1

1482 Words
Rebbeca memasuki sebuah kedai kopi kecil dengan tergesa-gesa. Ada sekitar tiga orang sedang mengantre. Diam-diam menghintung berapa lama waktu yang dihabiskan masing-masing orang itu untuk memesan segelas kopi, God! Seharusnya bisa lebih cepat. Rebbeca menggerutu. Apa sih yang dilakukan orang paling depan sana? Orang itu sudah menghabiskan waktu 10 menit, memandangi menu, tapi belum juga mengatakan apa yang ingin dia pesan. Rebbeca bahkan tidak perlu memberitahu kasir apa yang ia pesan. Pilihannya selalu sama, sejak pertama kali kembali ke Jakarta dan menemukan kedai ini. Hazelnut dingin. Namun, untuk persekian sedetik Rebbeca mulai menghasihani dirinya. Kehidupan yang dia jalani serupa dengan minuman yang dia pesan, selalu sama, hingga akhirnya membosankan. Mungkin hari ini ia harus mencoba sesuatu yang beda. Rebbeca mengamati menu di bagian atas, berpikir menu apa yang menantang untuk dicoba. Di tengah kesibukan memilih, ponsel di tasnya berbunyi. Lagu twinkel-twinkel dengan suara gadis kecil cepreng memenuhi kedai. Ia mengerang karena dua hal, ringtone ponselnya diganti tanpa izin dan melihat siapa yang menghubunginya, Dita—editornya. Kalau ia tidak mengangkat, Dita akan terus menelpon dan lagu sialan ini terus berbunyi, jadi... "Yes, Dita... ada apa nih pagi-pagi telepon?" "Pagi? Di kantor udah jam satu sih. Ah, gue paham. Lo masih pakai waktu bagian Atlanta," sahut Dita skeptis. Rebbeca tertawa datar. Ia paham benar maksud Dita menghubunginya. "Gue belum bisa kasih yang lo mau. Gue masih berjuang, kasihanilah daku...." "Pemred gue udah nagih timeline, dan pembaca lo juga butuh asupan bacaan baru." Rahang Rebbeca menegang dan dalam hati dia menghitung satu sampai sepuluh. Ketika itu tidak bisa membuatnya tenang, ia menghintung mundur dalam bahasa inggris. Rebbeca terus membiarkan Dita berbicara tentang deadline naskah yang harus dia kerjakan, tanpa membantah. Rebbeca tidak menyalahkan Dita, sudah kewajiban wanita itu mengejarnya. Seperti tanggung jawabnya, menulis. Tapi salahkan dewa ide yang tak bersahabat padanya, seberapa keras dia berusaha menulis tidak ada hasil. Bahkan, dia rela meninggalkan Atlanta—kembali ke Indonesia sambil berharap ada ide. Kata orang kan suasana baru sangat bagus untuk mencari ide namun, itu tidak berhasil di Rebbeca. "Halo? Rebbeca? Apa telepon ini masih tersambung?" "Ya, Dita. Im still here... oke, gue paham. Ini gue juga lagi usaha nyari si ilham." Dita mendesah di ujung sana. "Serius. Gue lagi ngantri kopi, terus gue on the way nyari si ilham." Giliran Rebbeca sudah hampir tiba, tersisa pasangan yang berdebat untuk memesan cake atau kentang goreng. "Gue matiin dulu ya, Dit. Giliran gue nih yang mesan." "Berjanjilah malam ini lo udah kasih kerangka naskah ke gue." "Diusahakan, Dita cantik! Bye! Te Quiero." Rebbeca mematikan ponsel cepat sebelum Dita menyahutinya, dan akhirnya dia memesan vanilla latte. Pesanan yang berbeda. Semoga saja dengan merubah sedikit kebiasaan dia bisa mendapatkan ide. Setelah mengambil minuman dan tersenyum pada barista, Rebbeca berbalik dengan kecepatan penuh supaya tidak kehilangan sudut menyenangkan dari kedai ini. Siapa sangka hal itu membuat kopinya membasahi orang yang berada tepat di belakangnya, bercak berwarna cokelat menutupi sebagian kaus orang itu, sisanya terjatuh di lantai dengan bunyi tumpah mengerikan. "Astaga, Maaf!" jerit Rebbeca, sambil menatap genangan cokelat yang menyebar di lantai. Saat pandangan Rebbeca melihat korbannya, mendadak ia merasa ngeri, seorang pria—yang sangat tampan. Pria itu terlihat sangat menggairahkan dalam balutan jins dan kaus setengah basah yang sangat siap untuk dilepaskan. Bukan hanya karena basah, tapi otot-otot perut yang tercetak pada kaus itu seolah menantang Rebbeca untuk dibelai. Otot-otot bisep si pria pun bagai merengek minta disentuh. Rahang si pria ditumbuhi jenggot tipis menawan yang mungkin terasa menggelitik jika diraba, tapi Rebbeca berani bertaruh bibir sensual itu sangat ahli berciuman. Mata hazel terindah yang pernah dilihat Rebbeca, menatap intes ke arahnya lalu beralih ke tangan, yang entah dari kapan menyentuh bagian basah dari kaus si pria. "It's okay," kata pria itu. "Aku juga yang salah, terburu-buru ingin mengambil sesuatu." Rebbeca membiarkan si pria menyentuh punggung tangannya, percayalah, sentuhan beberapa detik itu berhasil mengirimkan letupan aneh yang menghangatkan seluruh organ tubuh Rebbeca bahkan di bagian terintim. "Buatkan pesanan wanita cantik ini, apa tadi—vanilla late? Terus masukin ke tagihan gue," kata si pria pada salah satu batender, seolah dia penguasa kedai kopi ini. Rebbeca masih membisu akibat pertemuannya dengan pria memesona itu. Samar-samar, pria itu tampak tidak asing. Kemudian, Rebbeca coba mengingat dan... damn! Pria ini selalu dia bayangkan selama mengerjakan naskah tahun lalu. Artis visualisasi untuk mempermudah pembacanya membayangkan si tokoh utama.—Jevin Adhitama. "Jadi... kamu bisa memaafkan aku kan? Vanilla latte baru sedang dibuat." Ekspresi Jevin menggoda untuk Rebbeca khayalkan. Lagi. Tapi Rebbeca tersadar harus memperbaiki raut wajahnya yang mungkin terlihat menggelikan, seperti maniak. Jadi dia berusaha keras untuk terlihat datar, dan menarik mundur kedua tangannya dari perut Jevin padahal hatinya sangat ingin mencari tahu ada bagian menarik lagi yang bisa dia kagumi. Mungkin bagian di balik jins itu. "Hah? Seharusnya... say—aku yang harus mengganti kaus kamu. Pasti kamu keding—nggak nyaman, lengket gitu." Bagus sekali. Respon Rebbeca jelas meneriakkan: biarkan aku membuka kausmu! Dan tentu saja Jevin menyadari keanehan respon Rebbeca, sambil terus memandangi wajah Rebbeca. Cukup lama untuk membuat Rebbeca ingin menyertnya ke toilet dan mencium bibirnya dengan brutal. "Baik kalau begitu," kata Jevin, sedikit berhati-hati. "Aku masih ada keperluan lain," lanjutnya. "Jadi nggak ada masalah ya di antara kita kan? Aku nggak mau membuat wanita cantik kesal." Pria itu tersenyum lebar. Sangat menawan. "Ah, jangan khawatirkan bagian kotor ini. Salah satu karyawanku akan mengurusnya." Karyawanku? Rebbeca mengulang bagian itu di otaknya, lalu melirik logo kedai kopi ini. JA coffee shop. Oke! Wah! Rebbeca tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Ya... tentu... kita nggak punya masalah apa pun. Seharusnya aku yang minta maaf, aku membuat seorang bos basah... ah, apa nggak sebaiknya kamu buka baju itu." "Hah?" "Buka baju, terus aku laundry. Tanggung jawab." "Kamu meminta aku buka baju di sini?" Jevin mengusapkan sebelah tangan pada jenggot halus di pipinya. "Haruskah?" Rebbeca menelengkan kepala sedikit ke kiri, berpikir sejenak seolah itu pertanyaan sulit lalu tertawa geli beberapa detik kemudian. "Ya nggak lah... tapi, kalau kamu mau buat viral dengan headline 'Pemilik Kedai Yang Hot', silakan saja." Jevin tersenyum tipis. "Tapi, tentang laundry... aku serius, dan sedikit memaksa kalau diperlukan." Jevin menyanggupi, dan meminta Rebbeca untuk menunggu. Pria itu memang impian setiap wanita. Rebbeca memandang kagum langkah Jevin. Tingginya sekitar 180 cm. Berdada bidang, berpinggang langsing. Tipe pria rajin olahraga. Rebbeca bertaruh. Siaran langsung yang menampilakan lelehan keringat di d**a dan perut Jevin itu bisa membuat Netflix dan teman-temannya semakin kaya. Oke, dia harus berhenti sekarang memikirkan hal aneh. Rebbeca wajib kembali pada dunia nyata. Tanggung jawab penting. Ide novel selanjutnya yang masih bersembunyi entah di mana. Belum lagi, Rebbeca hanya punya waktu sebulan di Indonesia, jadi berkhayal tentang pria-seksi-pengalih-pikiran akan menambah masalahnya. Setelah sepuluh menit Jevin kembali dengan kaus hitam bersih yang lagi-lagi menggoda untuk dirobek oleh Rebbeca, bukan karena basah. Tapi karena kaus itu nampak ketat oleh otot-otonya. "Ini...." Jevin mengulurkan paper bag berukuran kecil, yang langsung diterima Rebbeca. "By the way, kita udah melakukan banyak hal tapi belum tahu nama masing-masing. Aku, Jevin." Oh ya, aku sudah tahu siapa kamu! Rebbeca memperhatikan uluran tangan itu, sedikit bimbang. Dia sedang dalam tahap, tidak boleh teralihkan. Dan Jevin, sangat berbahaya. "Tenang saja, tanganku sudah dicuci dua kali. Steril." "Bukan begitu!" Rebbeca panik, dan menyambut uluran tangan Jevin. "Beca...." Jevin tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. "Hai, Beca," Mata Rebbeca mulai berkunang-kunang seolah baru saja terantuk ujung benda tumpul. "Hai, Jevin...." Bisakah kamu pergi saja dari sini sebelum aku bertingkah bodoh dan memalukan. Tiba-tiba Jevin mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana kalau kita bertukar nomor handphone?" Rebbeca tertegun, tidak percaya Jevin akan bergerak secepat ini. "Kamu membawa bajuku, dan perlu kamu tahu itu baju kesayangku. Hanya untuk memastikan kamu akan mengembalikannya dengan utuh." Menggoda. Sangat menggoda. Senyum Jevin. Sikap Jevin. Kalau di sini saja dia bersikap manis dan menggoda, apa yang terjadi saat dia di ranjang? Ya Tuhan, siapa pun wanita itu pasti sangat beruntung! Rebbeca menduga dan memaki secara bersamaan. "Nice try!" Rebbeca mengambil ponsel Jevin. "Apa kamu selalu melakukan ini pada semua wanita yang nggak sengaja menumpahkan kopi ke kausmu?" Jevin tertawa lagi. "Only you...." Jevin tidak sadar kalau efek ucapannya cukup membuat seorang Rebbeca ketakutan, bukan ketakutan karena pria itu menyeramkan bisa membunuh atau menculik. Tapi Rebbeca takut berharap hubungan mereka punya kesempatan lebih daripada sekadar obrolan tanpa makna ini. Mungkin mereka bisa menghabiskan waktu bersama, di atas ranjang, membisikan hal-hal indah dan menyenangkan. Rebbeca memutuskan untuk keluar dari kedai, pindah ke tempat lain. Dia tidak akan pernah bisa menulis di kedai itu. Sesudah memasan taksi online, Rebbeca mengecek kotak pesannya. We miss you. Rebbeca menghela napas kasar. Dia mengabaikan pesan itu, lalu beralih mengetik pesan untuk Dita. Kayaknya lo benar, gue perlu melakukan itu. Udh empat bulan. Otak gue jadi liar. :D Tidak sampai dua menit balasan Dita masuk. Makanya jangan sok-sokan ngambek, kalau nggak tahan pulang sana ke Atlanta. Dita tidak pernah tahu hidupnya tidak semudah itu, tidak ada yang pernah tahu. Semua orang selalu beranggapan hidup Rebbeca menyenangkan, tidak tahu Rebbeca nyaris mati karena kebosanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD