MENGGAPAI IMPIAN

1130 Words
            Nathan memasukkan dua koper besar ke dalam bagasi mobil CRV miliknya. Di dalam mobil, Sarah sudah duduk di kursi depan sambil membenarkan riasannya. Siang itu sangat terik dan Sarah sudah lelah setelah perjalan panjang dari London. Ya, dia baru saja kembali ke tanah air setelah mengurus kelulusannya di London College of Fashion yang telah ia tempuh selama empat tahun belakangan ini. Tak mudah bagi Sarah untuk menyelesaikan kuliah di London. Banyak hal yang telah ia korbankan terutama waktu untuk keluarganya. Selama empat tahun di London, ia hanya sekali pulang ke tanah air karena disana ia harus menghemat dana beasiswa yang ia terima dari pemerintah. Sarah bukanlah dari keluarga yang mampu dan hidup mewah seperti kebanyakan mahasiswa yang kuliah di sana.             “Terima kasih sudah mau menjemput aku Nat,” ujar Sandra saat Nathan menyalakan mesin mobil dan mulai mengendarainya. “Mampirlah dulu nanti. Ibuku sudah memasak untuk kita.”             “Tentu saja Sar, tidak mungkin aku melewatkan masakan Ibu mu. Setahun belakangan ini aku lebih sering makan masakan Ibu mu daripada masakan Mama.”             Sarah menghela nafas panjang lalu berkata, “Mama mu sudah melewati banyak krisis. Kasihan dia. Bagaimana kabarnya sekarang?”             “Sudah lebih baik untuk saat ini. Tapi Mama masih harus mengkonsumsi obat untuk kesehatan jantungnya. Sejak kepergian Papa, Mama masih sering melamun. Hutang keluarga juga masih setengah yang belum dibayar. Untung saja masih ada tanah yang bisa dijual di Kalimantan. Jadi kami masih bisa bertahan.”             Setahun yang lalu, Nathan terpaksa kembali ke Indonesia tanpa sempat menyelesaikan pendidikannya. Nathan adalah adik kelas Sarah. Saat di London mereka sering bertukar ide dan bekerja paruh waktu bersama. Nathan selalu menceritakan keluh kesahnya pada Sarah dan menganggap Sarah seperti kakaknya sendiri. Nathan tidak pernah merasakan punya kakak sebelumnya karena dia adalah anak tunggal di keluarganya. Ayah Nathan telah meninggal dan mewariskan hutang yang mencapai milyaran. Karena itu Nathan harus kembali untuk menyelesaikan masalah financial keluarganya. Usaha garmen ayahnya pun tidak bisa diselamatkan dan akhirnya bangkrut. Kekayaan mereka yang tersisa hanyalah rumah yang mereka tempati, satu rumah kecil di desa dan tanah 10 hektar yang ada di Kalimantan.             Sarah dan keluarganya iba dengan keadaan keluarga Nathan. Ia banyak meminta tolong ke kolega mendiang ayahnya, tapi tidak membuahkan hasil. Keluarga Sarah membantu mereka semampunya dan mengajak Nathan untuk memulai bisnis fashion yang akan dirintis Sarah setelah lulus kuliah.             “Oh iya Sar, aku sudah menghubungi wartawan yang akan meliput pertunjukan pertama kita. Aku rasa kita akan berhasil dengan desain desain dinamis yang kamu buat. Aku sangat suka perpaduan warnanya.”             “Aku harap juga begitu. Tapi sepertinya aku berubah pikiran.”             Nathan mengernyitkan dahinya. “Maksudnya?”             “Aku ingin membuat gaun pengantin belakangan ini. Sebelum pulang, aku melihat siaran pernikahan Pangeran Hary. Gaun yang Megan kenakan membuatku kagum. Rasanya sangat bahagia saat aku melihat mempelai wanita tersenyum dengan gaun indah yang melekat ditubuhnya. Gaun yang akan mengantarkannya ke kehidupan yang baru, mengarungi kehidupan bersama seperti sebuah dongeng,” ujar Sarah sambil menatap langit dari balik jendela mobilnya.             Nathan tersenyum geli. Baru kali ini dia mendengarkan kata-kata puitis seperti itu dari seorang Sarah yang terkenal ambisius.             “Apa yang terjadi? Kamu terlalu sering membaca kisah dongeng rupanya,” ejek Nathan sambil tertawa.             “Kenapa? Apa perkataanku salah?” ujar Sarah ketus.             “Atau jangan-jangan kamu yang ingin menikah Sar?” goda Nathan sambil menunjuk Sarah degan telunjuknya.             Sarah bergidik dan menampik perkataan Nathan, “Tidak ada hubungannya tahu! Lagipula aku juga akan menikah kalau sudah menemukan orang yang tepat.”             “Tapi Sar, kita harus membangun pasar terlebih dahulu. Kalau kita sudah punya itu, kita bisa bergerak ke bidang yang lain,” ujar Nathan mengalihkan perhatian.             “Aku percaya padamu Pak Manager.”             Nathan menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana dengan 2 lantai. Ya, rumah berpagar hitam dan bercat putih itu adalah rumah Sarah. Nathan membukakan pintu mobil untuk Sarah. Sarah mendengus kesal ketika Nathan melakukannya.             “Kenapa Kau ini Nat?”             “Karena CEO harus dihormati kan?” candanya.             Nathan mengambil koper di bagasi dan menyeret keduanya. Koper itu sangat berat. “Apa saja yang kau bawa sebenarnya?”             “Batu,” ujar Sarah singkat dan mengambil alih satu koper yang ada di tangan kiri Nathan.             Ibu Sarah membuka pintu dan menyambut hangat anak sematawayangnya. Ayahnya pun sama yang kemudian membawakan koper yang dibawa Sarah.             “Aku sedikit kecewa karena Nathan menjemputku sendirian,” keluh Sarah sambil membuka kulkas untuk mencari air mimun.             “Panas tahu. Bagaimana bisa aku membiarkan om dan tante menunggu kamu selama satu jam di hari yang panas seperti ini Sar?” omel Nathan.             “Iya, maaf, Nak. Sudah, kamu mandi dan istirahat dulu sana. Kamu pasti lelah,” ujar Ayah dengan sabar. Tidak mungkin bila ayah dan ibu Sarah tidak merindukan anaknya. “Atau kamu mau makan dulu? Ibu masak makanan kesukaan kamu, semur daging. Kamu kan pernah bilang kalau pengen banget makan semur,” kata Ibu sambil mengusap-usap kepala anaknya itu.             Sarah memeluk ibunya dengan erat, “Terima kasih Bu. Aku akan mandi dulu kemudian makan msakan Ibu yang sudah lama sekali tidak aku rasakan.”             Sarah memasukan kamarnya dan merebahkan diri sejenak. Ia melihat sekeliling kamarnya yang bersih dan terawatt meskipun telah lama ia meninggalkan kamar itu. Ia merasa sangat lega dan bersyukur karena bisa lulus tepat waktu dan menabung. Ia tersenyum kecil sebagai rasa terima kasih pada dirinya yang telah berjuang selama empat tahun di negeri yang asing dan jauh dari orang tua. Meskipun demikian, ia tak bisa mengelak dari alasan sebenarnya kenapa dia mengambil beasiswa ke London. Karena ia menjauhi seseorang, cinta pertamanya.             Di ruang tengah, Nathan sedang asyik makan masakan Ibu Sarah yang ditemani oleh ibu, sedangkan ayah sedang membereskan ruangan di lantai dua. Ruangan itu akan digunakan untuk tempat kerja Sarah saat berada di rumah.             Ibu terlihat sedikit murung setelah bertemu dengan Sarah yang sudah tiga tahun hanya berkabar lewat telepon dan panggilan video. “Nat, kenapa Sarah jadi berbeda ya?” tanya Ibu.             “Tante tidak perlu khawatir. Sarah sepertinya terlalu lama hidup di budaya barat. Tapi memang dia sangat ambisius Tan. Tapi, Sarah punya banyak teman sekarang, tidak seperti dulu. Dia dulu seperti kutu buku yang anti sosial.”             “Benar juga ya. Tante berharap yang terbaik untuk Sarah. Tapi, apa disana dia tidak punya pacar?” Ibu Sarah sama seperti ibu lain yang mencemaskan pasangan anaknya. “Kamu tahu dia sudah 25 tahun. Apa iya dia tidak punya pacar disana? Bule mungkin?” tanya Ibu penasaran.             Nathan tertawa mendengar pertanyaan Ibu, “Tante, dia itu gila kerja disana. Ada sih dulu bule yang berusaha mendekati Sarah, tapi Sarah malah memanfaatkan keadaan untuk bisa bekerja paruh waktu di restoran paman bule itu. Aku rasa nih Tan, Sarah itu tidak terlalu tertarik dengan percintaan.”             Wajah Ibu murung lagi, “Padahal Tante sudah ingin menimang cucu.”                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD