3

1947 Words
Menjelang hari perpisahan... "Aku dengar kau akan pergi ke New York. Benarkah?" "Memangnya apa pedulimu?" "Sudah jawab saja pertanyaanku!" "Benar." Axel tersenyum, lebih kepada menyeringai. "Kenapa?" "Kenapa kau mau tahu? Sudah sana pergi, jangan ganggu aku!" Freya membanting buku-buku tebalnya ke meja, membuat bahu Axel naik karena terkejut. "Kau ini kenapa sih suka sekali marah-marah?" tanya Axel sambil menopang dagunya. Bibirnya melengkung ke bawah saat mengatakan itu. Seperti anak kecil yang merajuk. Freya tidak menjawab. Ia juga tidak menghiraukan Axel yang terus memandanginya. "Kenapa harus New York?" tanya Axel lagi. Freya memutar bola mata jengah dan mau tak mau balas memandang wajah pura-pura bodoh Axel. "Setidaknya aku tidak akan bertemu denganmu di sana!" jawab Freya dengan nada tegas. Meskipun Freya tidak mau tahu apa pun tentang Axel Kennedy, berita tentang Axel yang akan melanjutkan kuliah ke Korea sampai juga ke telinganya. "Aku sudah terbiasa...," kata Axel kemudian. Ia bersandar di kursi, menatap Freya dengan kening berkerut samar. Freya mendesis. "Terbiasa apa?" tanyanya. "Kenapa kau mau tahu?" Axel menyunggingkan senyum tipis yang misterius. "Baik. Lupakan!" Freya menganggukkan kepala lantas menutup buku yang sempat dibacanya dan beranjak. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu!" "Hey, Frey ... tunggu sebentar!" Axel memanggilnya dengan nada yang belum pernah Freya dengar sebelumnya. Dengan terpaksa ia berhenti dan berbalik menghadap Axel. "Hem?" "Menurutmu, apa kita akan bertemu lagi?" tanya Axel sambil memiringkan wajahnya. Freya mendecak. "Kuharap tidak," katanya penuh penekanan dan berlalu. "Hais, cewek macam apa dia itu? Dan kenapa dia bilang tidak? Heh, memangnya aku peduli denganmu? Pergi saja sana ke New York! Aku tidak peduli. Tidak sama sekali.” "K-kau?" Freya tidak sadar ia sudah membuka mulutnya terlalu lebar karena terkejut. "Hei, masih ingat aku?" Pria itu terkekeh dan melangkah mendekat. Diamatinya penampilan Freya dengan mata sedikit memicing. "Apa ini benar-benar kau, Frey?" "Haha!" Freya tertawa tanpa humor. Ia memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. "Jangan bilang padaku kalau ini kantormu?" tanya Freya setelah sadar dari keterpanaannya. "Huh? Yah, benar sekali! Ini kantorku! Apa kau yang melamar—" "Aku mengundurkan diri!" Freya meraih map merah jambu yang sempat ditanda tanganinya dan menyerahkannya pada Axel. "Aku tidak jadi bekerja di sini!" kata Freya dengan wajah pias namun nada suaranya terdengar marah. Kening Axel berkerut-kerut mendengarnya. "Kenapa tidak?" "Aku. Tidak. Mau," kata Freya penuh penekanan. Axel terkekeh. "Kau masih marah padaku, ya?" Freya tidak menjawab. Ia bersedekap dan membuang muka. Sisi angkuh dalam dirinya muncul setiap kali berhadapan dengan Axel. Ini seperti mimpi buruk! Sungguh! Setelah lima tahun hidup dalam kedamaian tanpa gangguan seorang Axel, kini tiba-tiba saja takdir mempertemukan mereka lagi. Axel Kennedy, musuhnya sejak ia duduk di bangku TK. Sering membuatnya menangis karena keusilannya. Sering menjadikannya bahan lelucon teman-teman sekelasnya. Dan sering mempermalukannya di depan semua orang. "Aku pikir kau di New York. Bukannya waktu itu kau bilang akan pindah ke sana?" Axel bertanya lagi. "Bukan urusanmu! Hah, baiklah. Aku sudah tidak punya urusan lagi di sini. Aku pulang!" Freya melangkah menuju pintu. Sebelum ia benar-benar menarik gagang pintu, suara Axel menghentikan gerakannya. "Kau tidak bisa pergi begitu saja, Frey." "Kenapa tidak?" Freya berbalik dengan wajah yang mengerikan. Alisnya bertaut, bibir merahnya mencebik dalam. "Kau sudah menandatangani kontrak kerja di Perusahan ini selama enam bulan. Asal kau tahu, Frey, kami tidak membenarkan adanya pengunduran diri di sini. Masa kerja berakhir berdasarkan dengan kontrak yang tertulis. Jadi ...," Axel memberi jeda sesaat, sekaligus untuk menikmati ekspresi wajah terkejut Freya. "Kau tidak bisa mengundurkan diri begitu saja. Kau harus menjadi sekretarisku sampai enam bulan ke depan." Dunia berubah gelap saat Axel menuntaskan ucapannya. Freya bergidik ngeri dan memandang sinis map di tangan Axel. "Ha-ha! Perusahaan macam apa ini?!" katanya nyaris berteriak. "Perusahaan kami termasuk perusahaan populer di dunia, Frey. Kau pasti tahu itu, bukan?" ujar Axel sambil tertawa ringan. "Tenanglah, aku tidak akan macam-macam denganmu. Kau pasti mengenalku dengan baik." "Justru karena aku mengenalmu dengan sangat baik, aku tidak mau bekerja di sini!" Freya melompat ke arah Axel dan berusaha merebut map merah jambu di tangannya. Tahu apa yang membuat Freya menjadi sedikit liar, Axel mengangkat map tersebut tinggi-tinggi. Gerakan Freya yang begitu semangat membuat keduanya jatuh membentur lantai dan berguling-guling hingga berakhir dengan posisi tubuh Freya di atas Axel. "Wow, aku suka posisi ini!" katanya sambil tersenyum lebar. "Dasar!" Freya mengguling ke samping. Sialnya posisinya sekarang ada di bawah tubuh Axel karena tangan besar Axel mengunci ruang geraknya. "Aku lebih suka yang ini!" seru Axel gembira. Freya mendecih lalu menekuk lutut kanannya hingga membentur sesuatu di bagian bawah tubuh Axel. "Awwww!" teriak Axel kesakitan sambil berdiri tegak. "Aww... juniorku!" jeritnya sambil memegangi bagian tengah di antara kedua pahanya. "Frey, kau keterlaluan!" Tanpa mereka tahu, dari balik kaca sudah banyak orang yang mengintip dan mencuri dengar. Sebagian dari mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. "Apa yang terjadi di dalam sana?" tanya salah satunya. "Aku melihat Tuan Kennedy ada di atas wanita itu tadi!" "Waaah!" "Aku mau lihat! Mana coba minggir sebentar!" Freya memandangi Axel yang berjengkit-jengkit sambil meringis. "Aku tidak sengaja tahu," katanya membela diri setelah bangkit. "Pokoknya aku tidak mau bekerja di sini! Terserah apa katamu!" Axel berhenti meringis, ia memiringkan kepalanya sedikit. "Kalau begitu bayar dendanya." "Huh? Apa? Denda?" "Ya, denda. Kau sudah terlanjur menandatangani kontraknya." "Berapa?" tanya Freya dengan dagu terangkat tinggi. Uang tabungannya tentu masih cukup untuk membayar denda yang tidak seberapa. "Seratus juta!" Freya merasakan langit runtuh, bumi berguncang. Tidak ada lagi yang bisa Freya lihat dan dengar karena tiba-tiba saja tubuhnya jatuh ke lantai dengan bunyi dug yang keras. Entah mana yang lebih buruk : 1. Bekerja menjadi sekretaris Axel selama 6 bulan. 2. Membayar denda 100 juta. Dia tidak punya uang sebanyak itu! *** "Jangan berlebihan, Frey. Memangnya kenapa kalau kau menjadi sekretarisnya?" komentar Anna setelah mendengar curahan hati Freya yang sepanjang kereta api. "Aku kan sudah cerita tadi. Aku benci dengannya," ucap Freya lalu menenggak habis kopinya. "Kalian sudah besar. Dia tidak mungkin mengganggumu seperti dulu lagi, bukan? Ayolah, Frey, berpikirlah positif!" Freya menaruh cangkir kertas ke meja dan mencibir. "Aku tidak mau." Anna mendesah. "Kau tahu, Axel Kennedy tidak pernah main-main dengan ucapannya. Aku tahu dia orang seperti apa. Temanku sering bercerita tentangnya. Dia kejam, tahu." "Maksudmu, Hayashi?" "Kau sudah bertemu dengannya?" "Kenapa kau tidak bilang kalau yang akan jadi bosku si Axel itu?" tanya Freya kesal. "Aku tidak tahu namanya," jawab Anna sambil mengerjapkan mata. "Yang aku tahu, dia itu berantakan, galak, tapi suka ketawa sendiri setiap melihat celana dalam. Itu menurutmu, mengerikan tidak?" "Hah, entahlah. Lebih baik aku pulang sekarang!" "Tentu, besok kau kan harus bekerja." Freya melengos menatap Anna yang tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat. "Akan kupikirkan nanti. Ini semua gara-garamu!" "Enak saja. Kenapa kau malah menunduhku? Kau sendiri yang memintaku mencarikan kerja untukmu. Kau memang tidak tahu berterima kasih, ya!" ucap Anna dengan bibir mencebik. Freya memutar bola matanya. "Entahlah, kepalaku sakit memikirkannya! Sudah ya, aku pulang, dah!" Freya melangkah ke luar. Langit gelap sudah menyambutnya ketika ia mendongak. Rintik-rintik hujan kembali turun membasahi jalanan. Sebenarnya, kalau ia mau, ia bisa saja menginap di perpustakaan Anna sampai besok. Ya, Anna memiliki perpustakaan pribadi yang dijadikannya kantor sekaligus tempat tinggalnya. Ia menghabiskan waktunya di sana setiap hari. Penghasilannya lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaannya tidak mengharuskannya pergi ke sana-kemari, cukup duduk dan mengutak-atik laptopnya. Menjadi Graphic Designer adalah pekerjaan yang paling dicintainya. Memang, tempat itu sangat nyaman. Apalagi Freya sangat gemar membaca. Tapi, karena mengingat ibunya sendirian di rumah—Adiknya itu pasti tidak akan pulang lagi—jadi, ia memutuskan untuk pulang saja. Freya mengembuskan napasnya yang mengeluarkan uap putih. Jalanan masih sangat ramai bahkan saat gerimis seperti ini. Orang-orang yang memakai payung hilir-mudik di depannya. Warga kota lebih suka berkeliaran di malam hari dibandingkan pagi hari. Tentu saja, pagi hari mereka harus bekerja dan malam hari waktunya melepas penat akibat pekerjaan yang menumpuk di kantor. Kantor. Bekerja. Ah, Freya teringat akan kesialan yang baru saja menerjang hidupnya. Apa-apaan itu? Masa harus membayar denda 100 juta? Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu. Tiba-tiba, ia ingat ucapan Anna tadi. "Seratus juta? Aku tidak punya uang sebanyak itu, Freya! Sudahlah, terima takdirmu!" Takdir? Dan ucapan Miki—sahabatnya waktu SMA—ikut meneriakinya. "Aku yakin kalau suatu hari nanti kau dan Axel akan bertemu lagi. Takdir selalu mempertemukan kalian!" "Hais! Apa-apaan itu? Takdir apanya?!" Freya menjengkit kaget ketika sebuah mobil Acura NSX berwarna merah muda melaju pelan di sampingnya sambil membunyikan klakson. Freya mengelus dadanya. "Mengangetkan saja!" gerutunya. "Hey, Frey? Masih ingat padaku?" Jendela mobil terbuka dan menampakkan wajah Axel lengkap dengan seringaiannya. "Kau?!" kata Freya setengah teriak. Takdir, Frey. "Hey, kau baik-baik saja? Kenapa tadi kau pergi tanpa memberi tahuku?" tanya Axel setelah turun dari mobilnya. Freya menelan ludah kering sambil menatap Axel di depannya. Oh, sial! Kenapa tadi bisa-bisanya ia pingsan di kantor Axel. Hanya karena mendengar denda 100 juta kau pingsan, Frey? Bodoh sekali. "Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Freya. "Aku mau pulang tapi tiba-tiba aku melihatmu! Dan cilukbaa kita bertemu lagi!" kata Axel sambil membuka tutup telapak tangannya di depan wajah lalu diakhiri dengan cengiran lebar. "Lucu sekali," kata Freya masam. "Hehe, kau mau pulang? Mau kuantar?" "Tidak, tidak, tidak! Aku bisa sendiri!" kata Freya dan melanjutkan langkahnya. Dirasakannya suara sepatu Axel mengikutinya di belakang. Dan benar saja, saat ia menoleh ke belakang, Axel berjalan cepat di belakangnya. Orang gila ini maunya apa sih? Batin Freya tidak habis pikir. "Jangan mengikutiku!" seru Freya. "Hemmm, bagaimana ini ... instingku berkata aku harus mengantarmu pulang dengan selamat!" Omong kosong! Freya mengembuskan nafas dengan kasar. "Axel! Berhenti mengikutiku!" "Kau masih ingat namaku? Ya Tuhan, aku benar-benar terharu." "Astaga, kau ini?!" Freya hampir hilang kesabaran, tapi ia berusaha menahannya. "Baik. Begini, aku beri kau satu kesempatan. Ikut denganku dan aku akan mengantarmu pulang. Atau, aku akan mengikutimu dengan berjalan kaki sampai ke rumahmu." "Itu sama saja, bodoh!" ucap Freya blak-blakan. Berbicara kasar pada Axel sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Ini benar-benar mengerikan. Axel bisa membangkitkan sisi iblis dalam dirinya. "Aku ini Bos-mu. Sudah ikuti saja apa kataku." "Bahkan aku belum bekerja sehari di kantormu." "Terserah. Ikut aku atau ikut aku? Silakan pilih satu." Freya mendesis. Ia memutar bola mata lalu mengembuskan nafas putus asa. "Oke, baik. Aku ikut denganmu!" "Pilihan yang tepat!" kata Axel sambil tersenyum puas. *** Freya berharap hari ini ia sedang bermimpi buruk. Mimpi buruk yang panjang. Pertemuannya dengan Axel dan berada di dalam mobilnya, ia harap adalah mimpi buruk. Sebentar lagi, ia akan bangun dan tadaaa pertemuan ini hanyalah mimpi. Iya pasti. Tunggu saja, Frey. Kau pasti akan bangun sekarang. Tapi, ternyata, tidak. Freya mendapati kenyataan kalau sekarang ia memang sedang duduk di mobil Axel dan pria itu tengah mengemudi di sebelahnya. Bahkan Axel bernyanyi dengan penuh percaya diri. Suaranya tidak jelek, tapi sangat mengganggu. Ia juga menggoyangkan bahunya ke kanan dan ke kiri mengikuti irama musik. "Omong-omong, bukankah seharusnya kau di New York, Frey?" tanyanya setelah musik berakhir dan digantikan lagu Someone like you milik Adele. "Kau sendiri, bukankah seharusnya kau di Korea?" "Yah, aku sempat kuliah di sana. Tapi, Ibuku memintaku kembali ke Jepang. Jadi, aku pindah ke sini dan merampungkan kuliahku di sini," ceritanya. "Oh," Freya tidak merespon lebih lanjut karena merasa ia tidak perlu tahu tentang Axel. Tapi, entah kenapa tiba-tiba ia tergelitik untuk menanyakan sesuatu. "Kenapa kau bisa bekerja di Lux Funny Mommy?" "Ceritanya sangat panjang. Tapi, kalau kau mau mendengarnya, kita bisa bercerita sampai besok di sini." "Tidak. Aku mau pulang saja. Itu rumahku," Freya menunjuk rumahnya yang ada di bawah pohon maple. "Hemmm.” Axel tampak kecewa. "Baiklah, sampai jumpa besok, Frey." "Aku tidak akan datang," kata Freya setelah turun dari mobil. "Yang penting aku sudah tahu rumahmu," kata Axel tersenyum misterius. Entahlah, bagi Freya senyuman itu punya maksud terselubung. Melihat senyum itu ia seperti terlempar ke masa lalu. Kenapa takdir selalu mempertemukannya dengan Axel?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD