Bab 2

1930 Words
*** “Bagus ini atau ini?” Tanya Juliet, ia memberikan dua opsi tas antara crocodile dan taurillon clemence, kepada Anjani. “Kayaknya itu lebih bagus,” ucap Anjani menunjuk crocodile berwarna hitam dengan kesan yang sangat high class, karena tidak terlalu besar, sangat pas untuk padukan dengan pakaian apa saja. “Taurillon clemence itu kayaknya udah banyak di lemari lo, crocodile juga bagus banget?” “Sebenernya koleksi gue ini ada juga, cuma warna item nggak ada.” Juliet setuju dengan pilihan Anjani. Juliet menatap pramuniaga membungkus pesanannya. Ia masih melihat-lihat lagi tas yang ia inginkan, karena selama dua tahun di Bali ia tidak berbelanja. Ia lebih banyak menghabiskan waktu me time di villa. Bekerja dari jauh dan berkonsentrasi penuh dengan hidupnya. Sebenarnya ia sangat lega ketika keluar dari pernikahan yang tidak sehat. Yah, awalnya memang mixed feeling, perasaan bingung, dan kehilangan arah. Stigma-stigma janda di masyarakat sangat lah buruk. Daya tarik janda di frasa sering muncul di budaya timur dan di budaya patriaki murni. Intinya, sangat mendarah daging patriakinya. Ia tahu bahwa di budaya Indonesia sendiri, laki-laki seolah dibentuk, deprogram, oleh lingkungan untuk memandang wanita sebagai individu yang selalu membutuhkan pria dan tidak bisa hidup tanpa pria. Padahal semuanya tidak seperti itu, banyak sekali janda yang hidup sukses dan mandiri, tanpa laki-laki. Pola pikir budaya di Indonesia juga sangat menganggungkan keperawanan. Bukan karena tidak pernah melakukan seks, tapi keperawanan wanita menyimbolkan ketidaktahuan tentang seks kemurnian, sehingga laki-laki pertama melakukannya dan dialah pemenang. Ia juga melihat banyak sekali melihat imej wanita liar dan menggoda selalu diminati pria, apalagi status janda seperti dirinya. Sepertinya budaya di sini, jika wanita yang lama tidak berhubungan seks dia anggap kesepian dan begging for pleasure. Padahal kenyataanya tidak seperti itu. Setelah ia membaca banyak tentang kehidupan ini, ia tidak mengkhawatirkan tentang jodoh ataupun pria. Ia tidak akan pernah memaksakan tentang prihal pria. Ia lebih bahagia sendiri, lebih mencintai diri sendiri. Ia merasakan jauh lebih cantik dari pada saat menikah dulu. Ia akhirnya tahu apa yang diinginkan dalam hidup, dan laki-laki seperti apa yang ideal buat dirinya. Apa ia menyesal bercerai? Tidak, ia sama sekali tidak pernah menyesal. “Nyokap bokap lo, nggak nanyain lo mau nikah lagi apa nggak?” Tanya Anjani, mereka keluar dari gerai Hermes. “Enggak, sih. Enggak tau kalau nanti.” Anjani menoleh menatap Juliet, “Lo mau ikut reuni nggak?” “Reuni SMA?” “Iya.” “Males.” “Kenapa?” “Entar gue di suruh nyumbang lagi. Ogah deh ikutan reuni, males juga lihat orang-orangnya, gue lagi ngindarin toxic people.” Anjani lalu tertawa, “Iya sih bener. Karena lo anak konglomerat, di suruh nyumbang paling tinggi. Malesin banget, kan!” Juliet menghela nafas, ia kembali menatap Anjani sambil menatap gerai-gerai yang mereka lewati, “Aneh aja sih menurut gue. Reuni group SMA isinya gibah, gossip, ngomongin orang. Gue kurang nyaman gitu cara teman-teman SMA memperlakukan teman, yang kurang beruntung. Cenderung nyuekin orang-orang yang level edukasinya lebih rendah, mapun ekonominya kurang. Ngomongin aib, si A kawin lari, si B katanya nipu orang, si C cerai. Si D rumah tangganya berantakan. Yah, enggak cowok dan cewek sama aja.” “Merasa paling pinter, kalau sukses suka ngegas kalau ada yang nentang pendapat mereka. Kayaknya kebenaran milik mereka. Mereka sok gitu.” “Mereka mendiskriminasikan terhadap orang-orang menurut mereka kurang dan tidak masuk kelompok sukses.” “Iya bener banget. inget nggak? Dulu ada reuni dadakan, beberapa tahun lalu. Ada Kinar datang sama anaknya yang paling besar. Terus mereka pada ngomong, “Gile anak lo udah gede gini, jangan-jangan lo MBA” Mereka tuh ngomong kayak nggak mikir perasaan orang,” timpal Anjani. “Iya bener, makannya gue males banget kalau mau reunian. Enggak lagi deh, ikutan kayak mereka.” “Padahal kenyataanya hidup si Kinar baik-baik aja. Walau dia rumah tangga, suaminya tanggung jawab, dia hidup nggak kekurangan apapun, masih pakek mobil Mercy, nikah juga sama pengusaha kebab.” “Ada juga tuh, temen kita si Clara dia kerja di pabrik. Temen-temen taunya dia kerja di pabrik. Dia di tanya sama temen-temen di pabrik kerjanya apa. Dia jawab asal, staff produksi, and the buy that answer, faktanya dia kerja di pabrik dengan posisi yang tinggi. Akhirnya dia left dari group, karena pemikirannnya sama, bahwa reuni memang nggak worth it. Lo aja di bilang sombong, kan.” Juliet lalu tertawa, “Iya dulu. Apalagi sekarang ya, karena status gue janda. Pasti bakalan ngomong yang enggak-nggak sama gue.” “Iya, bener banget.” Juliet dan Anjani menelusuri lantai dasar, lalu selanjutnya mereka melangkahkan kakinya menuju lantai atas, beberapa kali memasuki gerai-gerai Zara, Tory Burch, Tommy Hilfiger, Louis Vuitton, Lacoste, Guess, Gucci, Giordano Ladies, dan terakhir mereka memasuki gerai Fendi. *** Oscar memandang view gedunng-gedung pencakar langit dari ketinggian. Ia menatap suasana pulang kerja Sudirman Central Business District, terlihat sangat fast paced. Gedung-gedung dengan megahnya rapi berjejer. Trotoar yang lebar, kini diisi dengan para pekerja dan trotoar itu termasuk sangat ramah untuk pejalan kaki. Setiap orang yang lewat di sana memiliki suasana yang khas, lehernya terdapat lanyard. Rutinitas harian cukup menoton, pulang pergi menghadapi kemacetan. Berkutat dengan meeting-meeting penting. Berjam-jam di depan leptop. Di sela-sela pekerjaan ia istirahat sambil menyesap kopi dan berbincang ringan dengan para pekerja. Filosofinya tentu saja, menikmati pekerjaan. Seketika ia teringat tentang wanita bernama Juliet. Sudah dua tahun berlalu ia tidak bertemu dengan wanita itu. Apa kabar dia? Apakah emosinya sudah stabil? Apakah dia sudah menikah lagi? Rasanya tidak mungkin jika Juliet menikah lagi, dia pasti masih trauma untuk menikah. Jujur ia sangat sulit melupakan wanita itu. melupakan wanita yang dicintai itu tidaklah mudah. Ia juga bingung apa yang membuatnya tidak bisa melupakan wanita bernama Juliet. Bahkan mereka tidak pernah melakukan sexk. Namun emosionalnya sangat dalam membuatnya tidak bisa melupakan Juliet begitu saja. Hingga saat ini ia sulit sekali mendapat wanita, karena nama Juliet masih tercongkol di kepalanya. Bersama Juliet ia mungkin menemukan versi terbaiknya. Juliet itu bukan mantannya, dia hanyalah saudara dari mantan pacarnya dulu. Entahlah hingga saat ini ia sulit sekali mendapatkan wanita seperti Juliet. Tidak mudah baginya untuk membuka diri dan menjalin hubungan baru, yang ia inginkan hanyalah Juliet. Benar kata orang bahwa cinta itu bisa membutakan hati dan pikiran dalam sekejap. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berada di posisi ini. Mungkin banyak yang bilang bahwa tidak ada untungnya terjebak cinta yang bertepuk sebelah tangan. Namun yang ia rasakan, justru sebaliknya. Tidak peduli ditolak, diacuhkan, ataupun diabaikan oleh pujaan hatinya. Namun ia akan berusaha mengejarnya, karena ia yakin Juliet memiliki cinta yang sama dengan dirinya. Oscar melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 16.00, ia mengambil kunci mobilnya di laci. Sudah waktunya ia pulang. Oscar mematikan ruang kerjanya, ia keluar, memandang sekretarisnya Gita di sana. “Sore, pak,” ucap Gita. “Sore juga, Gita. Saya pulang,” ucap Eros. “Baik, pak,” ucap Gita, ia melihat tubuh sang bos pergi meninggalkannya seorang. Banyak orang bilang kalau kemungkinan besar sekretaris itu akan affair dengan bossnya. Bahkan profesinya sering dianggap negative dan miring karena hal tersebut. Dikarenakan hubungan mereka sangat dekat. Namun sudah dua tahun bekerja di sini, semua di luar exspetasinya. Ia mendapati boss tampan namun dinginnya luar biasa. Makan siang mereka sendiri-sendiri, mereka hanya ngobrol sebetas pekerjaan saja. Padahal ia tidak menolak jika di ajak boss nya yang tampan itu, walau sekedar makan siang. Namun itu hanya ekspetasi saja, tidak pernah dilakukan oleh bossnya. Setelah kepulangan Oscar, Gita mematikan lampu ruangan, ia juga akan pulang. *** Ketika di basement, Oscar menghidupkan central lock. Ia membuka hendel pintu mobil, ia mendaratkan pantatnya di kursi. Ia menghidupkan mesin mobil, ia bersandar di kursi tidak lupa memasang sabuk pengaman. Semenit kemudian mobil meninggalkan area gedung tower office. “Taran Calling” Oscar menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel di telinga kirinya. “Lo di mana?” Tanya Taran. “Gue baru aja balik. Kenapa?” “Gue di Aroma, sini dong. Ada Bimo juga di sini,” ucap Taran. “Aroma cabang mana?” “Biasa di Tebet.” “Oke.” Dari sekian banyak cabang coffee shop Aroma, ia paling suka Aroma Coffe di daerah Tebet, karena memang suasanya tenang dan tempatnya sangat enak. Di atas terdapat rooftop untuk area outdoor dengan gazebo-gazebo yang sangat menarik. Ia akui bahwa Bimo sangat sukses membangun bisnis coffee shop, karena memang konsepnya untuk semua umur. *** “Habis ini kita ke mana?” Tanya Anjani, ia melirik Juliet sedang memanuver mobil. “Lo mau ke mana?” Juliet balik bertanya. “Ah, lo nanya gue.” “Gue juga bingung mau ke mana, soalnya masih sore juga,” ucap Juliet, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 16.15 menit, ia masih enggan untuk pulang ke rumah. “Ke Aroma aja, yuk. Ngopi-ngopi.” Alis Juliet terangkat, “Yang di mana? Aroma itu banyak banget loh gerainya?” Tanya Juliet lagi. “Cabang Tebet kali ya, soalnya di sana enak gitu, adem, tenang, walaupun rame nggak berisik,” ucap Anjani. “Lo pernah ke sana?” “Pernah lah, menurut gue paling oke, sih. Dibuat kayak resort gitu, exclusive banget pokoknya.” “Gue belum pernah ke sana. Biasa juga yang di GI atau yang di Senayan City. Kita ke sana aja, ya.” “Iya.” Juliet memanuver mobilnya menuju Aroma yang ada di Tebet. Sepanjang perjalanan mereka mendengarkan lagu, sambil menikmati kemacetan, namun tidak terlalu parah. Beberapa menit berlalu kini mereka tiba di Aroma. Juliet memarkir mobilnya di parkiran depan. Suasana sore ternyata cukup ramai, ia melewati deretan mobil-mobil mahal terparkir di sana. Anjani menoleh memandang Juliet yang berhasil mendapatkan parkir, “Kayaknya kita beruntung hari ini ke sini,” ucap Anjani antusias. “Kenapa?” Tanya Juliet. “Kayaknya di dalam banyak para sultan.” Alis Juliet terangkat, “Owh, ya?” “Iya.” “Sultan itu istilah cowok tajir, bukan sih?” “Iya, masa gitu aja lo nggak tau, sih. Ah, lo kan emang sultan, jadi nggak tau lah, istilah-istilah itu.” “Emangnya lo tau dari mana, di sini banyak sultan?” Tanya Juliet penasaran, ia mematikan mesin mobilnya dan lalu membuka sabuk pengaman. “Itu mobil mahal semua Juliet, terparkir di sana,” tunjuk Anjani. “Yaelah, mobil biasa aja. Di rumah gue juga banyak.” “OMG, gue lupa, kalau lo crazy rich nya Jakarta!” Juliet lalu tertawa, ia lalu keluar dari mobil, begitu juga dengan Anjani. Anjani menyeimbangi langkah Juliet masuk ke dalam. Benar kata Anjani bahwa Aroma di sini lebih eksklusive dibanding dengan lainnya. Mereka disambut hangat oleh pramuniaga yang berjaga di depan pintu. Juliet melihat table di lantai bawah sudah terisi penuh, oleh anak-anak muda dan para pekerja yang baru pulang. Juliet dan Anjani menuju counter, mereka memesan cappuccino Toraja, café mocha, crispy dory sambal sereh dan pasta rendang. Setelah itu Juliet melakukan transaksi pembayaran. Juliet dan Anjani mereka menuju lantai atas, karena table di bawah sudah penuh. Lantai ke dua juga sama penuh juga. Mereka akhirnya menuju rooftop. Suasana lantai atas terlihat lengang hanya beberapa saja yang terisi table. Namun langkah Juliet terhenti menatap seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Posture tubuhnya masih sama seperti yan dulu. Dulu tubuh itulah yang memeluknya dan menguatkannya agar ia tidak down. Pria itu selalu ada untuknya ketika ia dalam keadaan terpuruk. Hatinya seketika berdesir, mereka akhirnya bertemu lagi. Penampilannya rapi, dan dia tetap dengan gaya coolnya. Ia tahu betul siapa pria itu, dia adalah Oscar. Juliet menelan ludah, sedetik kemudian pandangan mereka bertemu. Mereka saling menatap satu sama lain, seolah waktu berhenti berputar. “Juliet.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD