski begitu ketenangan yang tadi terlihat kini terkikis oleh ekspresi gelisah di wajahnya. Kilasan bayangan yang tidak ingin dia lihat selalu saja menyiksanya seperti mimpi buruk akan tetap datang bahkan ketika dirinya masih sadar. Dia tidak perlu bermimpi untuk menyaksikan semua mimpi buruk itu dengan jelas. Bahkan suara TV yang berisik tidak mampu memberinya cukup kenyamanan untuk mengusir semua bayangan mengerikan itu. Suara ponsel mendadak berbunyi nyaring. Ranya membuka mata. Napasnya tersengal, matanya memerah oleh air mata. "Halo Paman," ucapnya saat akhirnya dia memutuskan untuk menerima panggilan telepon itu. "Apa yang kau lakukan?" Raya mengernyitkan dahinya pelan. "Aku hanya merayakan sedikit kemenanganku," jawab Raya. Satu tangannya meraih botol obat dan mengeluarkan sebuah pil dari dalam botol obat tersebut. "Jangan minum anggur dengan obat anti depressant. Kau akan mati sebelum kau mencapai tujuanmu kalau kau seperti itu terus!" Ranya menghentikan gerakan tangannya. Dia memang berniat untuk meminum obatnya dengan anggur hanya karena dia terlalu malas berjalan ke kulkas dan mengambil air mineral. "Aku hanya minum anggur sedikit dan tidak menyentuh obat apa pun. Paman hanya terlalu khawatir. Seharusnya akulah yang mengkhawatirkan kesehatan Paman sekarang. Seharusnya Paman berobat ke Jerman," balas Ranya. Dia bisa mendengar suara pamannya terkekeh di seberang. "Pamanmu ini, tidak akan mati sebelum Paman bisa memastikan kau bisa hidup dengan baik dan normal. Dendam tidak selalu bisa menyelesaikan masalah tapi Paman setuju kalau kau tidak akan pernah bisa hidup dengan baik dan normal selama ayahmu dan keluarganya masih ada di muka bumi ini," ujar Damar. Ranya menarik napas panjang. Suasana hening kemudian. "Selamat untuk keberhasilanmu dalam film pertamamu." Suara Damar terdengar lagi. "Film itu hanya sesuatu yang sepantasnya kita rayakan Paman tapi keberhasilanku mencuri kerja keras Ardina yang dia dapat lewat koneksi keluarganya," balas Ranya. "Ar ..." "Aku Ranya sekarang Paman. Namaku diberikan Papa pada anaknya yang lain. Ardina yang itu sudah tidak ada. Aku hanya Ranya Kirana," ucap Ranya. Hening kembali. "Pintu sudah terbuka untukmu tapi berhati-hatilah. Meski keluarga Atmaja sudah tidak se-berkuasa dulu saat Tuan besar Atmaja masih hidup tapi mereka tetap bisa mencelakaimu. Kau akan berada dalam bahaya kalau mereka mulai curiga dan orang-orang yang Paman kirim tidak akan bisa terus menerus melindungimu. Kita hanya perlu bukti dan saat kita mendapatkannya, saat itu juga seluruh keluarga Atmaja akan jatuh. Kau akan bisa hidup tenang. Jadi jangan bertindak berlebihan dan jangan membahayakan dirimu sendiri ..." "Paman," Ranya memotong kalimat pamannya. "Jangan khawatir. Aku tidak akan mati seperti Mamaku dan Paman Kay," lanjut Ranya. "Tidak akan dan tidak boleh. Paman tidak akan pernah bisa memaafkan diri Paman sendiri kalau terjadi sesuatu yang buruk padamu." Nada suara Damar terdengar sendu. Ranya tersenyum kecil. Dia suka ketika Pamannya merasa khawatir padanya. Bahkan meski mereka tidak memiliki hubungan darah namun Damar tidak hanya sekedar sahabat almarhum ibunya. Damar lebih seperti figur ayah untuk Ranya. "Aku akan baik-baik saja. Aku ingin istirahat sekarang," ujar Ranya. "Istirahatlah, di Indonesia lima jam lebih maju waktunya dibandingkan dengan di sini. Kau pasti lelah. Selamat tidur Nak," balas Damar. Ranya sebenarnya ingin protes dengan bagaimana Pamannya selalu menggunakan kata Nak dan tidak pernah berubah sejak dulu tapi sambungan telepon sudah terlanjur di tutup. Dia hanya bisa menarik napas panjang. "Andai Paman adalah ayah kandungku ...," Gumam Ranya pelan. Ranya kemudian melangkah menjauh dari jendela dan meletakkan gelas minumannya di meja makan. Tangannya meraih pisau roti dan memainkan pisau itu dengan lihai seakan dia memang sudah terbiasa dengan itu. Kini tatapannya kembali dingin saat dia melemparkan pisau itu hingga menancap tepat di atas apel. # Ardina berdiri diam di hadapan Neneknya, Nyonya Laksmi. Dia hanya menunduk. Bahkan ayahnya tidak berani menentang Neneknya jadi bagaimana mungkin dia berani? "Kau melemparkan barang-barangmu dan berteriak seperti orang gila pada para pembantu?" tanya Nyonya Laksmi dingin. Ardina perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Neneknya. "Aku ..." Dia kembali diam. Nyonya Laksmi kemudian meraih remote TV dan memutar berita tentang Film yang saat ini tengah menjadi perbincangan di dunia Entertainment. "Dia artis baru yang berbakat," ucap Nyonya Laksmi. Meski begitu tatapannya tidak tertuju ke arah layar TV. Dia mengamati bagaimana reaksi cucunya. "Kau kalah darinya dalam casting bahkan dengan seluruh koneksi keluarga Atmaja. Kalau Nenek boleh bilang, film itu menjadi terkenal karena akting aktris baru itu. Kalau kau yang menjadi pemeran utamanya, belum tentu kau akan bisa membuat film itu menjadi seterkenal sekarang," ujar Nyonya Laksmi lagi yang lebih terdengar seperti sebuah provokasi terang-terangan kepada cucunya sendiri. "Oma!" protes Ardina. Dia tidak tahan mendengar Neneknya juga mengakui Rayna. "Dia tidak sebagus itu," lanjutnya. Nyonya Laksmi tersenyum tipis. "Kalau dia memang tidak sebagus itu maka kau harus membuat semua orang melihatnya sama buruknya dengan bagaimana kau melihatnya," ucap Nyonya Laksmi. Dia kemudian mengisyaratkan agar Ardina mendekat. Dengan patuh, Ardina mendekati neneknya meski sesungguhnya dia sendiri merasa sedikit enggan. "Kau adalah putri keluarga Atmaja. Kita tidak bergerak di dunia perfilman tapi perusahaan keluarga kita memiliki investasi yang besar di dalam banyak produksi film dan itu demi dirimu, putri kebanggaan keluarga Atmaja. Jangan lupakan itu. Terkadang menjadi sedikit kejam itu diperbolehkan untuk membuat orang lain yang tidak seharusnya berada di tempat mereka sekarang kembali ke tempat mereka. Kau paham?" tanya Nyonya Laksmi. Ardina mengangguk pelan. Dia tahu apa maksud Neneknya. "Aku ... paham Oma," balasnya pelan. Nyonya Laksmi bangkit berdiri dan kemudian menepuk punggung Ardina lembut. Itu mungkin terlihat seperti sebuah aksi kasih sayang seorang Nenek pada cucu perempuannya namun bagi Ardina itu terasa seperti sebuah tekanan kalau dia tidak boleh gagal memenuhi harapan setiap orang. Tidak ada kata kalah dalam kamus keluarga Atmaja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD